Reporter: Dieqy Hasbi Widhana | 19 September, 2017
Bagaimana 100-an pengunjung acara seni di dalam gedung YLBHI dibendung 1.000-an pendemo karena kabar ada "kegiatan PKI"?
“Hei, perempuan bangke. Setan pada lo. Kalau kamu benar, buka. Jangan tutup-tutupi,” teriak Eka Jaya, Sekjen Lembaga Bantuan Hukum Kebangkitan Jawara dan Pengacara (LBH Bang Japar), kepada seorang perempuan yang melintas di teras Gedung YLBHI.
Minggu malam itu, sekitar pukul 21.56, segerombolan orang ngotot memasuki gedung tempat Lembaga Bantuan Hukum Jakarta berkantor.
“Pak Presiden bilang kalau ada PKI kita gebuk, tapi ini enggak ada,” kata Kasat Intel AKBP Danu Wiyata, berusaha meyakinkan sekelompok orang tersebut.
Sejak sore hari, Danu Wiyata telah datang ke gedung YLBHI. Ia memasuki gedung itu sekitar pukul 18.00 ketika acara “Asik-Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi” tengah berlangsung.
Langkah polisi ini membuat keamanan pintu masuk gedung diperketat. Para pengunjung acara, tua dan muda, didata identitasnya. Selain Danu, ada Kapolsek Metro Menteng AKBP Ronald Purba, yang berjaga di gerbang Gedung YLBHI.
Orang-orang dari LBH Bang Japar menyelip di antara massa. Selain Eka Jaya, ada Djuju Purwantoro—Kadiv Hukum Bang Japar—dan Rachmad dari Bang Japar Jakarta Timur. Orang terakhir inilah yang menyiarkan secara langsung peristiwa melalui akun Facebook dia.
Saat itu gelombang demonstran makin bertambah—ada yang menyebut antara 500-an orang hingga 1.000-an orang—persis ketika malam bersalin hari. Mereka menutupi Jalan Pangeran Diponegoro, Jalan Mendut, dan Jalan Kimia—areal Gedung YLBHI.
Selain orang-orang dari Bang Japar, di antara massa juga ada Muhammad Rifki alias Eki Pitung, koordinator lapangan dari massa yang menyebut diri “Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti-Komunis”, dan Adam Nurmansyah, Ketua DPW Gerakan Reformis Islam (Garis). Garis, dalam riwayatnya, sering melancarkan serangan terhadap minoritas agama seperti Ahmadiyah dan penganut Kristen terutama di Jawa Barat.
Suasana berubah makin tegang. Teriakan takbir dan “ganyang PKI” bergema dari massa. Ia menjalar ketakutan, menyeberangi gerbang gedung, merembet ke 100-an pengunjung acara di YLBHI.
Namun, hingga pukul 00.00, persis ketika hari berganti Senin, mediasi itu masih mentok.
Otoritas keamanan—dari Kapolda Metro Jaya Irjen Idham Aziz, Kapolres Jakarta Pusat AKBP Suyudi, dan Dandim Jakarta Pusat Kolonel Edwin—terus menawarkan solusi kepada para pendemo. Demonstran emoh beranjak.
Minggu malam itu, sekitar pukul 21.56, segerombolan orang ngotot memasuki gedung tempat Lembaga Bantuan Hukum Jakarta berkantor.
“Pak Presiden bilang kalau ada PKI kita gebuk, tapi ini enggak ada,” kata Kasat Intel AKBP Danu Wiyata, berusaha meyakinkan sekelompok orang tersebut.
Sejak sore hari, Danu Wiyata telah datang ke gedung YLBHI. Ia memasuki gedung itu sekitar pukul 18.00 ketika acara “Asik-Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi” tengah berlangsung.
Langkah polisi ini membuat keamanan pintu masuk gedung diperketat. Para pengunjung acara, tua dan muda, didata identitasnya. Selain Danu, ada Kapolsek Metro Menteng AKBP Ronald Purba, yang berjaga di gerbang Gedung YLBHI.
Massa Pendemo Mengalir
Di depan mereka, menjelang malam, massa pendemo mulai berdatangan. Mereka mengerubungi pintu gerbang. Jumlah mereka pelan-pelan bertambah 150-an orang. Di antara mereka ada dua orang berpeci putih, satu berjanggut dan satunya lagi terlihat lebih muda. Keduanya yang memimpin suara pendemo.Orang-orang dari LBH Bang Japar menyelip di antara massa. Selain Eka Jaya, ada Djuju Purwantoro—Kadiv Hukum Bang Japar—dan Rachmad dari Bang Japar Jakarta Timur. Orang terakhir inilah yang menyiarkan secara langsung peristiwa melalui akun Facebook dia.
Saat itu gelombang demonstran makin bertambah—ada yang menyebut antara 500-an orang hingga 1.000-an orang—persis ketika malam bersalin hari. Mereka menutupi Jalan Pangeran Diponegoro, Jalan Mendut, dan Jalan Kimia—areal Gedung YLBHI.
Selain orang-orang dari Bang Japar, di antara massa juga ada Muhammad Rifki alias Eki Pitung, koordinator lapangan dari massa yang menyebut diri “Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti-Komunis”, dan Adam Nurmansyah, Ketua DPW Gerakan Reformis Islam (Garis). Garis, dalam riwayatnya, sering melancarkan serangan terhadap minoritas agama seperti Ahmadiyah dan penganut Kristen terutama di Jawa Barat.
Suasana berubah makin tegang. Teriakan takbir dan “ganyang PKI” bergema dari massa. Ia menjalar ketakutan, menyeberangi gerbang gedung, merembet ke 100-an pengunjung acara di YLBHI.
Mediasi Gagal
Alghiffari Aqsa, Asfinawati, Yati Andriyani, dan Usman Hamid—keempatnya mewakili orang-orang di dalam gedung—mendekati pintu gerbang. Mereka bernegosiasi, dengan mediator dari otoritas keamanan, agar orang-orang di dalam gedung bisa pulang dengan selamat dan aman.Namun, hingga pukul 00.00, persis ketika hari berganti Senin, mediasi itu masih mentok.
Otoritas keamanan—dari Kapolda Metro Jaya Irjen Idham Aziz, Kapolres Jakarta Pusat AKBP Suyudi, dan Dandim Jakarta Pusat Kolonel Edwin—terus menawarkan solusi kepada para pendemo. Demonstran emoh beranjak.
Terpapar Hoax
Dari dekat, wakil massa berkata bahwa Gedung YLBHI jadi tempat orang-orang menyanyikan lagu “Genjer-genjer.” Sejarahnya, lagu rakyat ini menggambarkan penderitaan dan kelaparan di masa pendudukan Jepang, dipopulerkan oleh penyanyi Lilis Suryani dan Bing Slamet pasca-kemerdekaan, dan menjadi alat propaganda PKI pada masa Sukarno—sehingga identik sebagai “lagu PKI”. (Dalam film propaganda Orde Baru, lagu ini dipakai sebagai etalase mencekam saat adegan penyiksaan para perwira.)
Kabar hoax macam ini menjadi pengungkit kedatangan massa. Bahkan, ketika Kasat Intel AKBP Danu Wiyata menjelaskan bahwa tak ada ihwal apa pun yang dituduhkan oleh para pendemo, wakil demonstran tetap tak percaya.
“Berapa banyak atribut PKI di dalam?” tanya salah satu wakil pendemo.
“Tidak ada. Saya yakin. Masak harus sumpah pocong?” jawab Irjen Idham Aziz.
“Saya jamin itu tidak ada,” sahut AKBP Suyudi.
Situasi alot macam itu—terpapar informasi hoax, psikologis massa yang membeludak, dan masih menganggap bahwa PKI masih hidup (partai yang sudah mati setengah abad lalu)—membuat Kolonel Edwin dan AKBP Suyudi kembali memasuki Gedung YLBHI.
Beberapa menit kemudian, dua opsir polisi itu berjalan kembali mendekati lokasi mediasi di pagar halaman YLBHI.
“Saya menjamin tidak ada acara itu di dalam,” kembali Irjen Idham Aziz menegaskan.
Selang sebentar kemudian, Kolonel Edwin dan AKBP Suyudi mendekati demonstran di tengah Jalan Pangeran Diponegoro, didampingi dua orang berpeci putih dan Eki Pitung. AKBP Suyudi kembali menegaskan kepada massa bahwa tidak ada kegiatan terkait “PKI” atau tuduhan apa pun soal komunis.
Mendengar itu, massa merespons dengan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.
Kolonel Edwin menyergah: “Saya Dandim Jakarta Pusat. Diam semuanya.” Para pendemo segera terdiam, lalu memekik, “Hidup TNI!”
“Saya tadi sudah masuk. Di dalam tidak ada apa-apa. Saya mewakili kalian semua. Kalau ada kegiatan PKI, saya yang terdepan,” imbuh Kolonel Edwin.
“Kita akan ikuti terus perkembangannya,” katanya, lagi. “Kalau memang ada bukti, proses! Saya minta diam kalian semuanya. Tenang, karena yang di dalam mau keluar tidak bisa. Biarkan mereka pulang.”
Namun, apa yang diperintahkan otoritas keamanan tidak mempan.
Para pendemo kembali mengalir mengisi Jalan Mendut. Kertas karton warna merah muda dibentangkan: “Tutup dan segel Kantor LBH, Sarang PKI.”
Setidaknya ada 14 bocah bertengger di pagar YLBHI. Salah satu dari mereka membawa bendera Pelajar Islam Indonesia. Beberapa orang memakai topi bertuliskan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI). Ada pula yang memakai topi, baju, dan jaket Bang Japar.
Beberapa lainnya memakai kaos bertuliskan “Anies-Sandi,” memakai atribut Go-Jek, dan atribut GrabBike. Mereka melontarkan teriakan makian dan ancaman.
Gemuruh teriakan mereka membawa nyaris seluruh massa di Jalan Pangeran Diponegoro mengisi Jalan Mendut, sekitar pukul 00.41. Tiga menit kemudian, salah satu dari 14 bocah melempari halaman parkir YLBHI dengan lempengan kaca.
Orasi berubah semakin garang. Mereka berteriak bakar, bubarkan, bunuh, ganyang, dan sebagainya. Mereka mengacungkan helm dan lonjoran kayu.
Melihat situasi macam itu, Irjen Idham Aziz berunding dengan AKBP Suyudi dan beberapa komandan satuan divisi. Ia meminta massa segera dilokalisir untuk memecah fokus dengan mendatangkan pasukan Brimob dan Sabhara.
Selang 10 menit, tujuh personel Brimob dengan empat motor trail tiba dari arah belakang Jalan Mendut. Merea membawa senapan laras panjang SS1 dan senjata pelontar gas air mata. Komandan divisi memerintahkan mereka untuk kokang senjata. Suara denting besi satu selongsong peluru mental di aspal.
Demonstran didorong mundur lima langkah, lalu lima langkah lagi. Tetapi, saat bersamaan, dua botol Aqua dilempar ke barisan polisi dari arah massa. Barisan depan pendemo mendorong balik polisi.
Tepat saat itulah baku hantam terjadi, sekitar pukul 01.11.
Konsentrasi massa terpecah ke arah Jalan Pegangsaan Barat, Jalan Kimia, dan Salemba Raya. Empat menit kemudian, satu mobil Barracuda dilesatkan ke arah demonstran.
Saat bersamaan, orang-orang di dalam Gedung YLBHI secara bertahap dievakuasi. Ada satu perempuan yang dibopong karena kondisinya sakit-sakitan. Mereka dibawa ke dalam lambung Jalan Mendut No. 9, tepat di tikungan.
Demonstran di pertigaan Jalan Diponegoro, Cikini, dan Proklamasi memecah batu-batu besar dan batako menjadi bongkahan kecil. Lalu, secara sporadis, mereka melemparkan batu-batu itu ke arah polisi di depan Kantor PKPI. Polisi meletuskan tiga kali tembakan peringatan ke arah langit. Tapi massa masih terus melempari barikade polisi. Akhirnya, polisi menembakkan belasan gas air mata.
Sekitar 10 menit kemudian, tak ada satu pun demonstran sepanjang Jalan Pangeran Diponegoro dan Jalan Mendut. Di kedua jalan itu bertebaran sandal, batu batako, batu bata, pecahan batu alam, botol Aqua, selongsong gas air mata, dan lonjoran kayu.
“Berapa banyak atribut PKI di dalam?” tanya salah satu wakil pendemo.
“Tidak ada. Saya yakin. Masak harus sumpah pocong?” jawab Irjen Idham Aziz.
“Saya jamin itu tidak ada,” sahut AKBP Suyudi.
Situasi alot macam itu—terpapar informasi hoax, psikologis massa yang membeludak, dan masih menganggap bahwa PKI masih hidup (partai yang sudah mati setengah abad lalu)—membuat Kolonel Edwin dan AKBP Suyudi kembali memasuki Gedung YLBHI.
Beberapa menit kemudian, dua opsir polisi itu berjalan kembali mendekati lokasi mediasi di pagar halaman YLBHI.
“Saya menjamin tidak ada acara itu di dalam,” kembali Irjen Idham Aziz menegaskan.
Selang sebentar kemudian, Kolonel Edwin dan AKBP Suyudi mendekati demonstran di tengah Jalan Pangeran Diponegoro, didampingi dua orang berpeci putih dan Eki Pitung. AKBP Suyudi kembali menegaskan kepada massa bahwa tidak ada kegiatan terkait “PKI” atau tuduhan apa pun soal komunis.
Mendengar itu, massa merespons dengan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.
Kolonel Edwin menyergah: “Saya Dandim Jakarta Pusat. Diam semuanya.” Para pendemo segera terdiam, lalu memekik, “Hidup TNI!”
“Saya tadi sudah masuk. Di dalam tidak ada apa-apa. Saya mewakili kalian semua. Kalau ada kegiatan PKI, saya yang terdepan,” imbuh Kolonel Edwin.
“Kita akan ikuti terus perkembangannya,” katanya, lagi. “Kalau memang ada bukti, proses! Saya minta diam kalian semuanya. Tenang, karena yang di dalam mau keluar tidak bisa. Biarkan mereka pulang.”
Namun, apa yang diperintahkan otoritas keamanan tidak mempan.
Kericuhan
Massa terus berteriak, “Ganyang PKI,” sahut-menyahut, membentuk gemuruh. Beberapa menit kemudian, suara pecahan kaca dari Gedung YLBHI terdengar. Pagar besi digoyang-goyang dan nyaris roboh. Salah satu mobil pengacara publik LBH Jakarta terkena benturan benda tumpul.Para pendemo kembali mengalir mengisi Jalan Mendut. Kertas karton warna merah muda dibentangkan: “Tutup dan segel Kantor LBH, Sarang PKI.”
Setidaknya ada 14 bocah bertengger di pagar YLBHI. Salah satu dari mereka membawa bendera Pelajar Islam Indonesia. Beberapa orang memakai topi bertuliskan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI). Ada pula yang memakai topi, baju, dan jaket Bang Japar.
Beberapa lainnya memakai kaos bertuliskan “Anies-Sandi,” memakai atribut Go-Jek, dan atribut GrabBike. Mereka melontarkan teriakan makian dan ancaman.
Gemuruh teriakan mereka membawa nyaris seluruh massa di Jalan Pangeran Diponegoro mengisi Jalan Mendut, sekitar pukul 00.41. Tiga menit kemudian, salah satu dari 14 bocah melempari halaman parkir YLBHI dengan lempengan kaca.
Orasi berubah semakin garang. Mereka berteriak bakar, bubarkan, bunuh, ganyang, dan sebagainya. Mereka mengacungkan helm dan lonjoran kayu.
Melihat situasi macam itu, Irjen Idham Aziz berunding dengan AKBP Suyudi dan beberapa komandan satuan divisi. Ia meminta massa segera dilokalisir untuk memecah fokus dengan mendatangkan pasukan Brimob dan Sabhara.
Selang 10 menit, tujuh personel Brimob dengan empat motor trail tiba dari arah belakang Jalan Mendut. Merea membawa senapan laras panjang SS1 dan senjata pelontar gas air mata. Komandan divisi memerintahkan mereka untuk kokang senjata. Suara denting besi satu selongsong peluru mental di aspal.
Demonstran didorong mundur lima langkah, lalu lima langkah lagi. Tetapi, saat bersamaan, dua botol Aqua dilempar ke barisan polisi dari arah massa. Barisan depan pendemo mendorong balik polisi.
Tepat saat itulah baku hantam terjadi, sekitar pukul 01.11.
Tindakan Keras Polisi
Lima personel polisi ditarik mundur. Kepala mereka mengucurkan darah. Gas air mata ditembakkan secara beruntun lebih dari sembilan kali. Mobil meriam air disemburkan. Sekitar 15 personel Brimob mendorong massa.Konsentrasi massa terpecah ke arah Jalan Pegangsaan Barat, Jalan Kimia, dan Salemba Raya. Empat menit kemudian, satu mobil Barracuda dilesatkan ke arah demonstran.
Saat bersamaan, orang-orang di dalam Gedung YLBHI secara bertahap dievakuasi. Ada satu perempuan yang dibopong karena kondisinya sakit-sakitan. Mereka dibawa ke dalam lambung Jalan Mendut No. 9, tepat di tikungan.
Demonstran di pertigaan Jalan Diponegoro, Cikini, dan Proklamasi memecah batu-batu besar dan batako menjadi bongkahan kecil. Lalu, secara sporadis, mereka melemparkan batu-batu itu ke arah polisi di depan Kantor PKPI. Polisi meletuskan tiga kali tembakan peringatan ke arah langit. Tapi massa masih terus melempari barikade polisi. Akhirnya, polisi menembakkan belasan gas air mata.
Sekitar 10 menit kemudian, tak ada satu pun demonstran sepanjang Jalan Pangeran Diponegoro dan Jalan Mendut. Di kedua jalan itu bertebaran sandal, batu batako, batu bata, pecahan batu alam, botol Aqua, selongsong gas air mata, dan lonjoran kayu.
Proses Evakuasi
Ketika konsentrasi massa pendemo sudah buyar, lebih dari separuh orang-orang yang berkumpul di salah spot areal Gedung YLBHI mulai dievakuasi.Wakapolda Brigjen Purwadi Arianto meminta mereka duduk di aspal. Ia mengantisipasi jika ada orang asing yang ingin menyusup. Orang-orang ini—100-an pengunjung acara seni—diminta oleh Purwadi Arianto agar tidak mengabarkan posisinya serta lokasi evakuasi.
Namun, belum tiga menit, ada tiga orang tak dikenal di lokasi terdekat tengah diperiksa identitas dan ponselnya. Mereka dicurigai sebagai bagian dari pendemo.
“Evakuasi akan ke Polda. Ini nunggu jalanan disterilkan dulu,” kata Purwadi Arianto.
Beberapa saat kemudian, anggota Komnas HAM Natalius Pigai datang. Ia mengubah arah evakuasi ke Komnas HAM.
Sekitar pukul 02.52 hingga pukul 04.02 evakuasi bertahap pun dilakukan.
Namun, pada pukul 03.57, evakuasi itu tersendat ketika tahu ada massa pendemo yang mendatangi Komnas HAM. Orang-orang itu bertanya kepada satpam: Apa benar ada orang dievakuasi ke Komnas HAM? Satpam bergeming. Mereka akhirnya bubar.
Selang sebentar, massa pendemo kembali mendatangi Komnas HAM—jumlahnya puluhan. Mereka berteriak-teriak “PKI” dan menggoyang-goyang pagar.
Namun, ketika Natalius Pigai tiba dari YLBHI, demonstran itu segera mengakhiri aksinya dan memanggil Pigai dengan sapaan “Abang”. Belum sempat bersalaman dengan Pigai, beberapa mobil polisi datang. Suara sirinenya membuat massa kabur.
Sesudah proses evakuasi rampung, saat Pigai keluar dari Gedung Komnas HAM, ia berkata, “Itu massa yang kepung LBH, punya saya semua. Orang 212 itu.”. Pernyataan ini seakan ingin menegaskan bahwa ia bisa menangani situasi kacau, padahal kehadiran massa ke gedung Komnas HAM itu sempat bikin orang-orang yang diantar evakuasi gentar, dan Alghiffari Aqsa dari LBH Jakarta muring-muring.
Sesudah Penyerbuan
Polisi segara menyusun rencana memulangkan orang-orang terakhir yang dievakuasi ke Komnas HAM. Mereka dibagi ke empat wilayah Jakarta, masing-masing menaiki dua bus dan tiga mobil Avanza silver tanpa atribut kepolisian tetapi disopiri oleh Reskrim Polda. Proses pemulangan ini dimulai sejak pukul 05.47.Sementara di gedung YLBHI, usai pengepungan dan penyerbuan, tempat berkantor LBH Jakarta yang jadi saluran para warga miskin mengadu itu bak rumah tanpa penghuni.
Lemparan batu bikin beberapa kaca pecah dan dinding berlubang. Di halaman gedung, tersebar bongkahan batu dan remahan beling. Pintu masuk diganjal tumpukan meja dan kursi.
Akun Twiter LBH Jakarta segera bikin pengumuman: para pengacanya meniadakan pengaduan dan konsultasi hukum sementara di kantor, tetapi agenda sidang dan advokasi lain untuk masyarakat miskin tetap berjalan.
(tirto.id - dqy/fhr)
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar