Ari Susanto - 7:13 AM, September 30, 2016
'Entah hidup atau mati, satu persatu mereka dilempar dari
lantai tiga ke atas truk, lalu dibawa ke Gunungkidul'
Suyitno (76 tahun),
penyintas 65 dari Yogyakarta. Foto oleh Ari Susanto
SOLO, Indonesia – Suyitno tak kuasa membendung amarah
yang membuncah. Tangannya secepat kilat menyambar sebuah botol minuman di atas
meja, lalu sekonyong-konyong dihantamkannya ke kepala seorang lelaki yang duduk
di depannya hingga berurai darah.
Suyitno diseret sipir, digebuki, dan dijebloskan ke sel
isolasi. Tetapi ia tidak menyesal.
Lelaki yang baru saja dikepruknya itu seorang tentara. Ia
datang ke Nusakambangan bersama istri Suyitno, dan mengendarai mobil milik
Suyitno.
Di ruang tamu sebuah penjara, istrinya menyodorkan
seberkas surat permintaan cerai. Dengan berat hati, Suyitno mengabulkannya,
membubuhkan tanda tangan yang mengakhiri ikatan perkawinan.
Sekarang, si tentara menang. Ia mendapatkan istri dan
harta Suyitno, meski akhirnya ia harus menebus rasa berang Suyitno dengan luka
di kepala akibat pukulan botol kaca.
Entah apa yang membuat Suyitno begitu bernyali melawan
tentara. Ia putus asa dengan nasib hidupnya yang berbalik dengan cepat. Di
dadanya hanya ada rasa kecewa.
Suyitno adalah seorang pengusaha muda yang memiliki
pabrik peleburan dan kerajinan emas di Kotagede, Yogyakarta. Pada Oktober 1965,
ia ditangkap dan dijebloskan ke LP Wirogunan tanpa tahu kesalahannya.
Rumahnya dibakar, pabriknya dijarah, dan istrinya diambil
tentara. Tak ada yang tersisa.
Di Wirogunan, ia mendekam selama setahun. Di penjara kota
Yogyakarta itu, ia lolos dari interogasi yang dikenal sebagai bon malam, yang
konon ‘menghilangkan’ dua-pertiga jumlah tahanan politik yang dicap komunis.
Ia menyaksikan orang-orang yang diperiksa di ruang atas
penjara setiap malam. Sementara, truk kosong menunggu di bawah.
“Entah hidup atau mati, mereka satu persatu dilempar dari lantai tiga ke atas truk, lalu dibawa ke Gunungkidul,” kata Suyitno, penyintas yang kini berusia 76 tahun, kepada Rappler baru-baru ini.
Gunungkidul, selain Wonogiri, termasuk dalam barisan
Pegunungan Seribu yang merupakan perbukitan karst tandus di bagian permukaan,
tetapi memiliki banyak goa-goa yang di dasarnya mengalir sungai bawah tanah –
orang setempat menyebutnya luweng – yang bermuara di Samudera Hindia.
Karena lokasinya yang sepi dan jauh dari pemukiman,
luweng di wilayah batuan kapur itu menjadi salah satu tempat penghilangan paksa
para terduga kaum kiri di Jawa Tengah dan Yogyakarta selama periode 1965-66.
Karena bukan anggota partai merah – target operasi
penghilangan paksa – Suyitno masih hidup meski harus menjadi pesakitan di
Nusakambangan.
Di penjara pulau itu, Suyitno malah bernyali dan tak
takut mati. Selain memukul kepala tentara, ia juga terlibat dalam pengeroyokan
polisi penjara hingga tewas.
Awalnya, Suyitno terpancing oleh situasi. Seorang
temannya meninggal karena disiksa polisi. Ia dan kawan lainnya berniat balas
dendam atas perlakuan polisi itu saat berada di luar penjara. Namun,
perkelahian menjadi tak terkendali dan menyebabkan si polisi kehilangan nyawa.
Suyitno dan ketiga kawannya kemudian melarikan diri,
bersembunyi di bukit ujung selatan Nusakambangan. Mereka menjadi buronan
berhari-hari.
Ia melihat sebuah kapal merapat dari Samudera Hindia.
Kapal itu berisi para tentara, yang ingin mengisi cadangan air untuk bekal di
kapal.
Ternyata para tentara itu adalah kelompok pro-Presiden
Soekarno. Mereka ingin melarikan diri ke Australia agar tidak menjadi target
operasi pembersihan di tubuh militer. Suyitno meminta izin ikut dalam kapal
itu.
Sesampainya di Australia, Suyitno terpisah dengan para
tentara. Ia dibawa ke kedutaan. Pihak kedutaan lalu menelpon Jakarta, meminta
penjemputan.
Suyitno beruntung, karena ia dijemput oleh iparnya –
suami dari kakaknya – yang juga berpangkat jenderal. Ia tak jadi dipulangkan ke
Indonesia.
“Saya cerita bagaimana saya bisa sampai Australia. Saya dititipkan di sana untuk sementara waktu,” ujar Suyitno.
Kebetulan, Suyitno terampil menari Jawa. Ia kemudian
membuka kelas menari di Sidney. Ia mulai lupa masa lalunya di tanah air, dan
bertunangan dengan seorang murid tarinya yang berkebangsaan Australia.
Setelah tinggal dua tahun di Australia, berita tentang
Suyitno sebagai buronan sampai ke pihak kedutaan, yang kemudian mengirimnya ke
Jakarta. Suyitno dikembalikan ke Nusakambangan, sesaat sebelum dipindahkan ke
Pulau Buru tahun 1971.
Di Pulau Buru, Suyitno menjalani kerja paksa membabat
hutan. Ia juga mengalami siksaan fisik, dipukuli hingga nyaris mati.
Pukul 20:00 ia dan tahanan lainnya dipukuli kepalanya,
sebagai hukuman karena terlibat perkelahian dengan tentara. Ia menyaksikan
banyak yang jatuh terkapar, lalu ditumpuk-tumpuk seperti mayat, termasuk dirinya.
Semuanya sudah tak bernyawa.
“Saya kira saya sudah mati. Tak ingat dan tak merasakan apa-apa lagi,” kata Suyitno.
“Pukul 2:00 dini hari, teman saya melihat ada yang bergerak-gerak di antara tumpukan mayat. Ia lalu mendekat, ternyata saya masih bergerak. Ia lalu menyeret badan saya, dan menyembunyikannya di sebuah parit.”
Suyitno bertahan dengan kerasnya kehidupan di Pulau Buru,
dan bebas tahun 1979. Ia kembali ke Jawa, tetapi sudah tak punya siapa-siapa.
Ia menikah lagi dan bekerja menjadi sopir angkutan antar kota.
Wagiyo (90 tahun), dari
Boyolali. Foto oleh Ari Susanto
Siksaan di Buru juga dialami Wagiyo, seorang kakek yang
kini berusia 90 tahun. Wagiyo pernah digantung dengan posisi kepala terbalik
selama berjam-jam, dijemur, dipukul, dan yang paling menyakitkan adalah hukuman
nyamuk. Kulitnya mungkin sudah kapalan saking seringnya dihajar tentara, tetapi
gigitan nyamuk hutan paling menyakitkan baginya.
“Saya disuruh telanjang, hanya memakai cawat, lalu disuruh berdiri sepanjang malam di tepi rawa. Kulit saya jadi santapan nyamuk, gatal dan sakit,” kenang Wagiyo.
Di pulau buru, Wagiyo mencetak sawah, membuka hutan
menjadi ladang pangan. Ia seorang petani di Boyolali sebelum ditangkap karena
diduga sebagai simpatisan partai palu-arit. Padahal, ia hanya seorang penggemar
Bung Karno.
Rumahnya hendak dibakar orang-orang PNI, namun
keponakannya berhasil mencegah massa yang beringas. Di desanya, setiap rumah
yang diduga milik seorang komunis menjadi sasaran pembakaran.
Wagiyo menjalani kerja paksa di Boyolali, kemudian
dikirim ke Nusakambangan. Di sana, Wagiyo pernah dipindah dari satu penjara ke
penjar lain, tetapi kondisinya selalu sama, mendekam di sel yang dijejali
tahanan yang melebihi daya tampung.
Ia kemudian dilepas, dan menjadi tenaga kerja paksa di
kebun karet. Setiap hari, ia menyadap getah 50 pohon karet. Upahnya hanya
segenggam jagung sebagai bekal makan sehari.
Ia pernah menghitungnya, tak lebih dari 125 butir. Banyak
tahanan yang mati kelaparan. Dari sekitar 200 orang tahanan dari Boyolali yang
dibawa ke Nusakambangan, termasuk dirinya, hanya tersisa 60 orang yang bertahan
hidup.
“Yang kurus-kurus mati, yang hidup menderita beri-beri, kurang gizi. Memang kami ini sengaja dibiarkan mati pelan-pelan,” ujar Wagiyo.
Tak tahan kelaparan, Wagiyo nekat mencuri makanan di
gudang. Ia pernah sekali ketahuan, dan mendapat hukuman cambuk dengan ‘kelamin
sapi’ – sebutan untuk sejenis cemeti berukuran 60 centimeter yang terbuat dari
karet tebal dan keras berserat benang, mirip karet timba air sumur, yang diberi
gagang.
Proyo (83 tahun), dari
Karanganyar. Foto oleh Ari Susanto
Wagiyo memiliki teman bernama Proyo dari Karanganyar
sejak di Nusakambangan. Mereka sama-sama menjadi tahanan 13 tahun sebelum
akhirnya dibebaskan dari Buru pada 1978.
Proyo adalah pekerja pabrik logam di Solo, yang ditahan
tentara saat geger Gestok. Di Nusakambangan, Proyo juga hampir mati kelaparan.
Saat keluar sel, ia mencari apa saja yang bisa dimakan.
“Tahanan kadang makan gaplek, bulgur, atau jagung, tapi jumlahnya hanya segenggam untuk sehari,” kata Proyo yang kini berusia 83 tahun.
“Saya selalu bawa kaleng bekas cat, kalau ada becikot, belalang, apa saja di kebun, saya ambil untuk dimakan. Saya tak mau mati kelaparan seperti yang lainnya.”
Proyo kemudian dipindah ke Buru. Di sana, ia termasuk
kelompok yang pertama kali datang ke pulau itu. Ia dipaksa menyeberangi rawa
sedalam dada manusia dewasa pada malam hari, lalu tidur di bekas sarang babi
hutan.
Untuk membuka ladang, Proyo menjalani kerja paksa
mencabuti alang-alang dan perdu dengan tangan, hingga telapaknya berdarah. Saat
pertama datang, para tahanan tidak dibekali alat pertanian dan pertukangan agar
tidak dipakai sebagai senjata untuk melawan tentara yang menjaga mereka di
pulau itu.
“Kerja paksa itu seharian, kalau istirahat sebentar, kena tendang atau popor bedil, dikira malas-malasan,” kenang Proyo.
Sebelum ladang menghasilkan, tahanan disuruh mencari
makanan sendiri dari pohon sagu, seperti yang dimakan penduduk asli pulau itu.
Biasanya, jika para tahanan mencari sagu, penduduk asli menyingkir. Mereka
ditakut-takuti oleh tentara bahwa para tahanan adalah pembunuh yang kejam.
Setelah tumbuh singkong, ketela, jagung, nanas, padi, dan
hasil ternak. Proyo dan kawan-kawan bisa menikmati makanan. Di Nusakambangan,
mereka tak bisa makan apa yang mereka tanam, sedangkan di Buru, mereka bisa
menikmati sepuasnya.
“Sampai ada seorang kawan yang tidak mau pulang saat pembebasan. Dia menetap di sana, karena di Jawa juga sudah tak punya rumah dan saudara,” kata Proyo.
Suyitno, Wagiyo, dan Proyo adalah orang-orang yang
nasibnya berubah karena huru-hara politik 65. Belasan tahun menjadi tahanan
tanpa pengadilan.
Bahkan, sejak mereka dibebaskan, mereka tetap menjadi
‘tahanan’ oleh stigma eks-tapol, eks-pengkhianat negara, eks-pemberontak.
Suaranya dihitung untuk melanggenggkan Golkar saat pemilu, keturunannya mengalami
diskriminasi, dan mereka terus diawasi.
Sampai sekarang, mereka tidak bebas berkumpul, karena
selalu ada tuduhan akan menghidupkan kembali PKI lewat rapat-rapat gelap.
“Padahal kami berkumpul hanya ingin memperjuangkan rehabilitasi nama dan hak kami yang terampas Orde Baru,” ujar ketiga kakek itu.
0 komentar:
Posting Komentar