Rabu, 20 September 2017
oleh : Muhammad Pandu
“TIDAK BOLEH LAGI ADA PEMBEDAAN KEPADA SETIAP WARGA NEGARA INDONESIA
BERDASARKAN AGAMA, BAHASA IBU, KEBUDAYAAN, SERTA IDEOLOGI.”
KH. ABDURRAHMAN
WAHID
Selamat datang di bulan September, bulan di mana kita
telah memasuki salah satu musim di antara empat musim besar di Indonesia: musim
hujan, musim kemarau, musim ribut mengucapkan Selamat Hari Natal, dan musim
ribut isu kebangkitan PKI.
Musim terakhir inilah yang kita rasakan sekarang. Saban
tahun masyarakat (akar rumput) kita selalu mengalami “de javu paranoia” yang
sama. Saya mengamati, setiap September datang, selalu saja ada kelompok yang
kebakaran jenggot. Kemudian berbagai media menampilkan judul-judul yang naas
untuk disimak: pelarangan diskusi, pembubaran seminar, pembubaran acara seni,
dan segala jenis pembubaran tolol lainnya.
Tahun ini, pembubaran itu terulang kembali. Sabtu lalu
(16/9/2017) terjadi pembubaran seminar
“Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” di Gedung Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta.
Pembubaran tersebut dilakukan oleh
polisi dengan dalih tidak adanya surat izin pelaksanaan acara. Padahal,
mengutip laman resmi Polri, surat izin keramaian harus dibuat apabila ada
kegiatan yang mendatangkan minimal 300 orang, sedangkan peserta seminar sendiri
berjumlah kurang dari 50 orang.
Esoknya, Minggu malam (17/9/2017) LBH Jakarta, kantor
bantuan hukum yang bernaung di bawah YLBHI, menjadi tuan rumah acara
“AsikAsikAksi: Darurat Demokrasi”, sebagai respons atas pelarangan dan
pembubaran acara seminar yang berlangsung sebelumnya. Tapi siapa mengira
kegiatan seni yang berisi pembacaan puisi, pertunjukan musik, dan stand up
comedy ini tidak berjalan dengan baik? Malam itu, sekelompok
massa tiba-tiba datang dan mengepung Gedung YLBHI. Massa menuduh sedang
berlangsung konsolidasi orang-orang PKI di dalam gedung.
Pengepungan berlangsung hingga dini hari. Tidak hanya
mengepung, massa juga melempari gedung YLBHI dengan batu hingga sebagian kaca
pecah. Bahkan tersebar kabar bahwa orang-orang di dalam gedung sedang menyusun
rencana untuk membunuh para jenderal dan menyanyikan lagu Genjer-genjer.
Ini menggelikan sekali. Beberapa kawan dan kenalan saya
yang berada di sana mengabarkan bahwa segala tuduhan yang ditujukan pada mereka
sama sekali tidak benar. Tak ada konsolidasi PKI, tak ada rencana pembunuhan
jenderal, pun tak ada nyanyian lagu Genjer-genjer di sana.
Yah, ada banyak kegilaan akhir-akhir ini. Dalam tulisan
ini, saya hanya akan menyampaikan tiga hal saja yang menjadi kegelisahan besar
saya terkait pembubaran seminar dan pengepungan Gedung YLBHI.
Pertama, soal malfungsi tugas (oknum) kepolisian dalam
mengayomi masyarakat. Tidak hanya membubarkan seminar, mereka juga
melakukan pengancaman,
penggeledahan paksa, dan intimidasi terhadap peserta seminar (ingat,
peserta seminar, bukan pelaku kriminal). Bahkan, blokade polisi membuat para
lansia terjebak di luar dan tidak bisa masuk, meski hanya untuk sekadar
menumpang kencing.
Kedua, pembubaran seminar dan acara seni kemarin
adalah sebuah noktah besar yang menodai momentum Hari Demokrasi yang
diperingati pada 15 September lalu. Bagaimana tidak, kebebasan berpendapat
dibungkam, kebebasan berekspresi dikebiri, lantas apa yang masih tersisa dari
rakyat untuk menyampaikan hak bersuaranya?
Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, masyarakat sipil
selalu mendambakan sebuah kebebasan berpikir dan berpendapat dalam naungan
negara demokrasi yang nyata. Tapi setelah reformasi terjadi, kejadian seperti
ini masih saja berlangsung dan sering kali terulang. Sesungguhnya kita sedang
melihat demokrasi kita berjalan mundur!
Ketiga, tentang sekumpulan massa dengan tindakan fasistik
yang takut dengan bayang-bayang hantu komunisme. Sayangnya, sekumpulan massa
ini adalah cerminan sebagian masyarakat kita yang masih belum bisa berdamai
dengan keterbukaan sejarah. Mereka yang hanya mengonsumsi sejarah dari sumber
“katanya”, “pokoknya”, dan “yang pasti”. Juga mereka yang sulit untuk menjadi
kosmopolit dan lebih membuka diri dengan jalan dialog-dialektis.
Peristiwa ’65 adalah bahasan yang sangat sensitif bagi
banyak kalangan sampai sekarang. Tapi bukan berarti kita sama sekali menutup
peluang untuk mengungkap kebenaran sejarah dan saling memaafkan atas nama
kemanusiaan. Saya sendiri tidak menyalahkan satupun pihak-pihak yang terlibat
di dalamnya.
Saya sepakat dengan apa yang pernah ditulis oleh Dr.
Rumadi Ahmad, peneliti senior The Wahid Institute, dalam tulisan
dialog imajinernya bersama Gus Dur. Bahwa beberapa pihak (akar rumput)
yang terlibat, terutama NU (juga masyarakat Islam) dan PKI, dalam Peristiwa ’65
merupakan sama-sama korban keaadan. Tiada faktor tunggal dalam peristiwa
tersebut.
Dalam sebuah wawancara, yang kelak dikumpulkan menjadi
buku Pram Melawan! (2011), Pramoedya Ananta Toer pernah menyampaikan
soal perjumpaannya dengan Gus Dur. Kala itu Gus Dur masih menjabat sebagai
presiden. Pram mengaku dua kali bertemu dengan presiden keempat itu.
Pertemuan
pertama terjadi ketika Gus Dur mengundang Pram untuk datang ke Istana Negara.
Sedangkan pertemuan kedua terjadi ketika Gus Dur mengunjungi Pram di rumahnya
di Bojong Gede, Bogor.
“Waktu dia datang ke rumah saya sebagai presiden, saya bilang saya menolak permintaan maafnya sehubungan keterlibatan pemuda-pemuda NU dalam pembunuhan ’66,” kata Pram. “Saya nggak bisa terima dan dia bilang terima kasih. Sikap pribadinya saya hormati”.
Gus Dur adalah orang NU sekaligus presiden pertama yang
meminta maaf kepada para korban ’65, termasuk kepada Pram. Permintaan maaf Gus
Dur saya kira merupakan titik terang kita untuk mulai berdamai dengan luka
lama. Ada yang mengatakan bahwa maaf diyakini sebagai salah satu penanda
kebudayaan. Komunitas yang warganya mentradisikan kata maaf jika melakukan
kesalahan maka ia dianggap memiliki tingkat keberbudayaan yang lebih tinggi
dibanding yang tidak.
Perlu digarisbawahi di sini, bahwa memaafkan peristiwa
sejarah tidak sama dengan mengamini segala pembantaian ataupun membangkitkan
kembali PKI. Berhentilah berkhayal tentang hantu partai dan menyebarkan
paranoia yang tidak perlu. Dalam hal ini, saya setuju dengan “cuitan”
Goenawan Mohamad terkait soal PKI dan ideologinya.
“Menakut-nakuti rakyat dengan hantu PKI sama dengan menyatakan bahwa PKI begitu hebat hingga tak bisa mati. PKI tak akan bisa hidup lagi karena ideologinya sudah kacau balau. Di kalangan bekas PKI yang masih hidup juga berlangsung perpecahan ideologis yang sengit. Tanpa ideologi yang solid, partai hanya omong kosong.”
Jadi, saudara-saudaraku sekalian, mari kita memfokuskan
diri pada persoalan bangsa yang lebih pelik ketimbang hantu PKI yang fana itu.
Kita masih punya PR besar dalam bidang demokrasi. Perlu daya tahan yang kuat
dan stamina tinggi untuk memperjuangkan cita-cita bersama tersebut.
Di samping
itu, bangsa kita juga masih berurusan dengan kemiskinan, perpecahan,
ketidakadilan, budaya literasi rendah, pembangunan tidak merata, dan terlebih
lagi: korupsi yang merajalela.
Sumber: GeoTimes
0 komentar:
Posting Komentar