Saya merasakan betapa tidak enaknya mengakui kesalahan. Namun, banyak bangsa di dunia ini sengaja mengakui kesalahan mereka. Bahkan mereka menciptakan monument, mengarang lagu atau puisi, atau apa saja untuk membangkitkan kenangan akan kesalahan mereka. Mereka ingin agar masa kini mereka merupakan perbaikan terhadap masa lalu.
Bahkan Bangsa Belanda yang dulu menjajah Indonesia. Mereka berusaha memahami jaman yang kelam. Mereka berdebat apa yang telah mereka lakukan terhadap negeri yang kemudian menamakan dirinya Indonesia itu. Mereka bahkan mulai setuju untuk memberikan kompensasi terhadap penduduk Rawagede seraya secara formal meminta maaf. Juga mereka sedang memroses upaya kompensasi terhadap pembantai Westerling.
Amerika menebus dosa-dosanya terhadap perang Vietnam dengan monumen yang teramat pahit di Washington DC. Pahatan nama-nama di marmer hitam serta aura suasana khidmat yang dipantulkan monumen ini memaksa orang untuk sejenak menyadari. Ada sesuatu yang salah.
Bahkan bangsa negara berkembang seperti Kamboja memiliki cara untuk mengenang kekejaman atas bangsa sendiri yang dilakukan oleh Khmer Merah antara tahun 1975-79 yang memusnahkan sekitar 1,3 juta saudara sebangsanya. Khmer Merah mengijinkan badan PBB untuk menggelar pengadilan HAM untuk mengadili pelakunya.
Rwanda setahu saya juga memiliki cara mengenang kesalahan mereka. Empat bulan pembantaian (April-Juli 1994) dan perburuan suku Tutsi oleh suku Hutu telah mengakibatkan antara setengah juta hingga satu juta orang terbantai.
Satu-satunya bangsa yang sulit sekali mengakui kesalahan dan belajar daripadanya adalah Indonesia. Taruhlah misalnya pembantaian 1965. Semua jelas terjadi. Kuburan-kuburan massal ada dimana-mana. Di Bali, misalnya, hampir setiap hotel di pinggir pantai yang indah itu adalah bekas kuburan massal. Tidak salah kalau dikatakan bahwa turisme di Bali didirikan diatas tulang belulang pembantaian 1965. Di Jawa, luweng, perkebunan, sungai-sungai, hutan, semuanya menjadi saksi kuburan massal.
Namun itu tidak pernah diakui. Pengingkaran itu sedemikian terstruktur. Pengetahuan akan pembantaian itu – sebagian besar terjadi atas dukungan dan kerjasama dengan pihak militer –dihalang-halangi. Pihak militer secara aktif ikut menyebarkan salah satu narasi palsu (hoax) terbesar di negeri ini, antara lain lewat film G30S/PKI.
Saya tidak tahu mengapa pihak militer yang ada sekarang ini merasa bahwa itu adalah tanggungjawab mereka untuk menutup-nutupi pembantaian yang menghabisi hampir satu juta sesama warga negara. Saya juga tidak paham mengapa militer Indonesia merasa perlu untuk ‘mengamankan’ warisan cerita palsu yang disebarkan oleh Suharto dan konco-konconya itu?
Sebenarnya yang perlu dilakukan hanyalah mengakui bahwa sejarah pembantaian itu adalah sebuah kesalahan. Dari kesalahan kita belajar untuk tidak akan melakukannya lagi. Jika kita menolak mengakuinya, seperti kata pepatah, maka kita akan dihukum untuk terus mengulanginya. Ataukah, memang itu tujuannya?
Saya kira, justru dengan menerima kesalahan dan berdamai dengannya kita bisa maju. Kita bisa fokus untuk memajukan bangsa ini. Kita bisa bicara tentang bagaimana membawa bangsa Indonesia, bangsa besar dengan penduduk lebih dari seperempat milyar, untuk bisa pergi ke bulan atau ke planet Mars. Mengapa tidak? Hanya kekerdilan dan kedegilan hati yang membuat kita tidak berani bermimpi dan tidak berani bertarung mewujudkan mimpi itu.
Pengingkaran bahwa kita pernah melakukan kekejaman terhadap bangsa sendiri juga membuat kita terjebak pada situasi sekarang ini. Orang berpolitik dengan memecah dan memilah-milah bangsa ini. Yang beragama A dilarang memilih pemimpin beragama B. Mereka yang berdoa dengan cara yang berbeda harus dijauhi.
Karir politik seseorang dengan gampang dimatikan dengan menghubungkan dia dengan PKI. Dulu di jaman Suharto, setiap asosiasi dengan PKI akan meniadakan hak orang untuk menjadi pegawai negeri, tentara, masuk ke universitas negeri.
Politisi – banyak dari antaranya adalah bekas jendral militer – meniup-niupkan kebangkitan PKI, partai yang sudah luluh lantak tahun 1965 dan sampir sejuta pengikutnya dibunuh tanpa pengadilan. Pengingkaran (denialism) menghasilkan hantu. Almost anything that invokes fear will sell. Apa saja yang menerbitkan ketakutan pasti menjual. Demikian saya pernah menulis di catatan harian saya.
Pengingkaran adalah kutukan. Kita tidak akan pernah bisa maju dengan memelihara ketakutan-ketakutan tidak berdasar. Kita tidak akan pernah maju kalau kita terus membiarkan pemecahbelahan (divisiveness) berkuasa di negeri ini. Saya menjadi sangat sedih ketika saya berkunjung ke negara-negara lain, dimana rakyatnya punya mimpi yang sangat tinggi dan bekerja keras menggapai mimpinya. Kadang saya bertanya: Apa mimpi orang Indonesia? Saya kira, mimpi paling utama orang-orang di negeri ini adalah masuk surga! Bukan surga untuk semua. Tapi surga yang eksklusif untuk orang-orang yang seiman.
Semua kepahitan ini muncul kembali ketika saya menonton video dibawah ini. Ia bercerita tentang tentara Indonesia yang berlatih menyanyikan lagu kebangsaan negara Timor Leste, “Pátria.”
Timor Leste akan membangkitkan paranoia orang Indonesia. Masih banyak yang meratapi “lepasnya” Timor Leste dari Indonesia. Sejak negara ini merdeka, orang-orang Indonesia kemudian menegakkan slogan “NKRI Harga Mati.” Harus ada yang mati untuk NKRI. Dan itu siapa? Jelas bukan yang menamakan dirinya Indonesia.
Banyak sekali, mungkin mayoritas orang Indonesia, percaya bahwa Timor Leste merdeka karena konspirasi internasional. Indonesia adalah korban. Sebuah kepercayaan yang lahid dari pengingkaran bahwa Timor Timur merdeka dari invasi dan aneksasi Indonesia. Sungguh pahit untuk ditelan kenyataan ini: Bahwa sekali waktu Indonesia pernah menjadi penjajah dan gagal total!
Sedikit sekali yang mau belajar bahwa Timor Leste (atau Timor Timur dalam Bahasa Indonesia) dulu adalah hasil invasi Indonesia. Barulah kemudian Indonesia merekayasa yang namanya ‘integrasi.’ Bahkan PBB tidak pernah mengakui aneksasi Indonesia atas wilayah itu. Jadi, apanya yang konspirasi?
Sepertiga penduduk Timor Leste musnah karena invasi dan peperangan antara militer Indonesia dan gerilyawan nasionalis negeri itu. Banyak dari kematian ini karena kebijakan anti-gerilya militer Indonesia yang menimbulkan kelaparan dan penyakit.
Invasi ini tidak pernah diakui. Pembantaian-pembantaian yang terjadi terhadap penduduk Timor Leste juga dianggap tidak pernah ada. Perang sia-sia, yang mengorbankan ribuan jiwa militer Indonesia, dan beaya yang luar biasa besar, juga tidak pernah dianggap sebagai kesalahan. Lebih buruk lagi, ia tidak pernah dibicarakan. Anak-anak Indonesia diusahakan tidak pernah mendengarnya. Lebih baik belajar tentang surga – yang dalam bayangan memberikan segala kenyamanan – ketimbang melihat dan menghadapi kepahitan untuk maju ke depan.
Ironi itulah yang saya tonton ketika militer Indonesia berlatih memainkan lagu kebangsaan negara yang pernah dijajahnya. Untuk saya, ironi ini bertambah besar lagi karena lagu ini dinyanyikan dengan menutup mata terhadap sejarahnya.
Tengoklah lirik lagu “Pátria” ini, yang saya terjemahkan dari Bahasa Inggris:
Tanah Air, Tanah Air, bangsa kami Timor Leste
Mulialah rakyat dan para pahlawan pembebasan kami
Tanah Air, Tanah Air, bangsa kami Timor Leste
Mulialah rakyat dan para pahlawan pembebasan kami
Kami mengenyahkan kolonialisme, kami berteriak:
Mampuslah imperialisme!
Tanah yang bebas, manusia yang bebas
Tidak, tidak, tidak, untuk eksploitasi
Mari maju, bersatu, tegas, dan tegar
Dalam perjuangan melawan imperialism,
Musuh rakyat, hingga kemenangan
Berderap kearah revolusi
Sesungguhnya saya sedih melihat tentara negara yang saya cintai harus memainkan lagu ini tanpa pernah mengakui kekejaman dan kesalahan yang pernah dilakukannya.
Saya membayangkan, seandainya tentara saya mengakui kekejaman mereka dan kesalahan Suharto yang membuat keputusan, tentu mereka akan mampu memainkan lagu ini dengan sangat bermartabat, dengan kepala tegak dan harga diri yang tinggi. Sesuai dengan harga diri bangsa yang besar yang diwakilinya.
Video yang saya tonton bisa dilihat disini:
[Di Sini]
Versi di Youtube, silahkan lihat disini:
0 komentar:
Posting Komentar