imam prihadiyoko | 30 Maret 2018
Salah satu idiom politik yang cukup sering didengar adalah, sejarah dibuat oleh para pemenang. Namun pemenang yang tidak menuliskan kisah kesejarahannya, tidak akan dikenang sebagai pemenang.
Soekarno
Sejarah mungkin penuh kebohongan yang ditulis oleh para pemenang untuk mengagung-agungkan kisah kepahlawanannya. Mereka ingin kisahnya disertakan dalam catatan sejarah, dan menjadi ingatan kolektif bagi masyarakat.
Namun, para pahlawan sejati, dan sejatinya pahlawan adalah memberikan kesejahteraan pada massa pendukungnya. Memberikan perlindungan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial, seperti amanat pembukaan konstitusi Indonesia.
Tanpa bermaksud untuk mengorek-ngorek luka lama, ataupun membuat luka baru, halaman ini didedikasikan pada Presiden Soekarno. Salah satu pendiri negeri ini. Tokoh nasional yang pernah menjadi guru di sekolah Muhammadiyah di Bengkulu, bahkan ia pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu.
Namun pada suatu pagi, tanpa memberitahunya lebih dulu, Bung Karno ditemui oleh Hassan Din, Ketua Muhammadiyah Bengkulu saat itu. Waktu itu ia mengajak Bung Karno untuk menjadi guru di sekolah rendah agama milik Muhammadiyah.
“Ketika di Ende, Bung memiliki hubungan akrab dengan salah satu organisasi Islam di Bandung, Persatuan Islam, dan kami dengar Bung sepaham dengan pandangan Ahmad Hassan, guru yang terpelajar itu. Apakah Bung bersedia membantu kami menjadi seorang guru?”
“Kuanggap permintaan ini sebagai satu kehormatan,” jawab Bung Karno.
“Tapi … ingat ….. jangan bicara soal politik.”
“Pasti tidak,” Bung Karno tersenyum setuju. “Kecuali hanya akan kusebut bahwa Nabi Muhammad selalu mengajarkan kecintaan terhadap tanah air,” ujar Bung Karno menambahkan dalam dialog dengan Hassan Din ini, tercantum dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 168.
Kedekatannya dengan organisasi keagamaan Islam, Muhammadiyah tentu menjadi modal politik bagi penerusnya, untuk juga peduli pada organisasi keagamaan, namun tetap dalam bingkai kecintaan pada tanah air.
***
Manusia bisa menentukan sejarah. Namun, tetap saja manusia tidak bisa seenaknya membuat sejarah. Sejarah, sebagai ingatan kolektif, tentu terasa jamak jika dibuat oleh para pemenang. Penulis-penulis sejarah versi para pemenang politik, terus menjejalkan sejarah versinya pada publik, agar publik percaya kehebatannya sebagai penguasa.
Ini menyebabkan ruang-ruang sejarah sering diisi dengan kebohongan dan rekayasa. Sekarang, dengan kemajuan teknologi informasi, mereka mencoba merebut ruang-ruang publik dan mengisinya dengan kabar bohong (hoax) yang terus diproduksi, dan diharapkan bisa mereproduksi dirinya lagi melalui jejaring sosial yang masif.
Dengan cara itu, mereka berharap bisa menjadi cara yang efektif untuk membangun imagi ingatan kolektif tentang kisah kesuksesan dan keperkasaan sang penguasa.
Sekitar satu dasawarsa lalu, berhentinya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, seperti mencairkan kebekuan. Bergulirnya gerakan reformasi, telah memecahkan berbagai macam bentuk hegemoni yang sudah dibangun pemerintahan Orde Baru. Termasuk di dalamnya adalah membuka dan menata ulang teks-teks sejarah.
Sejarah mungkin merupakan benda mati, namun teks yang dituliskan di dalamnya, tak lekang oleh jaman, dan terus dibaca oleh para politisi, penulis sejarah dan disosialisasikan pada generasi berikutnya.
Salah satu lelehan dari air yang beku itu adalah pengungkapan tentang pidato-pidato Presiden Soekarno yang disampaikannya pada tahun 1965. Diantara pidato yang disampaikan Soekarno dalam tahun itu, pidato paling diingat adalah pidato yang disampaikan pada tanggal 30 September 1965 malam, sebelum meletus peristiwa yang kemudian dikenal sebagai G30S. Selain itu, pidato pertanggungjawabannya yang ditolak MPRS berjudul Nawaksara, tahun 1967, juga masih sering menjadi perbincangan hingga saat ini.
Pada tahun 2001, penulis menghadiri banyak seminar, diskusi yang diselengarakan beragam kelompok dan organisasi berkaitan dengan peringatan 100 tahun Bung Karno. Di seminar itu, banyak dikeluarkan buku, makalah, foto, dan rekaman dari pidato-pidato Bung Karno. Seolah-olah Bung Karno hadir lagi.
Menilik rekaman pidato-pidato Bung Karno yang sebagian dijual dalam bentuk rekaman dengan pita kaset itu, tampak diminati mereka yang berusia muda. Paling tidak, mereka tidak pernah mendengarkan langsung pidato itu selama Soekarno hidup.
Anak-anak muda itu mungkin mendengar kisar yang disampaikan orangtuanya, guru, senior atau dalam seminar dan diskusi yang pernah mereka ikuti.
Dalam salah satu buku yang dijual itu, penulis menghadiri salah satu peluncuran buku yang dikeluarkan untuk memperingati 100 tahun Bung Karno yang berjudul Revolusi Belum Selesai, terbiatan Mesiass. Buku yang diberi kata pengantar oleh peneliti LIPI Asvi Warman Adam ini, pada peluncurannya dibagikan gratis pada peserta yang hadir.
Penerbitnya mengungkapkan, paling tidak pada kurun waktu 1965-1967, ada 103 pidato Soekarno yang disampaikan dalam berbagai kesempatan. Membaca pidato, tentu akan berbeda jika mendengarkan langsung, dan melihat ekspresi Soekarno di atas panggung. Tapi gaya bicara yang teas, sesekali mengalun seperti gelombang bahkan bersajak, bernas, dan kaya isinya, masih bisa diikuti.
Dengan semangat dan keinginan untuk melihat kekuatan yang masih bisa dilihat dari pidato-pidato itulah, tulisan di halaman Soekarno di MJNEWS ini dibuat dalam bentuk tulisan berseri. Semoga bisa memberikan pencerahan demi bangsa Indonesia yang berkemajuan.
–tulisan pertama, bersambung–
Sumber: MissJuneNews.Com
0 komentar:
Posting Komentar