September 28, 2017 5.04 pm WIB
Abdurrashim, pernah ditahan 12 tahun tanpa peradilan karena dituduh terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Ia menghadiri Simposium Nasional Tragedi 1965 yang diselenggarakan pemerintah di Jakarta 18-19 April 2016. Reuters/Darren Whiteside
Hampir setiap tahun pada bulan September isu dan pemberitaan mengenai tragedi 1965 mewarnai diskusi ruang publik Indonesia. Semenjak berakhirnya rezim Orde Baru, marak perdebatan mengenai pelbagai tafsiran dan bukti baru mengenai tragedi tersebut. Sebelumnya, selama lebih dari tiga dekade tafsiran yang berbeda dari versi Orde Baru mengenai tragedi 1965 dilarang.
Walau berbagai tafsiran dan bukti-bukti baru tersedia, sampai saat ini belum ada kesepakatan bersama mengenai bagaimana menampilkan narasi sejarah tragedi 1965 di Indonesia. Pertentangan akibat belum adanya kesepakatan representasi narasi tersebut jelas terlihat dari penyerangan yang terjadi pada kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) baru-baru ini.
Pemahaman masyarakat yang tidak lengkap mengenai tragedi 1965 menjadi salah satu penyebab pertentangan. Berbagai pihak juga cenderung menyederhanakan masalah dengan mengabaikan konteks lokal dan global pada saat tragedi itu terjadi.
Baik tentara, korban, penyintas, para aktivis HAM, dan terlebih masyarakat luas, kerap menyederhanakan narasi mengenai tragedi tersebut. Masing-masing memilih narasi atau analisis yang sejalan dengan kepentingan mereka.
Untuk mencari jalan keluar dari beban masa lalu yang kelam ini perlu pemahaman yang komprehensif dan lengkap mengenai tragedi 1965.
Masyarakat perlu paham mengenai kompleksitas ketegangan politik antara berbagai kekuatan sosial dan politik sebelum pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965 dan masyarakat juga perlu mengetahui pembantaian kelompok kiri yang terjadi sesudahnya.
Ingatan yang dipilih
Masyarakat Indonesia saat ini dapat dikelompokkan berdasarkan cara mereka memandang tragedi 1965:
- Pertama, orang-orang yang masih memercayai narasi resmi Orde Baru yaitu PKI adalah penyebab utama sejarah kelam ini
- kedua, mereka yang memercayai narasi para korban dan penyintas
- ketiga, orang-orang yang bingung karena adanya berbagai versi yang sering kali bertolak belakang
- dan keempat, orang-orang atau generasi yang sama sekali tidak peduli dengan tragedi 1965 ini.
Untuk kelompok yang keempat ini kebanyakan tidak bisa melihat relevansi dan manfaat untuk memahami tragedi ini untuk kepentingan mereka.
Pertentangan yang sering terjadi adalah antara kelompok pertama dan kedua.
Kelompok pertama membingkai sejarah 1965 dengan terus melestarikan versi rezim Orde Baru. Fokus narasi ada pada peristiwa penculikan para jenderal Angkatan Darat pada tanggal 1 Oktober 1965. Narasi mengenai pembantaian massal setelah 1 Oktober 1965 disenyapkan.
Kelompok kedua, cenderung fokus pada narasi para penyintas, korban-korban pembunuhan, penangkapan, diskriminasi, dan berbagai aspek-aspek pelanggaran HAM yang terjadi setelah peristiwa 1 Oktober 1965. Di kelompok ini narasi mengenai penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat serta periode sebelum 1 Oktober 1965 cenderung disenyapkan dan tidak atau jarang disinggung.
Kedua kelompok saat ini bertentang secara sengit merebut klaim dalam upaya “pengungkapan kebenaran”. Pada kenyataannya, kedua kelompok ini sama-sama melakukan pemilihan dan penyederhanaan narasi tragedi 1965.
Mengingat sejarah tragedi 1965 secara holistik
Hanya dengan memahami dinamika politik dan sosial Indonesia di tahun-tahun menjelang peristiwa 1 Oktober 1965 kita bisa melihat tragedi ini dengan lebih baik.
Pada tahun-tahun menjelang pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965, kondisi sosial dan politik Indonesia berada pada situasi penuh ketegangan antara kelompok kiri dan kanan. Pada saat itu gerakan kiri cenderung mendominasi wacana sosial politik Indonesia.
Ketegangan hebat antara blok barat (negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, negara-negara Eropa barat dan Jepang) dan blok timur (negara-negara komunis seperti Uni Soviet, Korea Utara, Cina, dan Vietnam Utara) menambah tekanan dari dimensi internasional.
Ketegangan bipolar di tingkat dunia ini pun mempengaruhi dinamika politik domestik Indonesia. Saat itu kelompok kiri yang dimotori Partai Komunis Indonesia cenderung terus menekan kelompok kanan, yang adalah kelompok Islam, Angkatan Darat dan kelompok-kelompok anti-komunis lainnya.
Presiden Sukarno memainkan perannya sebagai penengah yang berdiri di tengah perseteruan ini. Ada kekhawatiran dan ketakutan yang mendalam di pihak anti-komunis terhadap dominasi gerakan kiri dalam wacana politik Sukarno saat itu.
Setelah pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965, yaitu penculikan enam jenderal oleh sekelompok tentara berhaluan kiri yang menamai diri mereka Gerakan 30 September, diikuti penumpasan gerakan tersebut oleh Mayor Jenderal Soeharto, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran politik Indonesia. Yang tadinya sangat pro-kiri dan pro-komunis berubah ke arah kanan yang pro-barat dan didominasi oleh militer yang anti-komunis.
Pergeseran arah politik Indonesia ke arah kanan dimungkinkan karena militer anti-komunis menyingkirkan tokoh-tokoh kiri dari kekuasaan. Pembantaian, penahanan, dan diskriminasi yang orang-orang yang dipercaya berhaluan kiri sesudah 1 Oktober 1965 menyumbang pada pergeseran tersebut.
Jalan ke depan
Untuk mencapai sebuah penyelesaian dan rekonsiliasi mengenai tragedi 1965 perlu iktikad baik dari semua pihak untuk berani jujur dan mengakui kesalahan yang pernah dibuat.
Perlu ada kesamaan cara pandang dalam upaya untuk melihat dan memahami tragedi 1965 secara menyeluruh. Melihat tragedi 1965 harus dari periode sebelum 1 Oktober 1965, peristiwa pada tanggal 1 Oktober itu sendiri, dan periode setelah 1 Oktober 1965.
Kesepakatan untuk memahami tragedi 1965 secara menyeluruh tersebut dimaksudkan untuk mengurangi–dan idealnya, menghilangkan–kecenderungan penyederhanaan dan pemilihan narasi peristiwa 1965.
Selain itu, untuk menyelesaikan tragedi sebesar peristiwa 1965 ini jalur hukum bukanlah jalan yang terbaik untuk mencapai rekonsiliasi antarkelompok terkait.
Dinamika tragedi 1965 ini sangat kompleks dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat di seluruh Indonesia. Walau dengan segala maksud baiknya, penggunaan jalur hukum yang hanya fokus pada aspek HAM (hak asasi manusia) malah akan membuka peluang untuk membuka luka lama di dalam masyarakat dan memperluas ketegangan.
Selama ini dialog aktif antar komunitas dan model rekonsiliasi kultural yang dimotori oleh generasi muda organisasi Islam terbesar Indonesia Nahdlatul Ulama, yang pada 1965-1966 terlibat dalam pembantaian kelompok kiri, berhasil meredam ketegangan di dalam masyarakat. Contoh-contoh tersebut adalah upaya masyarakat sipil dalam menyelesaikan dan berdamai dengan masa lalu kita yang kelam ini.
Pendekatan kesejarahan yang menyeluruh, jujur, dan beriktikad baik, dapat membuka peluang untuk meningkatkan pemahaman atas tragedi yang kompleks ini dengan lebih saksama.
Diharapkan dari pemahaman seperti itu akan lahir langkah-langkah rekonsiliasi yang lebih konkret dengan semangat dan harapan untuk memastikan agar tragedi seperti yang terjadi di tahun 1965-1966 tidak akan pernah terulang kembali.
Tulisan ini adaptasi dari materi yang dipresentasikan penulis pada Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan yang diselenggarakan pemerintah Indonesia pada tanggal 18-19 April 2016 di Jakarta.
Sumber: TheConversation
0 komentar:
Posting Komentar