Reporter: Petrik Matanasi | 20 September, 2017
Kolonel Sugiono. FOTO/Istimewa
- Letkol Sugiono diculik saat hendak bertemu Kolonel Katamso yang akhirnya juga ditangkap gerombolan
- Setelah dibunuh, ia dikubur sampai akhirnya diketemukan 3 minggu kemudian
Di malam jahanam itu, Letnan Kolonel Sugijono kena garuk anak buah Mayor Muljono.
Penculikan dan pembunuhan Gerakan 30 September tak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di Yogyakarta. Di sini, komandan Korem 072/Pamungkas dan kepala stafnya kena garuk gerakan tersebut.
“Mayor Muljono memimpin pasukan pemberontak menggerebek rumah komandan mereka, Kolonel Katamso. Mereka menculiknya dan juga kepala stafnya, Letnan Kolonel Sugijono, yang kebetulan ada di rumah itu ketika para pemberontak datang. Mereka membawa dua perwira itu ke sebuah kota kecil di utara Yogyakarta, Kentungan, dan menahan mereka di tangsi batalyon militer di sana. Kemudian mereka membunuh kedua perwira tersebut,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massa (2008).
Versi lain menyebut keduanya ditangkap gerombolan di tempat berbeda. Kala itu, Sugijono belum lama pulang dari luar kota. Dia tertangkap ketika masuk ke markas korem Yogyakarta. Semula, ia hendak bertemu Kolonel Katamso yang akhirnya juga ditangkap gerombolan.
Mereka berdua sama-sama ditahan di tahan di Batalyon Kentungan sebelum dibunuh pada 2 Oktober 1965 dengan dihantam kunci mortir dari belakang. Setelah tak bernyawa, mereka dikubur hingga hampir tiga minggu. Jenazah keduanya baru ditemukan pada 21 Oktober 1965. Dua perwira yang menjadi korban itu pun turut jadi legenda Pahlawan Revolusi asal Yogyakarta.
Sebelum jadi Pahlawan Revolusi, Letnan Kolonel Sugijono barangkali hanya dikenal di sekitar kota Yogyakarta. Perwira kelahiran Ponjong, 12 Agustus 1926 ini disebut dalam beberapa buku sejarah pahlawan nasional, salah satunya Biografi Pahlawan Nasional dari Lingkungan ABRI (1979) terbitan Pusat Sejarah ABRI. Ia pernah jadi ajudan Letnan Kolonel Soeharto di zaman revolusi. Sugijono juga dianggap turut beraksi dalam Serangan Umum 1 Maret.
Usai Revolusi, ketika pasukan Soeharto dikirim ke Sulawesi Selatan, Sugijono menjadi tentara. Sebagai eks anggota Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Peta), ia kemudian ikut Badan Keamanan Rakyat (BKR), lalu Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sugijono yang gagal jadi guru itu, menurut Pahlawan Center, memulai karier di Peta dengan pangkat bundancho (komandan regu), pangkat setara sersan.
Sugijono, menurut Pusat Sejarah ABRI, “sejak tanggal 31 Agustus 1945 ditunjuk sebagai Komandan seksi BKR di Yogyakarta. Pada tanggal 5 Oktober 1945, dengan pangkat Letnan Dua, Sugijono ditugaskan sebagai Komandan Seksi I Kompi 2 Batalyon 10 Resimen III di Yogyakarta.”
Usai revolusi, Sugijono menjadi komandan kompi 4 Batalyon 411 Brigade C di Purworejo. Tahun 1955 barulah dia memperoleh pangkat kapten.
Menurut catatan buku yang disusun Baskara T. Wardaya, Suara Di Balik Prahara (2011), Sugijono adalah bekas Komandan Batalyon 454 Banteng Raider di Srondol, Semarang yang digantikan oleh Untung, pemimpin Gerakan 30 September (G30S).
Buku lain, Monumen Pancasila Çakti (1975), menyebut “Sugijono mempunyai andil yang besar pula dalam pembentukan Yon Banteng Raiders di Srondol, Semarang, ketika menjabat sebagai WA-DAN Yon 441. Karena sukses dalam tugas-tugas ini, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor.”
Pangkat mayor sudah disandangnya sebelum 1961. Dia naik pangkat letnan kolonel sejak Januari 1963. Sebelum menjadi Kepala Staf Korem di Yogyakarta, Sugijono pernah menjadi komandan Kodim di Pati. Lalu, Komandan Kodim di Yogyakarta sambil merangkap pejabat Kepala Staf Korem beberapa bulan sebelum kematiannya.
Berdasar Surat Keputusan Presiden Rl No.118/Koti tanggal 19 Oktober 1965, Sugijono pun jadi Pahlawan Revolusi. Tak lupa, pangkatnya dinaikkan setingkat lebih tinggi setelah kematiannya menjadi kolonel. Seperti umumnya Pahlawan Revolusi, nama Kolonel Sugijono pun menjadi nama jalan.
“Mayor Muljono memimpin pasukan pemberontak menggerebek rumah komandan mereka, Kolonel Katamso. Mereka menculiknya dan juga kepala stafnya, Letnan Kolonel Sugijono, yang kebetulan ada di rumah itu ketika para pemberontak datang. Mereka membawa dua perwira itu ke sebuah kota kecil di utara Yogyakarta, Kentungan, dan menahan mereka di tangsi batalyon militer di sana. Kemudian mereka membunuh kedua perwira tersebut,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massa (2008).
Versi lain menyebut keduanya ditangkap gerombolan di tempat berbeda. Kala itu, Sugijono belum lama pulang dari luar kota. Dia tertangkap ketika masuk ke markas korem Yogyakarta. Semula, ia hendak bertemu Kolonel Katamso yang akhirnya juga ditangkap gerombolan.
Mereka berdua sama-sama ditahan di tahan di Batalyon Kentungan sebelum dibunuh pada 2 Oktober 1965 dengan dihantam kunci mortir dari belakang. Setelah tak bernyawa, mereka dikubur hingga hampir tiga minggu. Jenazah keduanya baru ditemukan pada 21 Oktober 1965. Dua perwira yang menjadi korban itu pun turut jadi legenda Pahlawan Revolusi asal Yogyakarta.
Sebelum jadi Pahlawan Revolusi, Letnan Kolonel Sugijono barangkali hanya dikenal di sekitar kota Yogyakarta. Perwira kelahiran Ponjong, 12 Agustus 1926 ini disebut dalam beberapa buku sejarah pahlawan nasional, salah satunya Biografi Pahlawan Nasional dari Lingkungan ABRI (1979) terbitan Pusat Sejarah ABRI. Ia pernah jadi ajudan Letnan Kolonel Soeharto di zaman revolusi. Sugijono juga dianggap turut beraksi dalam Serangan Umum 1 Maret.
Usai Revolusi, ketika pasukan Soeharto dikirim ke Sulawesi Selatan, Sugijono menjadi tentara. Sebagai eks anggota Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Peta), ia kemudian ikut Badan Keamanan Rakyat (BKR), lalu Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sugijono yang gagal jadi guru itu, menurut Pahlawan Center, memulai karier di Peta dengan pangkat bundancho (komandan regu), pangkat setara sersan.
Sugijono, menurut Pusat Sejarah ABRI, “sejak tanggal 31 Agustus 1945 ditunjuk sebagai Komandan seksi BKR di Yogyakarta. Pada tanggal 5 Oktober 1945, dengan pangkat Letnan Dua, Sugijono ditugaskan sebagai Komandan Seksi I Kompi 2 Batalyon 10 Resimen III di Yogyakarta.”
Usai revolusi, Sugijono menjadi komandan kompi 4 Batalyon 411 Brigade C di Purworejo. Tahun 1955 barulah dia memperoleh pangkat kapten.
Menurut catatan buku yang disusun Baskara T. Wardaya, Suara Di Balik Prahara (2011), Sugijono adalah bekas Komandan Batalyon 454 Banteng Raider di Srondol, Semarang yang digantikan oleh Untung, pemimpin Gerakan 30 September (G30S).
Buku lain, Monumen Pancasila Çakti (1975), menyebut “Sugijono mempunyai andil yang besar pula dalam pembentukan Yon Banteng Raiders di Srondol, Semarang, ketika menjabat sebagai WA-DAN Yon 441. Karena sukses dalam tugas-tugas ini, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor.”
Pangkat mayor sudah disandangnya sebelum 1961. Dia naik pangkat letnan kolonel sejak Januari 1963. Sebelum menjadi Kepala Staf Korem di Yogyakarta, Sugijono pernah menjadi komandan Kodim di Pati. Lalu, Komandan Kodim di Yogyakarta sambil merangkap pejabat Kepala Staf Korem beberapa bulan sebelum kematiannya.
Berdasar Surat Keputusan Presiden Rl No.118/Koti tanggal 19 Oktober 1965, Sugijono pun jadi Pahlawan Revolusi. Tak lupa, pangkatnya dinaikkan setingkat lebih tinggi setelah kematiannya menjadi kolonel. Seperti umumnya Pahlawan Revolusi, nama Kolonel Sugijono pun menjadi nama jalan.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar