27/09/2017
Pernyataan sikap Remotivi atas pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI di TV One. |
Lahir dari terbukanya keran demokrasi ternyata tidak otomatis menjadikan TV One punya semangat reformis. Rencana menayangkan ulang film Pengkhianatan G30S/PKI (G30S) oleh TV One adalah langkah mundur menuju era Orde Baru yang justru ingin ditinggalkan lewat upaya Reformasi 1998. Di tengah gaduh tahunan mengenai rumor kebangkitan PKI, langkah TV One menayangkan materi propaganda Orde Baru tersebut adalah problem demokrasi.
Dalam alam demokrasi, informasi yang jernih dan benar adalah syarat warga bisa berdaya dan berpartisipasi. Informasi yang keruh dan keliru justru mengotori perbincangan dalam ruang publik yang seharusnya berbasis pada akal dan fakta--bukan desas-desus, mitos, kebencian tak berdasar, termasuk “copas dari grup sebelah”.
Kalau media korporasi kerap dituding gagal memberikan informasi yang lengkap, maka TV One melangkah lebih teruk dengan menayangkan film G30S: mensirkulasi informasi bohong. Musababnya, film tersebut adalah propaganda yang menopang kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan militeristik. Ia menjadi alat pembenaran bagi pembantaian ratusan ribu orang yang dituding komunis.
Usai kejatuhan Orde Baru pada 1998, pembicaraan atas hal-hal yang sebelumnya dilarang menjadi mungkin. Dalam situasi itu, muncullah berbagai narasi tandingan mengenai peristiwa 1965 yang selama ini pemaknaannya dimonopoli oleh rezim. Telah banyak temuan-temuan baru yang mempreteli konstruksi kebenaran yang diusahakan dalam film itu. Misalnya saja pengakuan dari dokter Liauw Yan Siangyang melakukan otopsi pada jenazah 6 jenderal. Ia menyatakan tidak ada bekas luka penyiksaan seperti yang dikesankan dalam film.
Narasi film yang menceritakan kronologi dan informasi mengenai pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam peristiwa G30S pun telah banyak dipertanyakan. Temuan-temuan sejarah yang baru seperti buku Dalih Pembunuhan Massal (John Rossa), Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966) (Hermawan Sulistiyo), serta A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (Benedict Anderson dan Ruth T. McVey), telah membantah narasi versi Orde Baru yang ditampilkan dalam film G30S. Dampaknya, film ini sebagai produk propaganda Orde Baru diragukan kebenarannya.
TV One memang beda. Stasiun TV ini memutar kembali film propaganda tersebut. Memang tidak ada aturan hukum yang ia langgar. Menampilkan sebuah karya fiksi adalah hal umum yang dilakukan stasiun TV. Namun dalam konteks Indonesia pasca-Reformasi, pemutaran tersebut adalah langkah mundur ke semangat Orde Baru, yakni memanipulasi kesadaran publik. TV One mengabaikan kebenaran, sesuatu yang seharusnya dijunjung tinggi oleh media. Dalam situasi saat ini, di mana sentimen anti-PKI dipakai untuk memecah belah publik, penayangan film ini menandakan ketidakpedulian TV One pada situasi sosial hari ini. Alih-alih, TV Onejustru menjadi bagian dari genderang ilusi kebangkitan komunisme yang selama ini ada.
Tentu perlu diklarifikasi bahwa langkah TV One dapat dibaca sebagai ekspresi kapital semata. Langkah ini muncul tak lama setelah instruksi Panglima TNI Gatot Nurmantyo kepada prajurit Angkatan Darat untuk menonton film G30S. Seruan untuk memutar kembali film ini pun marak beredar. Artinya, TV One sekadar mencoba mengail laba di tengah tren orang membicarakan topik ini.
Sikap politik TV One sejak Pemilu 2014 yang berorientasi ke salah satu klaster politik adalah wujud dari pemantapan posisinya dalam ceruk pasar penonton tertentu. Namun itu tidak bisa menjadi justifikasi berbagai tindakannya yang mempertajam polarisasi warga. Lebih jauh lagi, langkah TV One yang “menyambut” instruksi Panglima TNI ini bisa menjadi dalih kembalinya militerisme dalam membicarakan dan menyelesaikan masalah publik.
TV One memang beda. Pada 2014 ia menampilkan data bohong soal hasil Pemilu. Pada tahun ini, ia mendukung propaganda Orde Baru. []
Sumber: Remotivi.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar