23 September 2017 - 14:03 | Reza Nurrohman *
"Jawa adalah kunci!"
Itulah slogan film PKI yang sekaligus
menggambarkan fakta tragis PKI yang lahir dan Mati di Jawa. Apabila PKI fokus
pada daerah luar Jawa, tentu sejarah Indonesia akan
lain ceritanya. Begitulah komentar akademisi John Roosa terhadap petualangan
PKI dalam sejarah Indonesia.
Ketika PKI dibubarkan pada tahun 1966 sebagai buntut
tragedi 1965 pengganti Aidit yang ditembak mati tidak patah arang. Pimpinan PKI
yang tersisa seperti Sudisman dan Rewang memutuskan untuk mengubah strateginya.
Selama 1966, Sudisman membuat strategi baru yang
didasarkan pada prinsip perjuangan bersenjata. Taktik militer gerilya yang
disusun sisa-sisa PKI yang selamat memutuskan melakukan hijrah ke desa-desa
dengan pusat komando Blitar Selatan untuk menjalankan strategi ala Mao dari
Partai Komunis Cina yaitu strategi desa mengepung kota.
Sejarah militer mencatat inilah pertama kalinya perang
antigerilya dijalankan TNI dan operasi militer pertama Presiden Suharto untuk
menumpas Komunis Gaya Baru bernama Tri Sula dengan Pagar Betis.
Menurut versi pemerintah dan militer Indonesia, partai
terlarang PKI baru mulai membentuk basis komunis gaya baru atau kompro (Komite
Proyek Basis) di Blitar Selatan pada Oktober 1967.
Gerakan itu adalah upaya terakhir untuk membangun
perlawanan saat hampir semua anggota PKI mendekam di penjara atau tergeletak
tewas dalam kuburan-kuburan massal. Mereka yang selamat dari represi di Jawa
kemudian berkumpul di Blitar Selatan pada 1966-67, karena daerah itu sangat
terpencil dan sulit ditembus oleh militer. Ada beberapa penduduk setempat yang
membantu menyediakan makanan dan tempat berteduh.
Blitar Selatan adalah sebuah kecamatan di wilayah
Kabupaten Blitar, yang lama dikenal sebagai daerah miskin di Jawa Timur.
Sebelum 1965, Blitar Selatan adalah daerah yang terbelakang dan tidak banyak
diperhatikan. Di zaman Belanda pun perkebunan besar tidak menjangkau wilayah ini,
dan sepertinya sengaja dibiarkan terbengkalai. Beberapa pejabat bahkan
menyebutnya sarang perampok yang sulit dan memang tidak perlu dijangkau. Banyak
terjadi misteri pada daerah ini dari mulai pelarian, pemberontakan sampai
kisah-kisah mistis.
Setelah pasukan Belanda pergi dan Indonesia mendapatkan
kemerdekaan penuh, tetap tidak ada kekuatan politik lain yang tekun
bekerja di Blitar Selatan, kecuali organisasi gerakan kiri. Salah satu
organisasi yang terpenting adalah BTI yang mayoritas anggotanya adalah kaum
tani miskin.
Di Blitar Selatan, organisasi itu disambut karena
bertujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani. Bagi orang kebanyakan, PKI
mempunyai daya tarik karena memang tidak ada partai lain yang berhubungan erat
dengan ormas-ormas, seperti Gerwani, BTI, Lekra, dan Pemuda Rakyat, yang
bekerja sampai ke pelosok-pelosok desa.
Berita tentang tragedi 1965 menyebar dengan cepat, tapi
tidak ke Blitar Selatan. Daerah itu dalam kesehariannya sangat terlambat
menerima berita dari kota lain, apalagi dari Jakarta yang letaknya sangat jauh.
Otomatis pelarian PKI semakin aman berkumpul di daerah
ini dan melakukan perlawanan terakhirnya dengan segenap kekuatan seperti
layaknya organisasi militan yang siap mati. Saat memutuskan akan menggelar
operasi anti-PKI di Blitar Selatan, Angkatan Darat membawa serta sejumlah
milisi sipil dari luar Blitar karena tak ada rakyat yang mau membantu.
Awalnya, operasi itu terarah khusus pada anggota PKI dan
orang yang diduga berafiliasi dengan partai tersebut. Tapi lama-lama banyak
orang yang tidak punya kaitan apa pun dengan kegiatan politik menjadi sasaran.
Banyak kasus pertengkaran yang kemudian berlanjut menjadi
pembantaian ketika salah satu pihak mendapat legitimasi dengan mencap lawannya
sebagai komunis gaya baru. Para pemimpin operasi pembersihan ini kadang
menetapkan target jumlah orang yang harus mereka habisi sebagai bukti
keberhasilan.
Orang Tionghoa juga menjadi sasaran karena selama ini
dianggap menyokong PKI dan berhubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok.
Komunis gaya baru atau sisa PKI yang bergabung di Blitar
Selatan umumnya adalah aktivis mahasiswa, buruh, petani, pemuda, dan perempuan
yang lolos dari pembantaian 1965 dan masih terus dicari penguasa.
Mereka yang berhasil menghindari penangkapan atau hanya
ditahan sebentar mulai lelah main kucing-kucingan dengan militer. Di kota-kota
mereka harus senantiasa waspada agar tidak dikenali oleh informan militer,
termasuk oleh anggota partai yang berkhianat karena disiksa dan diancam
militer. Ada juga serdadu militer yang khawatir akan ditangkap, meninggalkan
pasukannya, dan lari ke Blitar Selatan.
Penduduk dengan mudah menerima para pelarian dan
berinteraksi karena memang mengenal sebagian sebagai mantan anggota Laskar
Rakyat atau aktivis yang berkunjung ke tempat mereka. Namanya juga orang Jawa
kalau sudah dekat mengingat jasa PKI pada daerah mereka sudah seperti saudara
kandung sendiri.
Taktik perlawanan PKI dengan sistem organisasi yang
tertutup ini dipilih untuk melindungi jaringan komite proyek jika ada salah
satu anggota yang tertangkap. Orang-orang PKI tak kenal siapa komandan dan
bawahan seperti teroris masa kini pakai sistem sel. Sebaliknya,pihak militer
dalam terbitannya mengenai Operasi Trisula selalu menggambarkan bagan
organisasi dengan jelas seolah memang ada susunan yang pasti dan berjalan
efektif.
Keberhasilan PKI bersatu pada dengan rakyat Blitar sampai
menyulitkan militer,keadaan tersebut dapat menimbulkan frustrasi di kalangan
pasukan, sehingga dalam salah satu briefing (pemberian petunjuk singkat),
Pangdam VIII/Brawijaya mengatakan bahwa rakyat di daerah operasi satuan tugas
harus dianggap sebagai lawan. Dan ditegaskan lagi dalam catatan tambahan
rencana operasi,
"Yang sebenarnya kita hadapi adalah daya tempur lawan termasuk rakyat seluruh Blitar Selatan yang mutlak membantu gerombolan bersenjata G-30-S/PKI dan bukan detasemen gerilya PKI saja."
Awal kontak senjata atau perang, militer maupun pers
menganggap aksi-aksi ini sebagai tindak kriminal biasa. Tapi ketika aksi itu
semakin meluas dan berkembang menjadi penyergapan dan pelucutan senjata di pos
militer serta pabrik yang dijaga oleh militer, sikap ini pun berubah. Di pihak
detasemen gerilya, aksi-aksi itu meningkatkan semangat dan juga menambah beberapa
pucuk senjata, serta menjadi alasan untuk melanjutkannya.
Walaupun PKI bermaksud melancarkan perjuangan bersenjata,
kenyataannya mereka hanya menunda kematian atau penangkapan saja. Sebagian
besar pemimpinnya, seperti Oloan Hutapea, tewas dibunuh sementara lainnya
disekap di penjara selama belasan sampai puluhan tahun. Mereka yang dianggap
'terlibat'oleh sesama tahanan disebut 'pasukan gundul' dikerahkan untuk bekerja
di proyek-proyek pembangunan pemerintah dan terus mengikuti indoktrinasi
tentang kejahatan dan kekejian PKI.
Di antara 'pasukan gundul' juga terdapat penduduk yang
tidak punya kaitan apa pun dengan gerakan perlawanan. Sebagian dari mereka
menerima upah yang sangat kecil jumlahnya.
Sekarang untuk mengenang perang Blitar antara PKI dan
Militer maka didirikanlah Monumen Trisula sebagai lambang kemenangan atas pihak
yang kalah.
Reza
Nurrohman
manusia yang terus
bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun
berkerja merupakan kewajiban saya
0 komentar:
Posting Komentar