Moh Habib Asyhad - Senin,
25 September 2017 | 13:40 WIB
Potongan wajah Dipa
Nusantara Aidit, atau D.N. Aidit, yang dikenal sebagai Ketua Umum Partai
Komunis Indonesia (PKI) dipajang di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno Hatta
sebagai satu karya seni.
Intisari-Online.com - Sekitar 15 tahun sebelum
geger 65, Aidit dan Lukman, dua pentolan PKI, pernah berurusan dengan
pengadilan.
Bukan karena makar, bukan pula karena berpihak kepada
Belanda. Mereka disidang gara-gara jadi penumpang gelap di sebuah kapal jurusan
Tanjung Priok – Hong Kong
Bagaimana bisa Aidit dan Lukman terdampar di kapal
ini, dan dan vonis apa yang akhirnya mereka dapatkan, mantan pengacara mereka
pernah menuliskannya untuk Intisari edisi Desember 1977.
Tentu saja bukan sesudah 30 September 1965, tapi
permulaan tahun 1950, tidak lama setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda.
Waktu itu, Ibu Moedigdio, mertua Aidit, datang pada saya untuk
memberitahu bahwa menantunya dan Loekman ditahan di Tanjung Priok dan akan
diadili keesokan harinya oleh Pengadilan Negeri Priok. Kejahatannya?
Menjadi penumpang tanpa karcis pada sebuah kapal K.P.M.
yang sedang dalam pelayaran dari Tanjung Priok ke Hongkong.
Perbuatan ini memang dapat dihukum menurut pasal 472 bis
K.U.H.P. dengan hukuman maksimal 3 bulan penjara.
Mengapa orang pertama dan kedua dari Partai Komunis
Indonesia ini bisa menjadi penumpang gelap pada kapal K.P.M. yang sedang menuju
ke Hongkong?
Jawabannya ialah karena mereka berhasil menyelinap ke
luar negeri ketika Belanda melaksanakan aksi militer kedua terhadap R.I.
Kemana mereka pergi? Sampai sekarang saya tidak tahu,
entah ke Peking entah ke Moskow mungkin untuk "training" lebih
lanjut.
Tapi pennulaan tahun 1950, ketika akan pulang ke
Indonesia, mereka tersangkut di Singapura, tanpa uang dan tanpa paspor.
Mereka orang-orang cerdik. Mereka naik saja ke kapal
K.P.M. yang singgah di Singapura dalam perjalanan antara Tanjung Priok —
Hongkong.
Memang di Singapura semua orang boleh naik ke kapal yang
berlabuh di sana. Keduanya bersembunyi dan baru keluar sesudah kapal berlayar
lagi di laut lepas.
Mereka berbohong, menyatakan naik di Tanjung Priok untuk
pergi ke Hongkong kemudian akan ke RRC dengan maksud menjenguk keluarga di
sana.
Mereka berdua mengaku "she Tan", artinya nama
keluarga mereka "Tan". Selain itu mereka juga mengakui bahwa mereka
tidak bisa bahasa Cina.
Kapten kapal menyatakan bahwa menyesal ia tidak bisa
mengabulkan permintaan kedua orang "she Tan" ini. Mereka harus dibawa
kembali ke Tanjung Priok untuk diserahkan kepada polisi.
Selama perjalanan ke Hongkong dan dari Hongkong ke
Tanjung Priok, mereka diharuskan bekerja di kapal dengan diberi sekadar uang
belanja.
Selama kapal berlabuh 5 hari di Hongkong, mereka boleh
ikut berjalan-jalan di darat, tapi selalu dikawal oleh jurumudi atau petugas
kapal yang lain. Jadi sebetulnya enak juga!
Setibanya di Tanjung Priok mereka diserahkan kepada
polisi pelabuhan untuk ditahan dan disidangkan secara summier keesokan
harinya.
Mereka berhasil memberi kabar kepada Ibu Moedigdio yang
segera datang minta pertolongan kepada saya.
Keesokan harinya, Ibu Moedigdio dan saya datang ke
Pengadilan Negeri Tanjung Priok. Saya beritahu panitera bahwa saya akan menjadi
pembela Aidit dan
Loekman.
Hakimnya adalah Asan Nasution (kini almarhum) yang
kemudian menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta yang terkenal tegas sekali.
Kemudian saya bersahabat karib dengannya dan saya pernah
bermalam 5 hari di rumahnya ketika Pak Nasution ini menjadi Ketua Pengadilan
Negeri Tanjungpinang.
Tapi hari itu di Tanjung Priok saya baru pertama kali
bertemu dengannya.
"Mau apa Mr. Tan ini?" tanyanya. "Ini 'kan perkara summer dan kedua terdakwa sudah mengaku. Bagaimana akan dibela?"
Saya tertawa. "Saudara hakim," kata saya, "perkara ini kelihatannya tidak dapat dibela, tapi saya ingin menunjukkan bahwa kedua terdakwa terpaksa berbohong karena mereka bukan naik kapal di Tanjung Priok, melainkan di Singapura. Mereka ingin pulang ke Indonesia, tapi tidak punya uang, tidak punya paspor. Maka itu mereka mengaku naik di Priok supaya dikembalikan ke Priok. Saudara hakim, saya dalam keadaan yang sama akan melakukan hal yang sama pula. Malah saya berani berkata bahwa saudara hakim sendiri akan berbuat demikian. Kalau saudara hakim mengakui bahwa saudara hakim akan berbuat begitu juga, maka saudara hakim sudah mengakui bahwa keadaan mereka sudah merupakan "rechtvaardigingsgrond" (alasan yang membenarkan) untuk perbuatan mereka dan mereka harus dibebaskan. Selain itu saya juga ingin mengemukakan bahwa Aidit dan Loekman ini bukan penumpang gelap biasa, sebab mereka orang pertama dan orang kedua dari P.K.I."
Mendengar keterangan saya yang terakhir ini Pak Asan
Nasution berkata:
"Nanti dulu! Tepatkah persoalan ini dilihat dari sudut juridis saja? Apakah sebaiknya diajukan pula pertimbangan politis? Perkara ini saya undurkan dua minggu dan saya akan mintakan pandangan PAM (Polisi Aliran Masyarakat)".
Demikianlah perkara ini diserahkan kepada P.A.M. Aidit dan Loekman diambil
sidik jarinya walaupun Ibu Moedigdio protes keras.
Pembelaan perkara ini diambil alih oleh saudara Luat
Siregar S.H., yaitu anggota parlemen, Fraksi P.K.I, bekas pengacara di Medan.
Saya tentu saja tidak keberatan, sebab buat perkara ini
sudah tentu saya tidak akan berani minta honorarium.
Akhirnya saya dengar bahwa hakim Asan Nasution
menjatuhkan hukuman 2 minggu penjara dengan masa percobaan satu tahun.
Saya anggap hukuman ini kurang patut. Maklumlah waktu itu
hakim dan P.A.M. lebih anti P.K.I. dari saya yang ketika itu belum dimusuhi
golongan komunis!
(Ditulis oleh Tan Po Goan S.H.
Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1977)
0 komentar:
Posting Komentar