| Jumat, 29 September 2017
Patung Tugu Tani sering diidentikkan dengan PKI. Benarkah?
Jumlah anggota yang
diklaim PKI pada pertengahan dasawarsa 1960-an–PKI sebanyak 20 juta. Mereka
mayoritas berada di Jawa. Tapi, ini jelas angka yang terlalu dilebih-lebihkan.
Radikalisme
Demokrasi Terpimpin mulai berkembang menjadi kekacauan
sosial di banyak wilayah pedesaan di Jawa Timur pada 1963 dan
1964.
Partai Komunis
Indonesia tampaknya percaya diri bahwa, meskipun lawan-lawan politiknya
bertambah kuat, simpatisannya yang banyak sebagaimana diklaimnya, memberi
partai itu kapasitas untuk melakukan tindakan independen. Juga dimungkinkan
bahwa Dipa Nusantara Aidit, selama kunjungannya ke Beijing pada 1963, telah
didesak untuk segera melancarkan tindakan revolusioner langsung di pedesaan.
Apa pun itu,
kejadian-kejadian yang ada menunjukkan, sebagaimana disampaikan oleh sejarawan
Rex Mortimer, bahwa kaum Komunis merasa waktunya telah semakin dekat, ketika nasib
politik mereka ditentukan dengan satu atau lain cara.
DN Aidit
menguraikan secara dikotomis tentang kondisi sosial, religius,
dan politik (dia,
tentu saja, menyebutnya sebagai “kontradiksi”) yang dihadapi PKI. Walaupun
motivasi sesungguhnya dari para pemimpin PKI tidak sepenuhnya jelas, pada awal
1964 kaum Komunis yang memaksakan Undang-undang Pembaruan Agraria (UUPA) yang
telah disetujui pada 1959-60, tetapi belum diimplementasikan sama sekali.
Jumlah anggota yang
diklaim PKI pada pertengahan dasawarsa 1960-an–PKI sebanyak 20 juta. Mereka
mayoritas berada di Jawa. Tapi, ini jelas angka yang terlalu dilebih-lebihkan.
Apa pun yang
terjadi, para aktivis PKI–khususnya yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia
dan Pemuda Rakyat–dan para pengikut mereka yang entah memiliki tanah atau
tidak, mulai mengambil alih tanah-tanah “berkelebihan” di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Keputusan ini menempatkan pihak Komunis pada posisi berhadap-hadapan
dengan banyak haji dan kiai kaya, pesantren yang memiliki lahan luas, tuan
tanah santri lain, dan para pejabat militer.
Ironisnya, “aksi
sepihak” PKI itu justru memberi keuntungan bagi institusi-institusi Islam,
sebab banyak tuan tanah santri yang lebih memilih untuk memberikan tanah mereka
bagi pesantren, masjid, langgar, atau lembaga-lembaga lain sebagai wakaf,
daripada melihatnya jatuh ke tangan kaum Komunis.
Menurut Lance
Castles, kepemilikan tanah pondok pesantren modern yang paling terkenal di
Jawa, Pondok Modern di Gontor, meningkat tajam dari hanya 25 hektar menjadi
lebih dari 260 hektar dengan cara ini. BTI mencoba menghalanginya, tetapi gagal
mencegah pesantren itu mendapatkan tanah-tanah yang diingininya.
Para aktivis
Nahdlatul Ulama–terutama yang tergabung dalam Ansor dan Barisan Serba Guna
(Banser)–balik melawan. Pertikaian, penculikan, penyiksaan, penyerangan atas
rumah, perusakan ladang tebu dan tanaman-tanaman lain, serta pembunuhan
terhadap lawan terjadi di berbagai tempat. PKI menyatakan bahwa kaum
revolusioner yang sejati harus menempatkan diri mereka di pihak petani kecil
dan menampilkan perjuangan mereka seakan-akan itu adalah persoalan kelas,
namun, tetap saja, aksi ini tidak didukung oleh seluruh kaum petani.
Kaum petani abangan
pengikut PKI dan BTI-lah yang mengklaim tanah, bukannya kaum petani santri.
Kelompok yang disebut belakangan ini–dipimpin terutama oleh milisi Ansor dari
NU yang rata-rata masih berusia muda–menganggap perlawanan terhadap kaum
Komunis yang “ateistik” sebagai sebuah tugas agama. Di beberapa tempat, orang
keturunan Cina–yang oleh kalangan santri sering kali diasumsikan sebagai orang
ateis dan Komunis dari asalnya–juga diserang, dan mendapat pembelaan dari PKI.
Beberapa aktivis
santri memercayai bahwa kaum Komunis menggunakan ilmu hitam untuk menjatuhkan
lawan-lawan politik mereka, dan karenanya mereka membutuhkan para kiai yang
dapat memberikan perlindungan supernatural, lewat doa-doa dan azimat kepada
para aktivis itu. Para kiai menyatakan bahwa setiap orang yang terbunuh di
dalam aksi melawan kaum Komunis akan serta-merta masuk surga, sebagaimana
terjadi pada para syuhada yang wafat di Perang Jihad.
Di dalam pelbagai
kekerasan yang terus meluas ini, PKI segera mendapati diri mereka berada di
sisi yang defensif, khususnya di jantung kekuatan NU di Jawa Timur. Ketika
partai itu sedang mendapat ujian, jutaan anggota yang diklaimnya tidak
kelihatan batang-hidungnya dan aliran jelas-jelas mengalahkan kelas sebagai
format mobilisasi politik.
Pada November 1964,
BTI mengakui bahwa gerakan “kontra revolusi” sedang berada di atas angin di
Jawa Timur. NU dan kekuatan-kekuatan anti PKI lain menikmati kemenangan mereka.
PKI mencoba menarik
diri dari kampanye aksi sepihak yang dijalankannya, tetapi keputusan itu tidak
bisa dilakukan secepat kilat, karena takut akan memukul semangat juang kader-kader
partai dan menjauhkan PKI dari basis massa yang diklaimnya.
Ribuan anggota BTI
yang mengularkambang (oportunis) meninggalkan organisasi–karena keanggotaan di
dalam BTI sama saja dengan paspor menuju masalah–dan menyatakan diri sebagai
anggota Partai Nasional Indonesia, dan, dengan demikian, mempertahankan
identitas politik abangan mereka, sekaligus menyelamatkan diri dari sasaran
kemarahan kaum santri. Sementara pihak Komunis berusaha mengendalikan para
aktivis mereka, pihak santri sudah bisa mencicipi manisnya kemenangan.
Mortimer meneroka
bahwa semua kalangan anti Komunis yang menjadi sadar akan apa yang terjadi
merasa sangat gembira. Bahwa kekuatan PKI sangat dominan di desa-desa di Jawa
Timur dan Jawa Tengah tidak lagi diterima sebagai aksioma politik Jakarta.
Konflik terjadi tidak sebatas di wilayah-wilayah pedesaan yang yang terpencil.
Di Surabaya,
misalnya, tanah milik warga keturunan Cina diambil alih dan, dalam waktu yang
tidak lama, telah dibanguni ratusan rumah. BTI menuntut wali kota–yang adalah
seorang anggota PKI–memberikan sertifikat kepada orang-orang yang mendiami
bidang tanah ini, tetapi pemerintah kota ternyata tidak berhasil mengabulkan
permintaan itu. Pemuda Rakyat dan Ansor bertikai dengan sengit di beberapa
kawasan di Surabaya, dan di
berbagai kota lain, baik besar maupun kecil.
Hawa radikalisme
baik di tingkat nasional maupun lokal terus berlanjut sementara bulan-bulan
pada 1965 berlalu. Mengingat Masyumi telah dilarang pemerintah, NU menjadi
satu-satunya partai politik santri yang signifikan yang masih tersisa. Para
pemimpin dan aktivisnya, bersama santri-santri lain dan para tokoh militer yang
terkemuka, bertekad untuk menjegal langkah PKI menuju pintu kekuasaan.
Di banyak kota dan
desa di Jawa, orang yakin bahwa kekerasan sudah berada di ambang mata. Merebak
kabar, satu pihak telah membuat daftar orang-orang dari pihak yang harus
dihabisi ketika kekerasan itu meledak.
Sumber: Alif.Id
0 komentar:
Posting Komentar