Kompas.com - 22/11/2019,
22:29 WIB
Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar, usai mengisi diskusi di
kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (16/11/2019). (Dian Erika/KOMPAS.com)
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar menilai, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) harus mampu mengungkap secara utuh praktik pelanggaran HAM berat pada masa lalu oleh suatu rezim.
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar menilai, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) harus mampu mengungkap secara utuh praktik pelanggaran HAM berat pada masa lalu oleh suatu rezim.
Haris menanggapi rencana pemerintah menghidupkan kembali
KKR untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Hal itu dipaparkan Haris dalam diskusi bertajuk
Menghidupkan Kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Harus Berpihak pada
Kebenaran dan Keadilan, di Brownbag, Jakarta, Jumat (22/11/2019).
"Menurut saya begini, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu dia harus memoret secara utuh criminal regime, jadi mengungkap fakta tentang kejahatan praktik kriminal yang dilakukan oleh sebuah rezim. Maka perlu nantinya mereka bekerja dengan melihat periode kapan sampai kapan," kata Haris.KKR, kata dia, harus mencermati pola-pola pelanggaran HAM berat suatu rezim. Sebab, KKR akan membongkar suprastruktur penyebab praktik kejahatan itu terjadi.
"Bukan sekadar, misalnya, menemukan seperti siapa yang dihilangkan, dan di mana, tetapi harus membongkar siapa yang memberi perintah, yang memotivasi, dan lainnya. KKR harus punya efek luar biasa, membongkar struktur dan suprastruktur. Suprastruktur yang mengendalikan, memberi motivasi, mengontrol bagaimana proses itu terjadi," kata dia.
Dengan demikian, KKR harus berkoordinasi dengan para
peneliti, ahli sejarah, saksi sejarah dan pihak terkait yang relevan sehingga
KKR bisa mengungkap gambaran yang utuh dalam melihat suatu kasus pelanggaran
HAM berat masa lalu.
"Dan memperkuat kebenaran. Mereka harus melihat siapa yang paling bertanggungjawab yang bisa didorong untuk dibawa ke mekanisme pengadilan. Karena kalau dia tidak melihat siapa yang paling bertanggung jawab, maka ini kelasnya seperti penanganan tindak pidana biasa," kata dia.
Jika KKR berhasil mengungkap fakta-fakta tertentu tetapi
tidak menunjukkan terduga pelaku, itu bisa digunakan untuk perbaikan kondisi.
"Kondisi siapa? Korbannya, keluarganya, masyarakatnya, pengacaranya, itu mereka berhak mendapatkan program reparasi. Lebih dari itu, fakta-fakta itu harus dijadikan dokumen publik yang bisa digunakan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pembaharuan," ujar Haris.
"Jadi bisa digunakan oleh bangsa ini terutama generasi masa depan nanti sebagai landasan fakta yang resmi," ucap dia.Sebelumnya, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rahman menyebut, pemerintah berencana menghidupkan kembali KKR untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Hal itu disampaikan Fadjroel menjawab pertanyaan terkait
kelanjutan kasus dugaan pelanggaran HAM dalam tragedi Semanggi I pada 11-13
November 1998.
"Usulan dari Menkopolhukam, Pak Mahfid MD, sebenarnya beliau menyarankan lagi untuk dibentuknya komisi kebenaran dan rekonsiliasi," kata Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (13/11/2019).
Fadjroel menyebut KKR sebelumnya telah dibentuk beberapa
tahun lalu. Namun, KKR bubar pada 2006 lalu setelah Mahkamah Konstitusi (MK)
membatalkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.
Menurut dia, saat itu KKR memiliki anggota sekitar 42
orang. Ia mengaku menjadi salah satu anggota. Namun, Fadjroel mengakui KKR saat
itu belum banyak bekerja karena UU 27/2004 terlanjur dibatalkan oleh MK.
"Inisiatif sekarang dari Menko Polhukam untuk menaikkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Intinya itu adalah agar kebenaran diungkap," ujar dia
Penulis : Dylan Aprialdo Rachman
Editor : Icha Rastika
Editor : Icha Rastika
0 komentar:
Posting Komentar