Martin Sitompul | 29 Sep 2017, 15:14
Seorang kapten menuduh petinggi ABRI menyiapkan senjata untuk kudeta. Padahal, senjata itu untuk dijual kepada pejuang Mujahiddin Afganistan yang melawan Uni Soviet.
Panglima ABRI Jenderal TNI LB Moerdani memegang senapan serbu H&K MP5 A3 sambil berbincang dengan Brigjen TNI Sintong Panjaitan, Komandan Kopassandha di Cijantung, Jakarta. Foto: repro "Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando."
PANGLIMA TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo gusar. Dalam sebuah rekaman viral, Gatot menyatakan ada institusi nonmiliter yang menyiapkan 5.000 pucuk senjata api ilegal. Menurut Gatot, berdasarkan amatan jajaran intelijennya, senjata itu dipersiapkan untuk kepentingan tertentu dengan mencatut nama presiden. Dia menyitir ada segelintir oknum TNI yang bermain politik.
“Mereka akan saya buat merintih bukan hanya menangis,” tegas Gatot dalam rekaman itu.
Tak ayal, rekaman itu membuat kegaduhan di tubuh TNI. Kegaduhan serupa juga pernah terjadi saat TNI AD tergabung dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada dekade 1980-an.
Pada Maret 1983, menjelang Sidang Umum MPR, pasukan Kopassandha (kini Kopassus) dari Detasemen 81/Antiteror disiagakan. Perintah siaga tempur datang dari seorang perwira muda, Kapten Prabowo Subianto. Wakil komandan Den 81/Antiteror itu mencurigai adanya distribusi senjata di markas besar ABRI.
Kepada anak buahnya, Prabowo, yang juga menantu Presiden Soeharto, menginstruksikan untuk “mengamankan” calon Panglima ABRI, Letjen TNI L.B. Moerdani. Instruksi penangkapan serupa juga ditujukan kepada tiga jenderal perwira tinggi ABRI: Letjen TNI Sudharmono, Marsekal Madya Ginandjar Kartasasmita, dan Letjen TNI Moerdiono.
Rencana penangkapan itu disampaikan Prabowo kepada atasannya, Mayor Luhut Panjaitan. Kepada Luhut, Prabowo mengungkap jika Benny hendak melakukan kudeta. Tudingan itu berdasarkan adanya penyadapan dan aliran senjata di markas ABRI. Setelah operasi kontra kudeta dilaksanakan, Prabowo merencanakan untuk menyelamatkan Presiden Soeharto ke markas Kopassandha di Cijantung.
Luhut menampiknya. Sebagaimana dikutip Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Luhut berujar, “Kamu minta saya mengambil Soeharto ke sini (Cijantung, red.). Itu melakukan by pass garis komando seberapa jauh?” Luhut lantas melaporkan Prabowo kepada atasannya, Kolonel Sintong Panjaitan, Komandan Grup 3/Sandiyudha.
Sejak itu, hubungan antara Prabowo dan Luhut menjadi retak.
Dalam biografi Sintong Panjaitan dijelaskan, Benny memang benar memasukkan senjata. Tetapi senjata itu merupakan dagangan untuk Pakistan yang selanjutnya disalurkan ke para pejuang Mujahiddin Afganistan untuk melawan Uni Soviet. Di antara senjata itu adalah senapan serbu AK-47 dan senapan laras panjang SKS dari Israel, serta senjata antitank buatan Prancis.
“Jadi Pak Benny memainkan peranan itu. But it has nothing to do with coup d’etat,” tegas Luhut.
Menurut Sintong, tuduhan Benny akan melakukan kudeta hanya dilakukan oleh orang sakit. Seharusnya terhadap Prabowo yang melontarkan tuduhan itu, harus diambil tindakan. “Namun kenyataannya ABRI tidak punya keberanian mengambil tindakan apapun, karena keseganan terhadap Soeharto yang mungkin akan membela menantunya.”
Kendati demikian, kasus ini terdengar sampai ke pucuk pimpinan ABRI, termasuk Benny. Karena tidak terbukti, Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Kemanan Jenderal TNI M. Jusuf menginginkan isu ini diselesaikan secara internal. Prabowo yang dinilai tertekan karena situasi yang kurang baik di Cijantung diberikan cuti selama dua minggu. Tak lama kemudian, Prabowo dipindahkan dari Kopassandha dan dijadikan Kepala Staf Kodim. Pada 1985, Prabowo menempati pos baru di Kostrad.
Kivlan Zen dalam Konflik dan Integrasi TNI AD menyebut, pemberian jabatan buangan ini menimbulkan kebencian dan rasa tidak berdaya Prabowo terhadap Benny Moerdani. Sebaliknya, sejak itu pula mulai muncul gerakan “Debennysasi”, upaya melemahkan pengaruh Benny Moerdani di kalangan perwira menengah TNI AD. Orang-orang yang dianggap dekat dengan Benny tersingkir dan dipersulit jenjang kariernya. Luhut Panjaitan misalnya, hingga mencapai pangkat jenderal berbintang tiga tidak pernah menjabat sebagai panglima.
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah, menguraikan posisi tawar yang dimiliki Prabowo dalam bertindak berkaitan dengan latar belakang dan relasi yang dimilikinya. Sekalipun tindakannya acapkali tidak dilandasi pertimbangan yang masuk akal.
“Ber-ayahkan tokoh nasional terkemuka –ekonom Sumitro Djojohadikusumo– serta menantu Presiden Soeharto, membuat rasa percaya diri Prabowo sangat tinggi sekaligus penuh curiga.”Sumber: Historia.Id
0 komentar:
Posting Komentar