Penulis: Aris Santoso
Berbicara tentang
gerakan kiri di Tanah Air, selalu merujuk pada tiga peristiwa, masing-masing
Pemberontakan 1926, Madiun 1948 dan Peristiwa 1965. Tak ada ruang bagi garis
kiri? Opini Aris Santoso.
Pada pertengahan Mei lalu, Presiden Jokowi kembali menegaskan
soal masih berlakunya Tap MPRS (tahun 1966), yang mengatur soal pelarangan PKI
serta ajaran marxisme-leninisme. Masih dengan semangat yang sama, Jokowi saat
itu sempat meluncurkan ujaran "gebuk” bagi organisasi yang sekiranya
bertentangan dengan Pancasila.
Kata "gebuk” itu sendiri, ditujukan pada
semua organisasi yang berpotensi melawan Pancasila, namun PKI disebut secara
khusus oleh Jokowi. Ini bisa ditafsirkan sebagai sinyal, bahwa praktis tidak
ada ruang lagi bagi PKI dan organisasi berorientasi kiri lainnya. Di negeri ini
gerakan kiri ibarat kutukan, yang pelarangannya selalu diulang-ulang oleh
penguasa mana pun.
Pemberontakan 1926
Berbicara tentang gerakan kiri
di Tanah Air, selalu merujuk pada tiga peristiwa. Pemberontakan 1926,
Madiun 1948 dan Peristiwa 1965. Paling rancu adalah persepsi publik tentang
Pemberontakan 1926, yang posisinya acap kali disamakan dengan dua peristiwa
sesudahnya, padahal Pemberontakan 1926 seharusnya dipandang dalam konteks
perlawanan terhadap rezim kolonial. Ketidakpedulian publik atas konteks
Pemberontakan 1926, menyiratkan satu hal, bahwa resistensi terhadap gerakan
kiri tersebar di semua lini. Termasuk juga nalar publik, yang sudah tidak
sanggup mencerna obyektivitas posisi Pemberontakan 1926
Perlawanan terhadap gerakan
kiri di Indonesia (d/h Hindia Belanda) usianya sudah lebih dari seabad, bahkan
lebih tua setahun dibanding Revolusi Bolshevik di Rusia (Oktober 1917), yang
selama ini dianggap sebagai tonggak kemenangan gerakan komunisme Dunia. Tonggak
perlawanan itu dimulai pada Kongres Nasional Central Sarekat Islam pertama di
Bandung tahun 1916, ketika sebagian peserta mempersoalkan keberadaan
Sneevliet dan Semaoen di lingkungan Sarekat Islam, mengingat dua figur tersebut
memperkenalkan idelogi sosial-demokrasi (baca: marxisme) di
Hindia-Belanda. Oleh generasi penerus Sarekat Islam, peristiwa di Bandung
tersebut selalu diperingati setiap tahun sampai sekarang.
Demikian juga terkait
Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 1965, ada fenomena unik yang mungkin luput
dari pengamatan kita selama ini, bahwa "perlawanan” terhadap PKI
juga dilakukan oleh unsur internal mereka sendiri. Dalam Madiun 1948
misalnya, salah satu komponen utama dari FDR (Front Demokrasi Rakyat)
adalah laskar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), namun sebenarnya tidak ada
pernyataan resmi bahwa Pesindo harus bergabung dalam FDR, soal
bergabung-tidaknya dikembalikan kepada pilihan anggota Pesindo secara pribadi.
Keberadaan laskar
Pesindo memang perlu diberi catatan khusus, mengingat posisi khas Pesindo
sebagai satuan bersenjata (combatan).
Meskipun bukan tentara reguler, persenjataan satuan ini setara, bahkan melebihi
satuan reguler. Kekuatan Pesindo dianggap berpotensi sebagai pesaing bagi
satuan tentara regular, oleh sebab itu ketika operasi pembersihan dilakukan
satuan dari Divisi Siliwangi (dikenal sangat setia pada pemerintah, khususnya
figur Hatta), laskar Pesindo menjadi prioritas untuk dilumpuhkan segera.
Fenomena Pesindo
dalam Peristiwa Madiun berulang kembali pada dekade 1960-an, dalam hal ini
bagaimana pola hubungan antara PKI dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Banyak orang tidak tahu, bahwa antara Lekra dan PKI tidak ada hubungan formal,
dengan kata lain Lekra tidak masuk dalam struktur organisasi PKI.
Bila ada sebagian
anggota Lekra, yang kemudian dekat atau masuk dalam lingkaran elite PKI, itu
sifatnya personal. Informasi soal bagaimana sebenarnya hubungan antara Lekra
dan PKI, saya dengar langsung dari mantan Sekretaris Umum Lekra Jubar Ayub
(meninggal 1996), beberapa saat sebelum beliau meninggal. Singkatnya, yang
"meresmikan” Lekra sebagai bagian dari PKI secara organisatoris adalah
Orde Baru, berdasarkan tafsir Orde Baru sendiri.
Dihubungkan
dengan situasi kekinian, ketika emosi massa tetap membuncah, adakah yang masih
bersedia sabar sedikit, untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada Pesindo
dan Lekra di masa lalu. Bahwa masalahnya tidak sesederhana yang selama ini kita
lihat. Namun nalar publik sudah terlanjur tertutup, sebab akses informasi juga
sudah tertutup rapat, tidak ada ruang sekadar klarifikasi soal beragamnya fakta
terkait Madiun 1948 dan Peristiwa 1965.
Aksi massa
ritualistik
Bila publik sedikit mau bersabar belajar sejarah, kegaduhan yang rutin
terjadi setiap akhir September menjadi tidak perlu, seperti
aksi massa baru-baru ini di halaman depan kantor YLBHI di Menteng, Jakarta
Pusat. Logikanya begini, penolakan Lekra untuk selalu dikaitkan dengan PKI,
seharusnya membuat kelompok vigilante menjadi sedikit lebih tenang. Energi
mereka yang terbuang percuma dalam aksi massa ritualistik tahunan, bisa
dialihkan pada kegiatan lain yang lebih bermanfaat bagi orang banyak.
Ini memang
tipikal politik Indonesia kontemporer, yaitu kuatnya motif saling menunggangi
atau memancing di air keruh. Hal itu bisa berjalan, karena ada pihak yang sengaja
mengambil untung dari aksi-aksi berkala seperti itu. Bagi pihak yang ingin
mengambil keuntungan, dana bukan lagi masalah, selalu ada pos untuk itu. Bagi
mereka isu apa pun akan dibikin gaduh, terlebih isu komunis, yang bisa mudah
sekali menyulut histeria massa.
Sudah menjadi
pengetahuan umum, kalau sebagian besar partisipan kelompok vigilante merupakan
kaum pengangguran tidak kentara, yang sesekali membutuhkan asupan "gizi”.
Asupan gizi hanya akan datang bila ada kontroversi politik, semisal mengangkat isu
komunis atau isu primordial. Ini sebuah realitas pahit bagi publik sebenarnya,
ketika para elitenya gemar menggoreng isu di atas lingkaran setan problem
kesejahteraan dan minimnya wawasan rakyat jelata.
Keadilan-sosial
Ketiaadaan
ruang bagi gerakan kiri merupakan momentum bagi rezim Jokowi, melalui
UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila) dalam ikhtiar
pembumian nilai-nilai Pancasila, khususnya sila keadilan-sosial. Keberhasilan
dalam implementasi sila keadilan-sosial, adalah cara efektif Jokowi untuk
membungkam pihak yang selama ini menjadi sponsor aksi massa kelompok vigilante
tersebut, yang dengan cara kurang etis, memanfaatkan kegelisahan rakyat miskin
kota.
Tidak
terlalu sulit untuk membaca agenda di balik aksi berkala tahunan tersebut. Ini
semua adalah bagian dari proyek ambisi kekuasaan pihak sponsor (besar). Dalam
bayangan mereka, Jokowi hanya mungkin dijatuhkan dengan aksi massa ekstra
parlementer skala besar, bila melalui prosedur demokrasi biasa (seperti
pilpres), ambisi kekuasaan akan sulit terwujud.
Sila
keadilan-sosial juga memberi ruang bagi kaum muda yang dari generasi ke
generasi, selalu ada yang terpanggil untuk membela rakyat kecil. Gerakan
mahasiswa era 1980-an dan seterusnya, seperti pembelaan terhadap korban
pembangunan waduk Kedungombo (Jateng) atau konflik tanah Badega (Jabar),
merupakan perwujudan komitmen gerakan mahasiswa atas rakyat yang tertindas.
Di
masa Orde Baru, pembelaan terhadap rakyat tertindas sering diberi stigma sebagai
gerakan kiri. Melalui sila keadilan-sosial, keberpihakan kaum muda terhadap
rakyat, serta menjamur gerakan filantropi oleh lembaga besar maupun individu,
memperoleh dasar yang legal, tanpa kekhawatiran munculnya kembali fobia
kiri seperti masa lalu.
____________
Penulis: Aris Santoso, sejak lama dikenal
sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku
paruh waktu.
0 komentar:
Posting Komentar