Selasa, 19 September 2017

Tantangan bagi mereka pengecam diskusi pelurusan sejarah '65


Selasa, 19 September 2017 07:31 - Reporter : Rizky Andwika

Panitia diskusi 1965 jumpa pers. ©2017 Merdeka.com

Merdeka.com - Mereka penolak atau yang merasa gerah dengan topik pengungkapan sejarah '65 tak perlu repot-repot melakukan aksi yang membuang energi. Apalagi jika aksi dilakukan berbuntut kericuhan. Apabila merasa sebuah diskusi tentang '65 dirasa janggal, mereka ditantang seharusnya cukup dengan membuat diskusi tandingan.

"Bagi masyarakat yang tidak sepakat dengan diskusi tersebut harusnya membalas hal tersebut dengan mengadakan diskusi ilmiah tandingan, sehingga proses demokrasi semakin dewasa," kata Direktur Eksekutif, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Nawawi Bahrudin melalui keterangan tertulis, Senin (18/9).

Nawawi juga mengecam tindakan ke polisian yang berlebihan dengan membubarkan diskusi ilmiah dengan topik pelurusan sejarah '65. Dalam negara demokrasi, seharusnya kepolisian tak perlu bersikap berlebihan menyikapi kegiatan tersebut. 
Apalagi, dia menegaskan, tak ada maksud dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Forum '65 menggelar diskusi untuk membangkitkan komunisme seperti yang dituduhkan.

Direktur YLBHI Asfinawati menegaskan jika diskusi yang akhirnya ditunda itu tidak berniat membahas sedikit pun mengenai komunisme, marxisme atau leninisme.
"Diskusi kemarin itu membahas pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965. Itu bukan semuanya mengenai PKI," katanya.
Pembubaran diskusi tentang sejarah '65 tak hanya sekali terjadi. Aksi reaktif aparat dikecam oleh Amnesty International, organisasi internasional yang aktif menyerukan soal hak asasi manusia (HAM), meminta agar Pemerintah Indonesia menghentikan pembungkaman diskusi publik terkait pelanggaran HAM berat yang terjadi pada '65.
"Amnesty International prihatin atas upaya yang terus dilakukan Pemerintah Indonesia untuk membungkam diskusi publik dan membubarkan acara yang terkait dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi 50 tahun yang lalu," ujar Wakil Direktur Kampanye Kantor Wilayah Asia Tenggara dan Pasifik, Josef Roy Benedict, melalui pernyataannya, (1/11/2015).
Pada 23 Februari 2015 aparat juga melakukan pembubaran terhadap diskusi yang berkaitan dengan '65. Aparat membubarkan diskusi rehabilitasi korban tragedi '6565 Yayasan Peneliti Korban Pembunuhan (YPKP) di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Padahal diskusi ini digelar untuk mencari solusi untuk keluarga korban PKI khususnya yang telah berusia senja.

Pelanggaran HAM di tahun '65

Pada tahun 1965 diyakini telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran. Komnas HAM mencatat telah terjadi pelanggaran HAM, termasuk penyiksaan, penghilangan paksa, pemerkosaan, perbudakan seksual, dan kejahatan kekerasan seksual lainnya.

Hasil keputusan final sidang Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) di Den Haag menyatakan Indonesia bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi pada 1965-1966.
"Tindakan pembunuhan massal, dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa 1965 dan sesudahnya, dan kegagalan untuk mencegahnya atau menindak pelakunya, berlangsung sepenuhnya di bawah tanggung jawab Negara Indonesia," kata Ketua Hakim IPT 1965, Zak Yacoob, melalui rekaman video yang diputar di YLBHI, Jakarta, Rabu (20/07/2016).

Suasana Sidang Rakyat Internasional 1965 2015 Merdeka.com

Dalam keputusan IPT 1965, Yacoob menyatakan kejahatan kemanusiaan itu dilakukan terhadap 'para pemimpin PKI, anggota atau simpatisannya, loyalis Sukarno, dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), serikat buruh, serikat guru, dan khususnya kalangan Tionghoa atau yang berdarah campuran'. Ini dapat digolongkan dalam genosida.

Dalam sidang tersebut, diputuskan pemerintah diminta meminta maaf kepada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka untuk peran negara dalam semua kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan lain yang terjadi di Indonesia terkait dengan peristiwa '65.

Pemerintah juga diminta untuk 'memberikan kompensasi dan santunan yang memadai kepada korban dan penyintas'.

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 Untung Bedjo mengungkapkan baik korban maupun keluarga korban dalam tragedi 1965 selalu mendapatkan perlakuan diskriminatif dari aparat. Mereka merasa diperlakukan seperti seorang teroris.

Hal ini merupakan salah satu yang disampaikan YPKP 65 saat menemui Ketu Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sri Adiningsih dan Anggota Wantimpres Sidarto Danusubroto, Kamis (25/8/2016).

Pertemuan tersebut, kata dia, meminta agar Wantimpres menyampaikan ke Presiden Joko Widodo untuk menjamin keselamatan bagi tiap korban tragedi 65. Sekaligus meminta jaminan hidup tenang tanpa selalu diintai dalam setiap berkegiatan.

"Di daerah masih menganggap kita ini seperti teroris, ini tolong sampaikan, jangan lagi. Biarkanlah kami keluarga korban hidup damai, tenang, menikmati masa tua meski dalam keterbatasan dan penuh represi dan penindasan," kata Bedjo di Kantor Wantimpres.
"Kita berhak untuk hidup secara layak, tidak lagi dikejar-kejar karena kami bukan penjahat, ormas kami resmi dan diumumkan di lembaran negara," sambungnya.
Bedjo mengungkapkan salah satu perlakuan diskriminatif dari aparat yaitu saat organisasinya sedang melakukan rapat di Cianjur, Jawa Barat dan dibubarkan. Selain itu, ada pula korban tragedi 65 yang selalu diawasi gerak-geriknya oleh Intelijen.
"Di Salatiga, Solo, Semarang, Banyuwangi, selalu diikuti oleh intel. Ini saya minta jangan lagi. Karena kita ini para korban, tidak mengaitkan dengan urusan politik," katanya.


Darurat demokrasi

Menurut Aliansi Jurnalis Independen, Indonesia di era Jokowi sudah berada di dalam situasi darurat demokrasi.
"Tidak ada negara yang mengaku demokratis namun alat negaranya melakukan pembubaran diskusi. Indonesia sudah masuk dalam darurat demokrasi," kata Ketua AJI Indonesia, Suwarjono, dalam keterangan tertulis, Minggu (17/9).
Suwarjono mengatakan, peristiwa pembubaran pantas dikabarkan ke seluruh dunia agar seluruh elemen pro-demokrasi mengetahui betapa buruk demokrasi di tanah air.

Apalagi, dalam peristiwa di gedung YLBHI Jakarta itu sempat diwarnai dengan pelarangan aktivitas jurnalistik oleh polisi yang seharusnya bertugas mengamankan jalannya seminar.

Berdasarkan catatan AJI, sepanjang tahun 2017 polisi terlibat dalam pembubaran berbagai kegiatan masyarakat di berbagai tempat di Indonesia.

Mulai pembubaran aksi lilin untuk Basuki Tjahaja Purnama, pembubaran kegiatan bernuansa agama tertentu, serta pembubaran aksi solidaritas untuk Papua dan aksi buruh. Pembubaran diskusi 65 di YLBHI menambah deretan pelanggaran berekspresi di era Jokowi menjabat sebagai presiden. [rzk]


0 komentar:

Posting Komentar