Bonnie Triyana | 26 Sep 2017, 11:48
Buku yang membuka mata atas berbagai reaksi negeri-negeri di Asia terhadap genosida politik di Indonesia.
Judul: G30S dan Asia dalam Bayang-bayang Perang Dingin | Editor: Aiko Kurasawa dan Matsumura Toshio | Penerbit: Penerbit Buku Kompas | Cetakan: Pertama, 2016 | Tebal: xxvii + 308 halaman | Foto: sampul buku.
KENDATI disebut-sebut oleh koran New York Times sebagai tragedi kemanusiaan (dengan jumlah korban terbanyak) setelah Perang Dunia Kedua, selama ini genosida politik 1965-1966 terkesan mengundang sedikit saja reaksi dari negeri-negeri lain terhadap Indonesia. Kesan tersebut pudar ketika pada 2013 terbit buku G30S dan Dunia yang mengulas peran dan reaksi negara-negara di Eropa dan Australia pada kejadian 1 Oktober 1965 dan peristiwa genosida yang mengikutinya.
Namun dalam buku itu tak terdapat pembahasan tentang bagaimana reaksi negara-negara di benua Asia. Penerbitan buku G30S dan Asia dalam Bayang-bayang Perang Dingin yang disunting oleh sejarawan terkemuka dari Jepang, Aiko Kurasawa dan Matsumura Toshio ini melengkapi kajian tentang perspektif negeri-negeri di Asia terhadap genosida 1965 itu.
Buku setebal 300 halaman ini merupakan kumpulan makalah yang pernah dipresentasikan dalam sebuah seminar di LIPI pada 2015 yang lalu. Ada sekira delapan indonesianis.
Peran Tiongkok
Tiongkok sebagai sekutu terdekat Partai Komunis Indonesia sekaligus pemerintah Sukarno pun tak menunjukkan langkah politik apapun terkait kekerasan dan pembunuhan yang terjadi pada negeri kamerad sehaluannya.
Selama ini peran Tiongkok di dalam pusaran arus politik di Indonesia, terlebih soal peristiwa 1 Oktober 1965, selalu diselubungi desas-desus yang bersifat spekulatif. Tiongkok dituduh berada di balik pergolakan politik tersebut sehingga pemerintah Soeharto memutus hubungan diplomatik dengan negeri tirai bambu itu.
Pada buku yang disunting oleh sejarawan Aiko Kurosawa dan Matsumura Toshio ini, kisah tentang hubungan Tiongkok dengan Indonesia dalam peristiwa 1 Oktober 1965 dibahas oleh Taomo Zhou, sejarawan alumnus Cornell University. Untuk membuka misteri hubungan tersebut, dia berhasil membuka arsip-arsip milik Partai Komunis Tiongkok yang memuat informasi sejauh mana Tiongkok mengambil peranan baik sebelum maupun dalam huru-hara politik berdarah itu.
Dalam soal pembentukan Angkatan ke-5 misalnya. Pada pertengahan Januari 1965 santer terdengar rencana untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani. Ide itu dilontarkan oleh DN. Aidit, ketua CC PKI. Gagasan itu kontan mendapat reaksi negatif dari Angkatan Darat, sebaliknya Angkatan Udara malah mendukung. Dalam kaitannya dengan gagasan Angkatan ke-5 itu, Taomo menyebutkan Tiongkok berjanji akan menyokong senjata.
Bantuan senjata memang tak pernah terwujud sampai peristiwa 1 Oktober 1965 terjadi. Namun kabar bantuan itu terlanjur tersebar sebagai bukti keterlibatan Tiongkok kepada PKI yang dituduh akan merebut kekuasaan. Taomo menolak isu bantuan senjata itu turut menentukan perkembangan situasi politik menjelang meletusnya peristiwa G30S karena pada kenyataanya justru “institusi militer Indonesia hampir seluruhnya disuplai oleh Uni Soviet,” tulisnya.
Dari riset Taomo pula diketahui kalau Tiongkok mempertimbangkan rencana untuk alih teknologi nuklir kepada Indonesia. Terlebih setelah Tiongkok berhasil meledakkan bom nuklir pertama pada 16 Oktober 1964. Rencana alih teknologi nyaris saja terwujud seandainya peristiwa 1 Oktober 1965 tidak terjadi. Bahkan Perdana Menteri Zhou Enlai merencanakan untuk mengadakan pembicaraan teknis mengenai bantuan itu pada 2 Oktober 1965, namun perubahan politik di Indonesia membuat alih pengetahuan nuklir itu tersisa sebagai rencana saja.
Taomo yang menulis pada bagian pertama buku ini mengungkapkan banyak hal menarik tentang hubungan Tiongkok dengan Indonesia. Selama ini yang diketahui publik tentang hal tersebut hanyalah bantuan senjata jenis cung atau bantuan dokter yang merawat Presiden Sukarno yang saat itu menderita sakit ginjal. Argumentasi Taomo didukung oleh arsip-arsip Partai Komunis Tiongkok dan juga arsip kementerian luar negeri Tiongkok. Dengan jalan ini dia berhasil membuka misteri bagaimana sebetulnya sikap Tiongkok terhadap Indonesia, khususnya terhadap Partai Komunis Indonesia.
Pada bagian kedua, Baba Kimihiko mengulas reaksi Taiwan terhadap kejadian 1 Oktober 1965 di Jakarta. Menurutnya, Taiwan yang saat itu anti komunis dan berkonflik dengan Tiongkok justru mengambil keuntungan dari bekunya hubungan Tiongkok- Indonesia. Terbukanya kesempatan berhubungan dengan Indonesia, setelah pada masa Sukarno Taiwan tak punya akses, dimanfaatkan untuk melobi pemerintahan yang baru untuk melindungi warga Tionghoa yang anti-komunis.
Baba juga mengungkapkan langkah gesit Taiwan untuk segera membuka hubungan dengan Indonesia. Iklim politik yang baru menciptakan kesempatan tersebut. Indonesia, lewat Adam Malik, banyak melakukan kontak dengan pihak Taiwan. Mereka bahkan memiliki jadwal pertemuan rutin untuk membicarakan hal-hal penting menyangkut propaganda anti-komunis melawan Tiongkok, perlindungan warga Tionghoa-Indonesia yang anti-komunis serta promosi dagang kedua negara.
Taiwan memetik keuntungan banyak dari peritiswa 1 Oktober 1965 yang membuat hubungan Tiongkok-Indonesia memburuk. Menurut Baba, ini juga yang digunakan oleh Taiwan untuk membalas kampanye negatif Tiongkok terhadap Taiwan ke dunia internasional. Pada masa sebelumnya, Taiwan seringkali dipersepsikan Tiongkok sebagai negeri boneka imperialis. Maka sejak 1 Oktober 1965, Taiwan mempropagandakan secara negatif Tiongkok ke dunia internasional.
Posisi Jepang
Tak kalah pentingnya, buku ini juga mengungkapkan bagaimana posisi Jepang dalam peristiwa 1 Oktober 1965. Menurut Aiko, Jepang mengambil sikap ambigu dalam peristiwa 1 Oktober 1965. Jepang tetap mendukung Sukarno sambil terus berharap pihak komunis akan lenyap dari pentas politik dalam negeri Indonesia.
“Namun melihat Sukarno tak bisa mengendalikan situasi dan banyak kekacauan fisik di mana-mana, politikus dan diplomat Jepang juga mulai menyadari bahwa Sukarno tidak mampu melestarikan keamanan dan stabilisasi, dan mulai memihak Angkatan Darat secara diam-diam,” tulis Aiko pada bagian ketiga buku yang membahas posisi Jepang dalam peristiwa G30S.
Perubahan sikap terhadap Sukarno dimulai pada November 1965. Jepang, menurut Aiko, mulai pesimis terhadap Sukarno untuk bisa mengendalikan keadaan. Namun demikian, sekalipun perlahan meninggalkan Sukarno, Jepang tetap bersikap “wait and see” terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi di Jakarta.
Selama dalam masa itu, Kedutaan Jepang di Jakarta menerima beberapa kali kedatangan utusan kubu Soeharto-Nasution. Yang menarik menurut Aiko adalah alasan bantuan yang selalu menggunakan alasan “kemanusiaan”. Satu hal lain yang menarik dari temuan Aiko juga adalah koneksi “zaman revolusi” antara Shigetada Nishijima dengan Adam Malik.
Shigetada Nishijima adalah orang dekat Laksamana Maeda yang berperan penting di dalam peristiwa perumusan teks proklamasi oleh Sukarno dan Hatta. Nishijima memiliki hubungan dekat dengan beberapa tokoh politik Indonesia, termasuk dengan Adam Mali karena peran dia pada masa pendudukan Jepang sebagai seorang agen intelijen di dalam kantor penghubung Angkatan Laut Jepang.
Koneksi ini ternyata berlanjut, namun bukan demi kepentingan Jepang melainkan malah keperluan Adam Malik terhadap Amerika Serikat. Nishijima menjadi penghubung dan pembawa bantuan dana dari CIA kepada Adam Malik. Dana itulah yang digunakan untuk melawan kelompok loyalis Sukarno dan juga menyokong upaya penumpasan kaum komunis.
Pemberitaan Media di Korea
Bagian kedua buku ini mengulas tentang berbagai pemberitaan peristiwa G30S 1965 di beberapa negara Asia, mulai Filipina, Korea Utara dan Selatan, Vietnam, Tiongkok sampai Jepang. Yang menarik adalah riset dari Tanaka Yuichiro dan Kwon Sohyun yang menelaah bagaimana koran-koran di Korea Utara dan Selatan dalam memberitakan peristiwa G30S 1965 di Jakarta.
Dua koran itu, yakni Choson-Sinbo dan Rodong Shinmun memberitakan peristiwa G30S 1965 sebagai upaya serangan kepada pemerintahan Sukarno. Dua koran ini juga mempersepsikan PKI sebagai partai yang melawan kapitalisme dan imperialisme. Choson-Sinbo bahkan mengambarkan peristiwa G30S sebagai bentuk gangguan dari kelompok reaksioner yang disokong Amerika Serikat dan Inggris.
Sikap kedua koran tersebut yang membela Sukarno dan PKI bisa dimengerti karena Korea Utara adalah negara komunis yang menjadi sekutu dekat Sukarno sebelum dia dijatuhkan. Presiden Kim Il Sung bahkan dikenal bersahabat dengan Sukarno. Rodong Shinmun juga melontarkan kecaman terhadap kekerasan yang menimpa kaum komunis di Indonesia.
Berkebalikan dengan koran Korea Utara itu, koran Chosun Ilbo terbitan Korea Selatan, menggambarkan peristiwa G30S 1965 sebagai masa akhir kekuatan komunisme di Indonesia. Koran ini juga membuat istilah “runtuhnya Netralisme di Indonesia” untuk merujuk kepada sikap non-blok yang berlangsung semasa kepresidenan Sukarno. Koran ini menurut kedua penulis, “sikapnya anti komunis dan konservatif jelas lebih menganut pandangan anti komunis.”
Kedua perbandingan koran terbitan Korea Utara dan Selatan itu melambangkan bagaimana suasana Perang Dingin dan keberpihakan antar-blok berpengaruh pada cara pandang mereka terhadap peristiwa G30S. Bagi koran anti-komunis, runtuhnya kekuasaan Sukarno yang diiringi genosida adalah kabar baik. Sementara koran yang pro-komunis dari negara sahabat Sukarno lebih cenderung mengutuk berbagai kekerasan yang terjadi di sepanjang tahun 1965-1966 itu.
Bila sebuah resensi buku diharuskan memiliki penilaian apakah buku ini layak dibaca atau tidak, maka jawaban yang pasti diberikan adalah layak. Kenapa? Tentu saja karena buku ini hasil riset para ahli Indonesia yang mencurahkan perhatian mereka pada peristiwa genosida politik 1965. Apalagi sebagian besar dari mereka menggunakan bahan-bahan arsip yang berasal dari negerinya masing-masing yang tentu saja memperkaya kajian transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto yang diwarnai kekerasan.
0 komentar:
Posting Komentar