Dian Kurniati | Sabtu, 23 Sep 2017 11:00 WIB
Pemerintah hanya menerima 17 dari 75 rekomendasi dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) siklus ketiga di Jenewa.
Jakarta- Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras Putri Kanesia menilai pemerintah hanya mencari posisi aman saat menerima hanya 17 dari 75 rekomendasi dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) siklus ketiga di Jenewa, kemarin. Apalagi, kata Putri, rekomendasi yang diterima tersebut hanya tentang hal umum seperti isu kesehatan dan disabilitas, sedangkan isu krusial misalnya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu justru ditolak.
Putri pesimistis, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan berhasil menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Ini sangat disayangkan. Saya melihat bahwa pemerintah dalam hal ini cari aman, karena hanya rekomendasi yang sifatnya tidak tendesius, sifatnya tidak bertentangan, diambil oleh pemerintah. Tetapi kalau misalnya rekomendasi penyelesaian HAM masa lalu, hanya dicatat, tapi tidak diambil sebagai rekomendasi oleh Indonesia. Saya agak pesimis ya, negara ini dalam kepemimpinan Jokowi hari ini mau serius kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," kata Putri kepada KBR, Jumat (22/09/2017).
Baca: Wiranto Pesimistis
Putri mengatakan, dia sebagai pendamping korban pelanggaran HAM masa lalu sangat menyayangkan hasil sidang UPR yang tak menyentuh substansi pemenuhan hak oleh korban pelanggaran HAM. Kata dia, satu poin rekomendasi yang disetujui pemerintah tentang kasus pelanggaran HAM dalah janji segera merealisasikan pengadilan HAM untuk kasus Wasior dan Wamena, Papua. Itupun, menurut Putri, masih sangat abstrak karena hanya mengulang janji yang dulu pernah disampaikan.
Menurut Putri, hasil pertemuan tersebut juga menunjukkan lemahnya keseriusan pemerintah dalam pemenuhan HAM masyarakatnya. Apalagi, kata dia, Indonesia berencana bergabung sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Putri menilai, Indonesia yang tak mau terbuka dan serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di negaranya, akan kesulitan apabila menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Pertanyakan Sulitnya Ungkap Kasus Pelanggaran HAM
Putri juga menyayangkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang menyebut penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu sulit dilakukan. Putri berkata, selama ini pemerintah hanya beralasan sulit mengungkap kasus, tanpa menjelaskan kesulitannya di mana.
Kata Putri, korban sudah lelah terus-menerus dijanjikan.
"Pemerintah juga sebaiknya kongkret, permasalahannya apa, kendalanya di mana, sampai negara merasa kesulitan untuk menyelesaikan ham masa lalu? Apakah problemnya karena ada pihak yang mempersulit, atau kebijakan hari ini tidak sesuai, seperti apa? Ini kan tidak pernah diungkapkan. Atau jangan-jangan ini adalah upaya pemerintah memperlama penyelesaian kasus pelanggaran HAM? Kalau menurut saya, simpel saja, penyelesaiannya. Satu, ada rekomendasi Komnas HAM untuk beberapa kasus yang diduga pelanggaran HAM, ya tinggal follow-up saja. Jadi kuncinya di Jaksa Agung dan Menkopolhukam tentunya," kata Putri.
Putri berujar, Wiranto memiliki kuasa untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Namun, kata Putri, sikapnya yang selalu mengeluh pengungkapan kasus tersebut sangat sulit, justru menunjukkan pemerintah tak serius menyelesaikannya. Padahal, kata dia, Wiranto dan Jaksa Agung cukup menindaklanjuti temuan Komnas HAM dan menjalankan rekomendasinya, seperti membuat pengadilan khusus untuk kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut.
Sebelumnya Penasihat ASEAN dan HAM di Human Rights Working Group (HRWG) Yuyun Wahyuningrum menyatakan pemerintah Indonesia telah menerima 17 dari 75 rekomendasi dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) siklus ketiga di Jenewa. Yuyun merupakan salah satu peserta sidang dari Indonesia, mewakili HRWG. Yuyun mengatakan, secara keseluruhan, berarti Indonesia telah penerimaan 167 rekomendasi, serta mencatat 58 rekomendasi dengan alasan tidak sejalan dengan prioritas dan agenda HAM nasional. Rekomendasi yang diterima pemerintah tersebut misalnya memasukkan disabilitas dalam perencanaan pembangunan nasional, dan mengadakan berbagai aksi untuk menghilangkan kekerasan terhadap perempuan.
Namun, kata Yuyun, pemerintah Indonesia justru menolak rekomendasi penting misalnya pembuatan undangan terbuka (standing invitation) untuk pelapor khusus (special rapporteur) PBB yang ingin membantu menyelesaikan permasalahan HAM, seperti di Papua.
"Saat ini Indonesia selalu menolak semua laporan yang berhubungan dengan pelanggaran HAM di Papua. Dan dia lebih menggunakan perspektifnya sendiri. Dengan adanya special rapporteur, sebetulnya Indonesia bisa memverifikasi apakah benar terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Karena dianggap tidak netral, tapi dia memiliki obyektivitas yang bisa dipertanggngjawabkan," kata Yuyun kepada KBR, Kamis (21/09/2017).
Yuyun mengatakan, penolakan untuk membuat undangan terbuka untuk pelapor khusus tersebut karena pemerintah ingin memilih dan menentukan agenda special rapporteur selama kunjungannya di Indonesia. Hal tersebut, pernah terjadi saat pelapor khusus PBB Frank La Rue, ingin berkunjung ke Papua 2013. Rencana kunjungan tersebut batal karena pemerintah hanya menawarkan kunjungan ke wilayah Indonesia, selain ke Papua, sedangkan Frank La Rue ngotot ingin ke Papua.
Menurut Yuyun, pemerintah Indonesia hanya ingin mengundang special rapporteur tanpa isu sensitif seperti pelanggaran HAM. Padahal, special rapporteur haruslah independen dalam melaporkan temuannya. Kata dia, temuan itulah yang bisa digunakan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang tak kunjung kelar, misalnya berbagai pelanggaran HAM di Papua.
Yuyun berujar, dalam sidang UPR tersebut, memang tak banyak waktu yang dimiliki Duta Besar Michael Tene, Kuasa Usaha Ad Interim Republik Indonesia, untuk menyampaikan alasan menerima atau menolak rekomendasi dari seluruh delegasi negara lain. Namun, pemerintah selalu beralasan bahwa penolakan tersebut lantaran rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan tidak semuanya akurat dan faktual, atau terlalu bertele-tele.
Editor: Rony Sitanggang
Sumber: KBR.ID
0 komentar:
Posting Komentar