Randy Wirayudha | 28 Sep 2017, 21:17
Perwakilan negara-negara antikomunis mempersoalkan kehadiran Republik Rakyat Tiongkok dalam Konferensi Asia Afrika.
Kehadiran Perdana Menteri China Zhou Enlai (tengah) memicu perdebatan tentang komunisme di KAA. Foto: UNESCO.
PERDEBATAN soal komunisme kembali marak mendekati akhir September dan awal Oktober ini. Situasi tersebut terjadi di jagad dunia maya hingga layar kaca televisi. Perdebatan yang sama pernah terjadi satu dekade sebelum tragedi 1965. Itu berlangsung dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Ketika itu, sejumlah negara-negara antikomunis menyerang delegasi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang diketuai oleh Perdana Menteri Zhou Enlai, secara verbal lewat pidato-pidato pembuka.
Dalam pidato-pidatonya wakil dari Irak, Filipina, Pakistan dan Thailand, menyatakan bahwa kolonialisme dan imperialisme tidak boleh dipisahkan pula dengan kebijakan-kebijakan luar negeri Uni Soviet yang juga cenderung bersifat imperialisme. Mereka juga menyebut bahwa imperialisme tidak hanya dilakukan negara-negara barat, namun juga negara-negara blok timur. Karena itu, mereka memperingatkan forum KAA ini tidak boleh dimanfaatkan untuk propaganda komunisme.
“Pidato-pidato keras tentang antikomunis disampaikan di hari pembuka Konferensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia oleh Menlu Irak Fadhil Jamal, Perdana Menteri Pakistan Mohammed Ali, perwakilan Filipina Carlos Romulo dan Menlu Thailand Pangeran Wan Waithayakon. Jelas dari pidato-pidato itu bahwa mereka tidak ingin konferensi berkembang menjadi kendaraan propaganda komunis. Selain mengkritisi kolonialisme barat, dia juga memperingatkan imperialisme komunis sebagai bahaya besar terhadap negara-negara baru di Asia dan Afrika,” tulis majalah Philippines Free Press yang turut meliput KAA Bandung.
Menhadapi berbagai serangan itu, Zhou Enlai yang sebelumnya tidak berniat ikut memberi pidato pembuka, angkat bicara. Dia menyatakan secara tegas bahwa tak akan ada propaganda komunis di forum KAA.
“Sebenarnya Zhou Enlai ingin melewatkan haknya menyampaikan pidato pembuka. Namun sementara yang lain berpidato dan mengekspresikan sikap mereka terhadap komunisme, Zhou En Lai berdiri dan menyatakan bahwa dia berhak menyampaikan pidato pembelaan,” ungkap Lisandro E. Claudio mengutip memoar Sir John Kotelawala dalam Liberalism and the Postcolony.
Zhou menyatakan bahwa kehadirannya di KAA Bandung bukan untuk mempromosikan paham komunis. Perdebatan menjadi ricuh saat Menteri Luar Negeri Irak Fadhil Jamali terus-menerus menyerang Zhou dan kebijakan negaranya yang represif. Begitu emosionalnya Jamail, sampai-sampai harus “diajak” keluar oleh diplomat Indonesia, Abdul Rahman Baswedan.
Baswedan lantas membawa Menlu Irak itu untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh nasional macam M Natsir, Parwoto dan M Roem. Dalam agenda tukar pikiran itu, Fadhil Jamali juga mencurahkan ketidaknyamanannya semenjak tiba di Bandara Kemayoran Jakarta, sebelum menghadiri KAA di Bandung.
Diungkapkan Sutarmin dalam Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, Menlu Irak menguraikan keheranannya pula bahwa Indonesia yag dipimpin oleh seorang Ahmad Sukarno, membolehkan partai komunis ikut Pemilu 1955.
Menlu Irak itu juga menceritakan bahwa dia tak nyaman karena terlalu banyak melihat atribut-atribut kampanye PKI dalam perjalanannya dari Jakarta ke Bandung. M Roem pun mencoba memberi penjelasan bahwa Indonesia sebagai negara demokratis, memberi kesempatan pada partai apapun untuk ikut Pemilu.
“Ya, tuan punya demokrasi membikin partai komunis besar dan kelak akan merebut kekuasaan pemerintah,” cetus Jamali memotong penjelasan M. Roem.
Dia juga melanjutkan kecamannya kepada komunisme sebagai ideologi yang tak boleh diberikan ruang untuk hidup. “Di Irak, kami tidak memberi kesempatan sedikit pun pada gerakan komunis. Begitu kelihatan muncul, segera kita injak,” ujarnya seraya memperagakan gerakan hentakan kaki ke tanah.
Sumber: Historia.Id
0 komentar:
Posting Komentar