10/10/2018
- Sebuah kisah tentang kegagalan jurnalisme: ketika desas-desus dianggap setara dengan fakta dengan dalih keberimbangan.
REMOTIVI/Dibalikbalik
Gatot Nurmantyo, mantan panglima TNI, kembali
menggaungkan ancaman komunisme pada awal Oktober lalu, dengan sedikit variasi.
Saat masih menjabat Panglima TNI, Gatot memerintahkan seluruh jajaran TNI untuk
menggelar nonton
bareng film Pengkhianatan
G30S/PKI (selanjutnya
disingkat Pengkhianatan).
Media pun tak ketinggalan menyambut ajakan ini, salah
satunya TV
One yang memutar film tersebut dua tahun belakangan. Tahun ini,
layaknya pensiunan kebanyakan waktu luang, ia berceloteh di Twiter. Dengan nada
provokatif ia mengatakan bahwa panglima
TNI pengecut jika tidak berani memerintahkan nonton bareng film Pengkhianatan.
Seperti tahun lalu pula, banyak media tidak tahan godaan
syahwat sensasional dan memuat cuitan Gatot tanpa kritisisme. Ini adalah
kekalahan tersendiri bagi jurnalisme yang waras. Pasalnya, sejak tahun lalu,
klaim-klaim Gatot soal kebangkitan komunisme tidak didukung data. Ketika
ditanya apa indikasi kebangkitan komunis, ia menjawab, “Ibarat
makan garam, bisa dirasakan tapi tidak bisa dilihat”. Sulit dibayangkan
memang, Panglima TNI bekerja berdasarkan rasa, bukan fakta.
Program “Rosi” di Kompas TV, secara telak
menggambarkan kegagalan ini.
Dalam episode bertajuk “Siapa Mau Nobar Film G30S/PKI”,
Gatot menggunakan taktik “makan garam” untuk membela cuitannya. Ia menyatakan,
“saya punya datanya, tapi saya tidak mungkin beberkan di sini”.
Lalu mengapa
media dan jurnalis memberi ruang yang begitu besar pada pernyataan yang tak
berdasar? Hanya Tuhan dan segelintir orang di ruang redaksi yang tahu.
Problem “Rosi” dimulai jauh sebelum itu. Tema “Rosi”
episode ini dibuat sepenuhnya untuk merespon cuitan Gatot soal nonton bareng
film Pengkhianatan, dan di sinilah masalah pertama dimulai.
Pada segmen pertama Rosiana Silalahi, sang pembawa acara,
duduk berdua dengan Gatot untuk menggali motif Gatot menulis cuitan tersebut.
Namun, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Rosi gagal mendalami asumsi-asumsi
di balik klaim Gatot. Rosi justru fokus mempertanyakan cara Gatot menulis
cuitan, ketimbang substansi datanya.
Hal ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan seperti:
“kenapa membuat tweet yang demikian keras?”
“Kalau tujuannya agar generasi muda belajar sejarah, kenapa cuitannya ditujukan ke panglima TNI?” Atau,
“Kenapa Anda bilang nonton film G30S/PKI sebagai indikator bagi keberanian TNI?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa Rosi
terjebak pada konteks diskusi yang diciptakan oleh Gatot. Menurut saya, justru inilah
yang diharapkan Gatot ketika ia memulai polemik ini: ruang untuk menjelaskan
pandangan-pandangannya. Hal ini berbuntut pada kesalahan kedua Rosi,
yakni dengan tidak menguji pernyataan Gatot dengan data.
Pada bagian akhir segmen pertama, Gatot sempat
menjelaskan setidaknya 3 indikasi dari bangkitnya komunisme. Pertama, diubahnya
kurikulum pelajaran sejarah mengenai peristiwa 1965. Kedua, upaya mengubah Tap
MPRS XXV tahun 1966 mengenai pelarangan PKI dan ajaran Komunisme dan Marxisme.
Ketiga, pernyataan Gatot—dengan mencatut nama Ribka Tjiptaning—bahwa PKI masih
ada, dan didukung 15-20 juta orang.
Ketiga argumen Gatot ini keliru secara faktual, dan mudah
ditunjukkan apabila Rosi mengerjakan pekerjaan rumahnya sebagai jurnalis.
Sayangnya, ia tidak melakukan hal itu. Justru narasumber lainnya, Usman Hamid
(Direktur Amnesty International) dan Asvi Warman Adam (Sejarawan UI) yang
melakukannya.
Usman menegaskan bahwa upaya perubahan kurikulum
pelajaran memang pernah diupayakan pemerintahan Habibie lewat Menteri
Pendidikan Juwono Yudarsono, namun hal ini pun dibatalkan di pemerintahan
Susilo Bambang Yudoyono. Kurikulum sekolah hari ini pun masih mengajarkan bahwa
PKI adalah dalang peristiwa 30 September 1965. Sementara itu, upaya mencabut
Tap MPR terkait larangan PKI dan ajaran Marxisme diusulkan oleh Presiden
Abdurahman Wahid (Gus Dur). Baik Habibie, Juwono Yudarsono, maupun Gus Dur,
tidak satu pun di antara mereka yang bisa diasosiasikan dengan PKI. Begitu pun
Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan era Habibie, yang memutuskan untuk
menghentikan kewajiban menyangkan film Pengkhian setiap tahunnya. Ia
adalah mantan jendral Angkatan Darat.
Sementara itu Asvi menjelaskan mengenai buku yang ditulis
oleh Ribka Tjiptaning berjudul Aku Bangga Menjadi Anak PKI, yang kerap
dijadikan indikasi kebangkitan PKI. Bagi Asvi, mereka yang menuduh tak pernah
baca buku tersebut—dalam konteks, ini termasuk Gatot. Kenyataannya, buku itu
lebih banyak bercerita kesulitan hidup dan perjuangan Ribka, sebagai anak
anggota PKI, yang kerap mengalami diskriminasi. Buku tersebut tidak bicara soal
PKI atau Marxisme. Pencatutan nama Ribka Tjiptaning serta angka “15-20 juta”
itu sebenarnya disinformasi
yang sudah kerap dibantah karena berasal dari video suntingan yang
memotong wawancara Ribka di luar konteks. Dengan demikian, kecurigaan Gatot
mengenai kebangkitan PKI adalah absurd.
Namun, tanggapan Rosi terhadap kedua bantahan itu membuat
saya terkejut.
“Anda [Usman Hamid] mengatakan [kebangkitan PKI] tidak real, sesuatu yang dibikin-bikin, insinuasi politik, sesuatu yang hanya dibuat untuk kepentingan politik. tetapi bagi seorang Gatot Nurmantyo dan saya rasa mungkin juga tidak sedikit [orang lain], itu sesuatu yang real.”
Rosi menempatkan pernyataan Gatot setara dengan Usman dan
Asvi, bahwa keduanya sama-sama “real”, meski argumen Gatot telah dipatahkan
sebagai kesalahan faktual. Dari sini tampak bahwa Rosi terobsesi untuk mengejar
keberimbangan.
Rosi ingin tampak “netral”, memberi ruang pada pandangan
berbeda mengenai diskurus kebangkitan PKI. Tapi satu hal yang Rosi lupakan
adalah, di atas segalanya, nilai utama jurnalisme adalah kebenaran, dan
kebenaran dalam jurnalisme harus didukung oleh data yang akurat. Keberimbangan
adalah metode mencapai kebenaran. Untuk mendapat perspektif yang utuh atas
sebuah peristiwa, dua pandangan yang berbeda perlu diberi ruang yang sama.
Namun, keberimbangan tidak berlaku bila satu pandangan berangkat dari data dan
fakta, sementara pandangan lainnya cuma bersandar pada desas-desus.
Fakta dan rumor bukanlah dua hal yang setara.
Menyejajarkan keduanya dengan dalih “keberimbangan” bukanlah kerja jurnalisme
yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika saja Rosi bekerja dengan nilai ini,
episode “Siapa Mau Nobar Film G30S/PKI?” mungkin tidak akan pernah sampai
segmen 2, karena di segmen pertama saja Gatot sudah gagal menunjukkan validitas
klaimnya.
Rosi bukanlah satu-satunya yang terjerumus dalam disinformasi
Gatot. Banyak peliputan media daring yang jatuh pada kesalahan yang sama,
dengan hanya mengandalkan “jurnalisme mulut”, alias hanya bersandarkan pada
pernyataan elit, tanpa verifikasi. Lihat misalnya praktik Sindonews.com dan Viva.co.id.
Dua berita tersebut menunjukkan model peliputan jurnalisme daring pada umumnya
yang mengizinkan medianya menjadi saluran disinformasi. Menyaksikan Rosi jatuh
pada model peliputan yang sama, membuat situasi ini jauh lebih mengkhawatirkan.
Pasalnya, Rosi adalah jurnalis yang dikenal memiliki reputasi yang baik.
Rosi jelas memiliki kualitas jauh di atas apa yang ditunjukkan dalam episode
“Siapa Mau Nobar G30S/PKI?”.
Bagaimana
Jurnalisme Semestinya Bekerja?
Apa yang ditunjukkan Rosi amat berbeda dengan yang saya
saksikan dilakukan oleh Jake Tapper, jurnalis CNN, dalam wawancaranya dengan
dengan Steven Miller, penasehat senior Presiden Donald Trump. Dalam
wawancara itu, Tapper membantah semua disinformasi dan kesalahan faktual yang
disampaikan Miller mengenai dugaan tim kampanye Trump berkongsi dengan agen
Rusia untuk memenangkan pemilu Amerika 2016 lalu. Tapper bahkan menghentikan
wawancara dengan Miller, karena menilai sang narasumber tidak menjawab
pertanyaannya, dan sekadar mengulang klaim tak berdasar yang sudah berkali-kali
dibantah.
Wawancara ini menjadi perbincangan publik Amerika Serikat
karena Tapper dinilai bekerja dengan sangat baik, sampai dinominasikan sebagai
pemenang Emmy Award.
Berbeda dari Rosi, Tapper bekerja layaknya interogator.
Ia menguji tiap klaim dan data, serta tak memberi ruang pada narasumbernya
untuk mengumbar informasi yang tidak valid. Sementara Rosi bekerja sebagai
fasilitator, sebatas mengatur lalu lintas pernyataan tanpa upaya mengujinya.
Dalam sebuah wawancara dengan NPR, Tapper
ditanya mengapa ia menghentikan wawancara dengan Miller di tengah jalan. Ia
menjawab, “Miller
telah membuang waktu penonton saya”. Dengan kata lain, jurnalisme tidak
punya waktu untuk desas-desus, apalagi disinformasi.
Semangat inilah yang tidak tampak ketika saya menonton
Rosi, atau media lebih luas. []
Sumber: Remotivi.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar