Senin, 12 Maret 2018 06:17Reporter : Ramadhian Fadillah
Surat Perintah Sebelas Maret adalah titik awal kejatuhan Presiden Soekarno.
Supersemar, begitu biasa disingkat adalah perintah tertulis dari Presiden
Soekarno pada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban
setelah peristiwa G30S PKI tahun 1965.
Saat itu rakyat menuntut Soekarno membubarkan PKI. Harga kebutuhan barang
pokok terus naik dan pemerintah Orde Lama dinilai tak mampu menjalankan
pemerintahan.
Supersemar itulah yang dijadikan legitimasi oleh Jenderal Soeharto segera
bergerak membubarkan PKI. Dalam waktu singkat TNI AD yang dibantu unsur-unsur
masyarakat antikomunis menghabisi kekuatan PKI yang tersisa.
Pelan-pelan situasi berubah. Kekuasaan Soekarno makin meredup dan Jenderal
Soeharto makin berkuasa. Puncaknya adalah ketika MPRS bersidang mengakhiri
kekuasaan Soekarno yang dulu diangkat menjadi presiden seumur hidup.
Namun hingga kini, naskah Supersemar asli tak pernah ditemukan. Siapa yang
menyimpannya tak diketahui.
Ada tiga jenderal yang berangkat ke Istana Bogor tanggal 11 Maret 1966.
Brigadir Jenderal M Jusuf, Mayor Jenderal Amir Machmud dan Brigadir Jenderal
Basuki Rahmat.
Banyak versi soal penerbitan Supersemar tersebut. Ada yang menyebut Presiden
Soekarno ditodong pistol oleh para jenderal tersebut. Ada juga yang mengatakan
Soekarno ditekan dan terpaksa menandatanganinya. Bahkan menyebut Jenderal Jusuf
berniat membawa senapan otomatis.
Bagaimana sebenarnya peristiwa Supersemar itu sebenarnya? Jenderal M Jusuf
membeberkan kejadian itu dengan cukup detil. Berikut kesaksian jenderal
tersebut dalam buku biografinya Jenderal M Jusuf, Panglima Para Prajurit yang
ditulis Atmadji Sumarkidjo dan diterbitkan Kata Hasta Pustaka tahun 2006.
1. Isu Jenderal Jusuf bawa senjata bren ke istana
Tanggal 11 Maret 1966, M Jusuf, Basuki Rachmat dan Amir Machmud sebelumnya
menemui Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto yang sedang sakit di
rumahnya. Mereka berdiskusi soal pemulihan keamanan dan ketertiban dan perlunya
wewenang lebih besar bagi TNI AD untuk bergerak menguasai situasi.
Soeharto menyetujui tiga jenderal itu menghadap ke istana Bogor untuk
menemui Presiden Soekarno. Dia juga menyampaikan salam untuk Presiden Soeharto.
Soeharto mengaku siap menjalankan tugas apabila kewenangan itu diserahkan
kepadanya.
Jenderal Jusuf membantah mengusulkan untuk membawa bren (senjata otomatis)
saat akan berangkat ke istana.
"Saya tahu aturannya bagaimana kalau menghadap presiden," kata
Jusuf.
Dia menambahkan jangankan menghadap presiden, saat melakukan inspeksi ke
daerah konflik pun dia tidak pernah membawa senjata.
Jusuf mengaku memang punya bren. Namun senjata itu disimpannya rapi di
rumah, bukan untuk dibawa-bawa.
Isu soal Soekarno ditodong pistol dan dipaksa menandatangani naskah
Supersemar juga dibantah.
2. Debat panas soal PKI dan G30S
Jenderal Jusuf mengaku ada perdebatan dengan Presiden Soekarno soal Partai
Komunis Indonesia. Namun dia membantah menekan presiden. Menurutnya perdebatan
terjadi dengan beradu argumen dan logis. Tiga jenderal ini membeberkan
bukti-bukti keterlibatan PKI dalam peristiwa 30 September.
Diakui Jusuf, bukanlah hal yang lazim mereka berdebat dengan presiden. Baru pertama hal tersebut terpaksa dilakukan untuk mendapat sikap yang jelas dari presiden soal PKI dan pemulihan keamanan dan ketertiban.
"Biasanya kalau Presiden bersikeras, kami (para jenderal) akan diam dan mengalah. Tapi kali ini tidak," kata Jusuf.
Argumen Presiden Soekarno yang berhasil dipatahkan adalah soal keterlibatan PKI dalam G30S. Soekarno menilai PKI dan para pelaku G30S yang menculik para jenderal adalah dua hal yang harus dipisahkan. Namun Jusuf Dkk meyakinkan presiden jika partai dan para pelaku adalah satu kesatuan gerak sehingga sama-sama bersalah.
Kedua, Presiden Soekarno merasa wibawanya akan turun jika membuang unsur Komunis dalam konsep Nasionalis, Agama dan Komunis. Seperti yang diketahui, Soekarno lah yang mempopulerkan konsep Nasakom.
Para jenderal itu meyakinkan TNI AD dan rakyat masih mendukung Presiden Soekarno. Justru saat ini rakyat tidak lagi percaya pada PKI. Sehingga jika presiden bersikap tegas pada PKI malah akan mendapat dukungan.
Akhirnya Soekarno pun setuju memberikan wewenang pada Jenderal Soekarno untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Diakui Jusuf, bukanlah hal yang lazim mereka berdebat dengan presiden. Baru pertama hal tersebut terpaksa dilakukan untuk mendapat sikap yang jelas dari presiden soal PKI dan pemulihan keamanan dan ketertiban.
"Biasanya kalau Presiden bersikeras, kami (para jenderal) akan diam dan mengalah. Tapi kali ini tidak," kata Jusuf.
Argumen Presiden Soekarno yang berhasil dipatahkan adalah soal keterlibatan PKI dalam G30S. Soekarno menilai PKI dan para pelaku G30S yang menculik para jenderal adalah dua hal yang harus dipisahkan. Namun Jusuf Dkk meyakinkan presiden jika partai dan para pelaku adalah satu kesatuan gerak sehingga sama-sama bersalah.
Kedua, Presiden Soekarno merasa wibawanya akan turun jika membuang unsur Komunis dalam konsep Nasionalis, Agama dan Komunis. Seperti yang diketahui, Soekarno lah yang mempopulerkan konsep Nasakom.
Para jenderal itu meyakinkan TNI AD dan rakyat masih mendukung Presiden Soekarno. Justru saat ini rakyat tidak lagi percaya pada PKI. Sehingga jika presiden bersikap tegas pada PKI malah akan mendapat dukungan.
Akhirnya Soekarno pun setuju memberikan wewenang pada Jenderal Soekarno untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
3. Ada di mana naskah Supersemar?
Inilah misteri Supersemar yang menandai kelahiran Orde Baru. Dimana naskah
asli tersebut kini berada?
Versi Jenderal Jusuf, Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur mengetik surat ini dengan karbon rangkap tiga (Cara lama untuk menggandakan surat dengan mesin ketik). Surat pertama diserahkan dan ditandatangani Presiden Soekarno.
Versi Jenderal Jusuf, Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur mengetik surat ini dengan karbon rangkap tiga (Cara lama untuk menggandakan surat dengan mesin ketik). Surat pertama diserahkan dan ditandatangani Presiden Soekarno.
Surat itulah yang kemudian dikenal sebagai naskah asli yang diserahkan
Brigjen Basuki Rachmat pada Jenderal Soeharto. Setelah diserahkan pada
Soeharto, naskah itu tak pernah lagi terlihat.
Kopi kedua disebut disimpan oleh Brigjen Sabur. Sementara kopi surat ketiga diambil oleh Jenderal M Jusuf. Baik kopi kedua dan ketiga ini tak pernah ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
Namun soal surat itu tak pernah disinggung-singgung lagi oleh Jenderal M Jusuf. Sampai kematiannya pun, dia tak pernah membahasnya.
"Kalau surat yang asli sudah dibawa Basuki (Rachmat) ke Soeharto. Jadi jangan kau tanyakan lagi padaku," kata dia.
Alasan Jusuf berpuluh-puluh tahun tak pernah mau berbicara soal Supersemar, termasuk kopian ketiga, adalah tak mau terlibat pada perdebatan yang dianggapnya tidak berguna. Tak jelas juga apakah almarhum Jenderal Jusuf masih menyimpan surat tersebut hingga akhir hayatnya.
Kopi kedua disebut disimpan oleh Brigjen Sabur. Sementara kopi surat ketiga diambil oleh Jenderal M Jusuf. Baik kopi kedua dan ketiga ini tak pernah ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
Namun soal surat itu tak pernah disinggung-singgung lagi oleh Jenderal M Jusuf. Sampai kematiannya pun, dia tak pernah membahasnya.
"Kalau surat yang asli sudah dibawa Basuki (Rachmat) ke Soeharto. Jadi jangan kau tanyakan lagi padaku," kata dia.
Alasan Jusuf berpuluh-puluh tahun tak pernah mau berbicara soal Supersemar, termasuk kopian ketiga, adalah tak mau terlibat pada perdebatan yang dianggapnya tidak berguna. Tak jelas juga apakah almarhum Jenderal Jusuf masih menyimpan surat tersebut hingga akhir hayatnya.
0 komentar:
Posting Komentar