Martin Sitompul | Sabtu 30 September 2017 WIB
Di dalam saling hantam, dari luar digembosi. Tragedi 1965 menjerat PNI menuju kehancuran
JUMAT, 1 Oktober 1965, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan berita Operasi “Gerakan 30 September” (G30S). Gerakan militer yang dipimpin Letkol Untung itu mengumumkan telah menyelamatkan Presiden Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal. Pukul 11.30, DPP PNI menyambutnya dengan nada mendukung.
“Penghargaan yang tinggi kepada prajurit yang telah menunjukkan kesetiaan untuk menyelamatkan Panglima Besar Revolusi/Bapak Marhaenisme, Bung Karno,” demikian isi pernyataan yang ditandatangani Sekjen PNI Surachman.
Surachman juga mengajak kader PNI agar bersiaga dan melancarkan aksi-aksi revolusioner di bawah pimpinan Sukarno. Prakarsa Surachman itu dilakukan lantaran Ketua Umum PNI Ali Sastroamidjojo tengah berada di luar negeri.
Penyataan Surachman berakibat petaka. Setelah jenazah enam jenderal Angkatan Darat yang terbunuh oleh tentara Tjakrabirawa pimpinan Untung ditemukan di Lubang Buaya, opini publik beringsut negatif terhadap PNI.
Sementara itu, DPP PNI tandingan kubu Osa-Usep mengambil langkah taktis.
Pada 7 Oktober, kubu yang dicap “Marhenis Gadungan” ini menyerukan bahwa,
“Gerakan 30 September dan Dewan Revolusi telah melakukan perebutan kekuasaan dan pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia.” Mereka menuntut Presiden Sukarno menindak tegas PKI beserta ormasnya yang dianggap bertanggungjawab.
Sikap itu direstui militer. Seperti dikutip Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Kepolitikannya: 1963-1969, Brigjen Sutjipto, ketua Gabungan-V (bidang politik) Komando Operasi Tertinggi (KOTI), dalam surat jawabnya menyatakan, “telah memberikan kemungkinan sepenuhnya kepada PNI Osa-Usep untuk mengadakan kristalisasi dalam rangka pembersihan terhadap Gestapu (Gerakan 30 S).”
Pukulan dari kubu Osa-Usep membuat kubu PNI Ali-Surachman tersudut. “Dari sini dapat dipastikan, PNI Osa-Usep berada dalam konspirasi politik melawan kepemimpinan Bung Karno,” ujar Wakil Sekjen PNI John Lumingkewas kepada Peter Kasenda dalam biografinya Merah Darahku, Putih Tulangku, Pancasila Jiwaku.
Berbalas teror dan intimidasi terjadi di antara sesama kalangan PNI setelah itu.
Bergelut dalam Kemelut
PNI Ali-Surachman mengerahkan massa. Pada 24 Oktober 1965, mereka berdemonstrasi dan merusak kantor PNI Osa-Usep. “Tetapi ini pun tidak membantu posisi PNI A-Su (Ali-Surachman), bahkan menimbulkan antipati yang lebih besar di kalangan masyarakat,” tulis Nazaruddin.
Untuk memulihkan citra partai, kubu Ali menginstruksikan seluruh cabang PNI untuk membentuk Komando Aksi Massa PNI/Front Marhaenis awal tahun 1966. Dalam arsip koleksi Roeslan Abdulgani No. 369 yang dihimpun Arsip Nasional Republik Indonesia, instruksi yang ditandatangani Jhon Lumingkewas itu bertujuan ganda: ikut mengganyang PKI dan menyatakan kesetiaan terhadap Bung Karno selaku Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi. Sukarno sendiri saat itu masih enggan membubarkan PKI.
Bersandar pada garis politik “berdiri di belakang Bung Karno” nyatanya tak ampuh bagi PNI. Didukung Angkatan Darat, aksi massa yang menentang Sukarno berikut penghancuran PKI jauh lebih kuat. PNI kubu Ali terlanjur dianggap bagian dari rezim lama yang mesti digulingkan.
Sartono, tokoh senior PNI yang menggantikan posisi Surachman, pun dibuat kelimpungan. Hampir setiap hari dia menerima pengaduan dari ibu-ibu kader PNI mengenai penganiayaan yang dialami anak-anak mereka. Mulai dari disiksa, diciderai, hingga hilang. Bahkan ada yang mengaku lengannya dilukai dengan silet membentuk angka 30 (maksudnya G30S).
Sartono lantas menugasi Supeni, anggota DPP, melakukan investigasi. Supeni mengungkap, aksi brutal tersebut dilakukan anak-anak muda di bawah pengaruh PNI Osa-Usep yang bergabung dalam kesatuan aksi mahasiswa dan pelajar (KAMI/KAPPI) yang anti-Sukarno.
“Tindakan penggadungan itu tanpa disadari membawa akibat yang sepertinya sudah dirancang, supaya PNI pecah dua,” ujar Supeni kepada Paul Tista dalam biografinya Wanita Utusan Negara.
Dipreteli
PNI rontok menyusul gencarnya penumpasan PKI. Pembersihan besar-besaran terhadap kader PNI berlangsung antara pertengahan 1966-1967.
“Di daerah-daerah demonstrasi, pengganyangan, dan perusakan terhadap rumah-rumah, kantor-kantor dan papan nama PNI beserta ormas-ormasnya berkembang tanpa ampun,” tulis Paulus Widyanto dalam “Osa Maliki dan Tragedi 1965”, dimuat Prisma Edisi Khusus 20 Tahun, 1971-1991.
Kampanye anti-PNI meluas di Jawa dan Bali. Tokoh dan anggota yang disebut “PNI Kiri” dari kubu Ali ditahan tanpa proses peradilan dengan dalih terindikasi G30S. Bahkan menurut M.C. Riclekfs dalam Sejarah Indonesia Modern, tak sedikit orang-orang PNI yang dibunuh.
Di Sumatra, sebagaimana diuraikan Nazaruddin, cabang-cabang PNI dilumpuhkan penguasa setempat. Di Aceh, kesatuan-kesatuan aksi dan partai lain menekan PNI begitu rupa sehingga massa PNI membubarkan diri. Di Sumatra Selatan, Panglima Kodam Sriwijaya Brigjen Ishak Djuarsa mengeluarkan ultimatum kepada massa PNI agar “keluar dari PNI atau keluar dari Orde Baru”. Di Sumatra Utara, Panglima Kodam Bukit Barisan Brigjen Sarwo Edhie membekukan PNI dengan alasan memenuhi tuntutan rakyat dan bahwa marhaenisme bertentangan dengan Pancasila.
Daerah lain seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara tak luput dari pembersihan. Modusnya beragam. Dari tuduhan penyusupan PKI ke dalam pimpinan PNI, pengidentifikasian Marhaenisme sebagai bentuk lain Marxisme, hingga kultus individu terhadap Sukarno.
Menurut sejarawan Jose Eliseo Rocamora, pembersihan itu dilakukan dengan alasan yang dicari-cari. “Kalangan pemimpin Orde Baru yang melihat Sukarno sebagai bajingan besar membayangkan PNI sebagai salah satu alat utamanya,” tulis Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi.
Dalam derasnya arus desukarnoisasi, PNI tak kuasa membendung peralihan kekuasaan. Kubu Osa-Usep memilih seturut dengan rezim Orde Baru. Dan demi mendapat legalitas, istilah-istilah pro-Sukarno seperti “Marhaenisme”, “ajaran Bung Karno”, “Bapak Marhaenisme”, “Front Marhenis”, dan “hidup mati membela Bung Karno” ditanggalkan.
Menurut Supeni, PNI yang semestinya tampil membela dan membentengi Sukarno tak dapat berbuat apa-apa, bahkan ada pihak yang terseret arus hendak menjatuhkannya.
“Tokoh-tokoh PNI gaya baru mengingkari bapaknya untuk sekadar mengharapkan pengakuan,” tutur Manai Sophiaan, tokoh PNI, dalam Kehormatan Bagi yang Berhak.
Kendati tak dimatikan seperti PKI, tragedi 1965 menyeret PNI ke dalam jurang kekalahan. Ia kemudian menjadi partai gurem yang tak lagi diperhitungkan dalam panggung politik nasional.
Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar