25 September 2017
Ada
yang beda tahun ini, imbauan untuk menonton kembali film “Pengkhianatan
G30S/PKI” kembali digalakkan, imbauan kok galak? Doeloe… film ini selalu
ditayangkan di televisi setiap tanggal 30 September. Namun, sejak September
1998, dihentikan.
Menonton
film besutan sutradara Arifin C Noer itu butuh stamina ekstra, karena durasinya
lebih dari 3,5 jam. Bagi generasi 90-an, menonton film ini menjadi semacam
kewajiban, tak peduli adegan sadis seperti menyilet wajah yang disaksikan
anak-anak seumuran SD.
Tapi
bagi generasi sekarang, terutama kids jaman now, saya pesimis.
Alih-alih menontonnya dengan penghayatan ala doktrin khas Orde Baru, yang ada
malah celetukan nakal sarat godaan, eh guyonan. Lha, dikira ini film komedi
apa?
Celetukan
semisal “nunggu versi HD-nya” atau “ah rating di IMDB-nya
jelek” menjadi hal lucu ketika zaman sudah berubah, dan tafsir tunggal sejarah
layaknya guyonan garing pejabat yang ditertawakan bawahannya.
Tidak
aneh kemudian, muncul berita tentang mereka yang tertidur saat nobar film
“Pengkhianatan G30S/PKI”. Padahal, pemutaran film baru berlangsung 30 menit,
masih ada sisa waktu tiga jam lagi, je…
Ini
seperti sudah bisa diprediksi, mengingat konsumsi visual berkualitas menjadi
salah satu hal yang penting bagi kids jaman now. Mereka sudah
terbiasa melihat Youtube, dimana satu atau dua menit di awal menjadi penentu
apakah sebuah tayangan akan terus ditonton atau tidak.
Itu
baru dari sisi kualitas visual, belum lagi tentang faktor konten yang sampai
sekarang masih menjadi kontroversi dan dipertanyakan fakta sejarahnya.
Menyuruh
kembali menonton film tersebut dengan situasi zaman yang sudah berubah layaknya
menyuruh berkaraoke dengan lagu Koes Plus saat sebagian besar mereka
menggandrungi lagu-lagu Raisya dan Isyana.
Terlebih,
selain “Pengkhianatan G30S/PKI”, terdapat beberapa film yang menjadi semacam
pembanding atau justru pelengkap bagi mereka yang bosan dengan narasi sejarah
yang ditafsirkan tunggal tersebut. Sebut saja film “The Act of Killing(Jagal)”
atau “The Look of Silence (Senyap)”.
Bicara
komunisme yang kemudian diidentikkan dengan PKI, seperti membicarakan hantu
yang nyata. Hantu kok nyata? Nyata bikin parno, maksudnya.
Jasadnya
yang sudah lama mati kemudian dibangunkan lagi dengan mantra-mantra khas
semisal anti-Tuhan, tidak beragama, pemotong alat kelamin, kejam, dan
sebagainya. Generalisasi ini biasanya masif pada waktu tertentu dan situasi
politik tertentu pula, eh?
Dua
arus besar yang biasanya muncul dalam menyikapi tragedi 1965, pertama yang
berbicara tentang perlunya keterbukaan, kejujuran, dan kemudian berdialog
dengan menghormati penderitaan para korban. Yang kedua berbicara bahwa hal
tersebut tidak lebih sebagai alibi kebangkitan komunis gaya baru, yang dicampur
adukkan dengan harga diri bangsa.
Konteks
siapa yang bersalah terus menjadi pembahasan, sementara mencari fakta tentang
apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu masih seperti hal yang remang-remang
sampai sekarang.
Semua
merasa benar dengan versinya masing-masing, tapi hanya satu tokoh yang pernah
berbesar hati meminta maaf. Dia adalah Gus Dur.
Gus
Dur bahkan pernah dua kali meminta maaf kepada korban/keturunan dari anggota
PKI. Pertama kali ketika Gus Dur menjadi ketua umum PBNU. Kedua, ketika Gus Dur
menjadi presiden RI.
Gus
Dur juga pernah berniat mencabut TAP/MPRS 1966 soal pembubaran PKI dan larangan
penyebaran komunisme, marxisme, dan leninisme. Tapi langkah Gus Dur tersebut
seperti langkah sepi yang mensaratkan kebesaran hati yang sungguh-sungguh,
dimana tidak banyak orang yang bisa mengikutinya.
Dan,
kita hanya terus menyaksikan dalam setiap peralihan kekuasaan bahwa isu ini
nyaris selalu digunakan, terlepas apapun motifnya. PKI, seperti sengaja terus
dibiarkan ‘hidup’ untuk menjadi pesakitan.
Cerita
klasik seperti “Mahabharata” atau episode kekinian
seperti “Game of Thrones” adalah wajah yang hampir serupa.
Saat ambisi tahta menjadi tujuan, si pesakitan atau tumbal tadi memang sangat
diperlukan.
Layaknya
Drupadi yang ditumbalkan Pandawa kepada Kurawa di meja judi, dan pada akhirnya
darah Dursasana yang menjadi nazar Drupadi untuk mengkramasi rambutnya. Atau,
Daenerys Targaryen yang ditumbalkan Viserys Targaryen kepada Khal Drogo.
Pada
setiap zaman, sepertinya membutuhkan pesakitan-pesakitan dalam bentuk lain
untuk dijadikan tumbal, tidak beda jauh dalam konteks Indonesia. Menyalahkan
tentang kebobrokan apapun sepertinya akan sah-sah saja, jika hal tersebut
ditimpakan pada PKI.
Batas
antara fiksi dan non-fiksi dalam pertarungan paling purba dari riwayat manusia
itu sepertinya tidak jauh berbeda. Mungkin, ada pengecualian seperti yang dilakoni
Nelson Mandela.
Bagaimana
tidak, Mandela bisa memaafkan sipir penjara yang mengencinginya
dan berhasil
menyatukan klan kulit hitam dan putih di Afrika Selatan. Ini seharusnya bisa
menjadi jawaban dan acuan.
Apakah
hal tersebut terasa seperti simplifikasi ketika Pramoedya Ananta Toer
menanggapi dingin permintaan maaf Gus Dur? Seperti kata Abdul Moqsith Ghazali,
“Bahkan untuk itu mungkin Gus Dur telah mempertaruhkan semuanya. Ia dihujani
kritik tanpa ampun.”
Sekarang,
Gus Dur dan Pram sudah tidak ada. Upaya damai dari mereka yang dituding PKI dan
dinisbikan hak-haknya sebagai warga negara bisa memaafkan dengan ikhlas kepada
mereka yang pernah menyakitinya.
Tentu
hal tersebut adalah langkah kesekian setelah pengungkapan kebenaran dari
sengkarut 1965, meski ini menjadi jalan sunyi yang terasa panjang.
Pada
akhirnya, apakah generasi pendendam akan tetap mengekor dari siapapun yang
berkuasa? Merambah zaman dengan ketidakpastian ke mana bandul akan berpihak
atau dengan sedikit kejelian ala Krishna dalam “Mahabharata” atau
Tyrion Lannister dalam “Game of Thrones”.
Atau,
generasi yang ada kemudian sudah terlanjur jengah, mengantuk saat
doktrin-doktrin tadi dicekokkan, lalu keluar celetukan, “Pak tua, sudahlah. Di
luar banyak angin…”
Sumber: VoxPop.Id
0 komentar:
Posting Komentar