HUSNI MUBAROK - Jumat,
22 September 2017
“Seorang sejarawan berkata: klaim mau “meluruskan
sejarah” itu pongah. Masa lalu tak pernah diketahui lengkap dan selalu
ditafsirkan.”
~Goenawan Mohamad~
Bisakah kita meluruskan sejarah yang bengkok? Bisakah
sejarah lurus atau bengkok? Siapa yang menentukan ini kisah yang lurus dan itu
kisah yang bengkok?
Pertanyaan ini mengemuka kembali setelah diskusi yang
diadakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diintimidasi
dan diserang sekelompok massa. Diskusi tersebut memang hendak membahas
pengungkapan kebenaran sejarah terkait tragedi 1965. Penyelenggara menganggap
perlu mengungkap kebenaran pada sejarah yang dibengkokkan.
Contoh yang sering muncul untuk mendukung pandangan
pembengkokan sejarah di atas adalah film Pengkhianatan G30S(1984). Rezim
Orde Baru mewajibkan siswa siswi sekolah dasar menonton film ini setiap bulan
September. Informasi di buku ajar maupun museum yang dibangun penguasa pada
masa itu juga memperlihatkan pembengkokan lainnya.
Sementara itu, ada pihak lain yang meyakini bahwa
film Pengkhianatan G30S dan materi lain itu telah menyajikan gambaran
“lurus” dan benar mengenai tragedi 65. Tidak perlu lagi ada pelurusan sejarah,
ungkap mereka. Atas dasar anggapan itu, Jenderal
Gatot Nurmantyo mengajak jajarannya untuk nonton bereng film ini
hari-hari ini.
Saya di antara yang meragukan ada karya yang mampu
menghadirkan satu versi sejarah yang lurus, benar, tepat dan tidak melenceng
dari peristiwa 52 tahun silam itu. Setiap karya menyajikan dan memberi makna
masing-masing atas data yang terkumpul. Agar setiap makna karya bisa
didiskusikan dan diuji satu sama lain, yang kita perlukan adalah ruang yang
aman dan adil. Tanpa itu, setiap karya bisa mendaku paling benar tanpa teruji
dengan karya lain.
Pandangan sejarawan yang saya ambil dari cuitan Goenawan
Mohamad di awal tulisan ini patut kita renungkan. “Masa lalu tak pernah
diketahui lengkap dan selalu ditafsirkan.” Pelaku, tanggal dan tempat kejadian,
dan berapa lama terjadi, dan lainnya tentu saja ada. Hanya saja, semua
peristiwa itu tidak akan pernah bisa ditangkap dan disajikan secara utuh.
Setiap karya selalu mengandung reduksi atau penciutan makna atas kisah
tertentu.
Dua film ini, Pengkhianatan G30S dan The
Act of Killing, bisa menjadi ilustrasi yang baik. Kedua film ini
menggambarkan peristiwa pada tragedi yang sama dengan sudut pandang yang
berbeda. Betapapun yang kedua film dokumenter, yang bisa ia tangkap sebagian
dari kisah korban yang ingin diungkapkan sutradara. Sementara itu, film pertama
hampir tidak bisa menghindari penciutan makna sebab film ini adalah fiksi.
Selain kedua film di atas, sudah terbit ratusan artikel,
puluhan buku, belasan catatan mengenai tragedi ini. Namun, tidak ada satu pun
karya dianggap paling lengkap. Semua produk pengetahuan itu mengungkapkan data
tertentu, wilayah tertentu, waktu tertentu, serta sudut pandang tertentu.
Setiap karya selalu mengandung sudut pandang untuk membantah kesimpulan karya lainnya.
Perihal sudut pandang, gagasan Stuart Hall (1997)
mengenai representasi bisa membantu kita untuk memahami lebih rinci. Para
pemikir studi-studi media sebelum Hall memaknai representasi sebagai replikasi,
peniruan masa lalu. Sebab meniru, representasi seakan melaporkan masa lalu,
datang belakangan dan terlepas dari kisah yang hendak digambarkan.
Lantaran peniruan ini, muncul anggapan ada yang
lurus-bengkok, benar-salah, lengkap-kurang lengkap, dan seterusnya. Padahal,
menurut Hall, bagaimana pun peniruan pasti mengandung reduksi atas apa yang
ditirukan. Tidak ada peniruan 100 persen benar.
Hall mengajukan pengertian baru untuk kata
“representasi”. Representasi, menurutnya, bukan menirukan, melainkan
mewakilkan. Representasi berarti mewakili masa lalu untuk mengisahkan kembali
kepada kita di masa kini. Pengarang, sutradara, atau penulis kisah secara
sengaja membentuk makna tertentu atas kisah yang ia utarakan dan gambarkan pada
karyanya itu.
Representasi bukan tidak percaya ada fakta di luar
bahasa. Representasi ala Hall ini mengakui dunia objektif di luar bahasa. Akan
tetapi, ia tidak mengakui ada “makna” di luar bahasa. Manakala sebuah insiden
masa lalu telah dibahasakan dan ditampilkan kepada kita, melalui media apa pun,
di saat itu pula ia tengah mengemukakan makna tertentu. Dengan demikian, bagi
Hall, setiap representasi adalah pembentukan makna.
Kita ambil film Pengkhianatan G30S lagi sebagai
contoh. Film ini menggambarkan seluruh peristiwa tragedi 65 itu dilakukan
partai komunis. Saking jahatnya anggota partai ini, mereka digambarkan dalam
film ini melukai korban-korbannya dengan mencungkil mata dan merusak alat
kelamin. Film ini jelas membentuk makna atas tragedi itu.
Ben
Anderson, Indonesianis terkemuka dari Cornell University, membantah
penggambaran dalam film di atas atas peristiwa yang sama dalam tulisannya, “How
Did the Generals Die?”, di Jurnal Indonesia tahun 1987. Ia merujuk
dokumen yang ia temukan di kampusnya mengenai hasil visum para jenderal. Ben
menunjukkan bahwa tidak ada mata yang tercungkil, semua utuh, sebagaimana
digambarkan pada film di atas.
Penonton dan pembaca punya kesempatan untuk memaknai
kedua kisah pada dua karya ini secara berbeda-beda, sesuai dengan latar
belakang dan keyakinannya. Sebagian mempercayai kesan yang ditimbulkan oleh
film Pengkhianatan G30S. Sebagian lain sudah meninggalkannya karena
laporan Ben Anderson lebih meyakinkan. Suka tidak suka, kedua karya ini beredar
luas dan setiap kita bisa menonton dan membacanya secara bebas.
Hall mewanti-wanti perihal kuasa di belakang
representasi. Kuasa bisa membuat makna mana yang akan dominan dan mana yang
hilang begitu saja. Kuasa di sini bisa datang dari mana saja: pemodal, negara,
pemuka masyarakat, pemuka agama, dan pemuka lainnya. Kuasa mereka bisa memaksa
makna mana yang boleh dan mana yang tidak.
Selama Orde Baru berkuasa, hanya karya-karya yang lulus
sensor yang boleh merepresentasikan peristiwa ini. Representasi pada karya lain
hanya bisa diakses oleh mereka yang berpendidikan tinggi, itu pun dalam bahasa
Inggris di kampus-kampus di luar negeri. Sejak reformasi situasi sudah mulai
berubah. Sudah banyak karya yang merepresentasikan beragam makna.
Dalam konteks inilah kita sejatinya tidak perlu
meluruskan kisah yang dianggap bengkok tragedi 1965. Keputusan lurus atau
bengkok biarkan pembaca dan penonton yang menilai. Kita justru membutuhkan
berbagai versi agar mereka bisa punya banyak pilihan.
Seruan Presiden Joko Widodo mengenai perlu versi baru
tragedi 1965 untuk generasi milenial, karenanya, patut kita sambut. Yang
terpenting, generasi milenial maupun generasi lainnya bisa menoton dan membaca
karya-karya yang ada dalam suasana aman.
Para sineas juga perlu merasa aman ketika mereka membuat
film dengan topik tragedi ini. Peneliti merasa aman mempublikasikan
temuan-temuan baru dengan sudut pandang baru. Aktor-aktor yang terlibat merasa
aman untuk mengungkapkan pandangannya yang selama ini tidak mendapat saluran.
Penjual buku dan film, di dunia maya maupun nyata, merasa
aman memperjualbelikan barang-barang terkait tragedi itu. Generasi milenial
merasa aman untuk membaca buku, menonton film, dan mendiskusikan beragam sumber
pengetahuan terkait tragedi 65. Begitu juga mereka yang punya pandangan bahwa
film Pengkhianatan G30S sebagai mengandung kebenaran harus merasa
aman untuk menontonnya.
Pengetahuan tidak akan berkembang jika untuk diskusi saja
dibubarkan atas
desakan massa, seperti terjadi di YLBHI. Bagaimana generasi muda bisa
mengerti lebih baik mengenai berbagai ideologi seperti komunisme atau
liberalisme, jika bahan bacaan dilarang beredar di pasaran? Jangan salahkan
mereka yang menulis di poster “PKI=liberal”, padahal keduanya anti satu sama
lain (PKI anti gagasan liberal; liberal anti gagasa PKI), jika diskursus
dibatasi.
Selain aman, kita juga membutuhkan rasa keadilan.
Selagi
satu karya yang bisa dipertanggungjawabkan, ia boleh tampil di muka publik.
Biarkan pasar yang menentukan, representasi mana yang akan “dibeli” masyarakat.
Jika pemerintah memfasilitasi satu karya, maka sediakan fasilitas serupa untuk
karya lain.
Agar versi baru bisa lahir, Presiden Jokowi sedianya
perlu memberi jaminan rasa aman dan adil untuk semua pihak. Saya jamin ratusan
film yang cocok untuk generasi milenial mengenai tragedi 65 akan bermunculan
dengan sendirinya. Kita serahkan proses “pelurusan” sejarah bekerja melalui
sejarah pengetahuan Indonesia. Aman dan adil, bukan lurus, kata kuncinya.
0 komentar:
Posting Komentar