Sabtu, 30 September 2017 12:35
- Peristiwa G30S PKI
Soeharto dan Sarwo Edhie
Wibowo
TRIBUNJABAR.CO.ID - Setelah Pangkostrad Soeharto
mengumumkan bahwa aksi G30S didalangi orang-orang PKI, maka satuan-satuan
pasukan TNI AD di daerah segera melakukan tindakan dan operasi pembersihan.
Jawa Tengah menjadi target khusus lantaran menjadi basis
kekuatan PKI waktu itu.
Pangdam Diponegoro Brigjen Suryo Sumpeno mendengar kabar
terjadinya Gestapu ketika ia sedang minum kopi bersama istri di rumahnya di
Semarang.
Merasa ada sesuatu yang salah, ia langsung mengumpulkan bawahan dan stafnya.
Brigjen Surya memerintahkan mereka tetap tenang hingga
situasi menjadi jelas.
Seperti disebut dalam buku Menyeberangi Sungai Air
Mata: Kisah Tragis Tapol '65 dan Upaya Rekonsiliasi, dalam pertemuan itu hadir
juga Letnan Kolonel Usman yang membuat Brigjen Suryo sempat berpikir sejenak.
Pasalnya tidak seperti biasanya, Letkol Usman saat itu
membawa pistol di pinggangnya.
Seusai pertemuan, Brigjen Suryo Sumpeno mengumumkan
kepada masyarakat agar tetap tenang, tidak bertindak sendiri-sendiri, dan
menunggu perintah selanjutnya.
Brigjen Suryo Kemudian bertolak ke Magelang mengendarai
jipnya. Di Akademi Militer Magelang, ia menjelaskan situasi kepada para
pembantunya.
Hadir juga dalam pertemuan itu komandan dari Yogyakarta
Kolonel Katamso.
Setelah briefing di Magelang, Brigjen Suryo
memutuskan untuk kembali ke Semarang lewat Salatiga.
Dalam perjalanan, ketika ia menyetel radio, ia dengar
bahwa anak buahnya mendukung Gestapu (Gerakan September 30).
Mereka adalah Letnan Kolonel Usman yang ketika menghadap
bersenjata pistol dan Kolonel Suhirman.
Bersama pasukannya, Suhirman berhasil merebut Skodam VII
sebagai markas dan mengambil oper pimpinan untuk menyebarkan kegiatannya ke
seluruh Korem dan Brigrif-brigrif Kodam Diponegoro.
Dukungan serupa diberikan oleh Wali Kota Solo, Utomo
Ramelan, bupati Boyolali dan Karanganyar.
Ketika Pangdam Brigjen Suryo tiba di Salatiga dan masuk
ke markas tentara, pasukan pendukung Gestapu segera mengepung.
Kepada Suryo, pemimpin pasukan itu berkata, “Jenderal,
saya harus menangkap Anda.”
Setelah berdebat sejenak, Brigjen Suryo berhasil
meyakinkan kepala pasukan yang sedang bingung itu dan memerintahkannya tetap di
situ bersama tentaranya.
Kemudian Brigjen Suryo pun dibiarkannya pergi ke
Semarang.
Nasib mujur Brigjen Suryo ternyata tidak dialami oleh
Kolonel Katamso.
Ketika briefing di Magelang baru saja usai, anak buahnya
yang membelot dan mendukung Gestapu berhasil menguasai Yogyakarta.
Pemimpinnya, Mayor Mulyono, memerintahkan untuk menangkap
Katamso dan stafnya, Letkol Sugiyono.
Keduanya kemudian dibunuh.
Setelah komandan dihabisi, pasukan pembelot
membagi-bagikan senjata kepada sipil yang mendukung mereka.
PKI mengumpulkan 25 ribu anggotanya untuk berpawai
mendukung Gestapu.
Meski sempat unjuk kekuatan pada saat-saat awal,
keyakinan diri pasukan pendukung Gestapu segera merosot bersamaan dengan
tersiarnya berita dari Jakarta bahwa Mayjen Soeharto telah menguasai keadaan.
Pemimpin Gestapu di Yogyakarta memilih melarikan diri ke
daerah Merbabu. Pasukannya tercerai-berai.
Sementara itu, di Semarang, Brigjen Suryo pun segera
menguasai keadaan.
Sesuai pertemuan di Magelang dan membebaskan diri dari
kepungan pasukan pendukung Gestapu di Salatiga pada 2 Oktober, ia telah merebut
kembali kepemimpinan dan menguasai kota Semarang.
Kolonel Suhirman dan sebagian pasukannya melarikan diri
ke luar kota.
Pada 5 Oktober, Semarang dan Yogyakarta sudah dikuasai
oleh tentara yang loyal pada Soeharto.
Kepemimpinan tentara Yogyakarta dipegang oleh Kolonel
Widodo yang datang ke kota ini dengan mengendarai tank.
Pada hari yang sama Walikota Solo ditahan dan semua
fungsionaris PKI Solo ditangkap.
Penumpasan Gestapu
di Jawa Tengah.
Meski tentara anti-komunis sudah kembali menguasai
keadaan, Soeharto masih memandang perlu mengirim pasukan khusus ke Jawa Tengah
sebab daerah inilah basis utama PKI dan tentara sempat “disusupi” oleh Gestapu.
Pada 17 Oktober, Kolonel Sarwo Edhi memimpin RPKAD ke
Jawa Tengah untuk melakukan “pembersihan”.
Saat RPKAD tiba di Semarang pada hari berikutnya,
kelompok anti-komunis membakar daerah-daerah PKI, seolah-olah untuk menyambut
kedatangan para pahlawan.
Pada malam 18 Oktober RPKAD dan tentara lokal menahan dan
menangkap 800 orang yang dicurigai tersangkut G30S.
Pada 21 Oktober, tiga kompi RPKAD bergerak menuju
Magelang, keamanan kota Semarang diserahkan kepada sebagian pasukan yang
ditinggalkan.
Seperti di Semarang, kedatangan pasukan RPKAD disambut
gembira oleh kelompok anti-komunis dan dirayakan dengan perusakan gedung dan
rumah anggota PKI dan Baperki.
Setelah melakukan pembersihan di Magelang, pada hari
berikutnya pasukan elit ini melanjutkan operasi ke Boyolali karena diterima
info bahwa Kodim (Komando Distrik Militer) Boyolali sedang dikepung oleh
ribuan Pemuda Rakyat dan anggota PKI yang
bersenjata golok dan bambu runcing.
Memang, pada 22 Oktober terjadi perlawanan PKI di
Boyolali dan Klaten.
Di desa-desa di seluruh wilayah itu, pohon-pohon ditebang
dan dilintangkan di tengah jalan. Jaringan telepon diputus.
Pemuda Rakyat menyerang kantor polisi dan markas tentara
berharap memperoleh senjata, karena mereka hanya punya pisau dan bambu runcing.
Oang-orang anti-komunis diculik dan dibunuh. Rumah mereka
dibakar.
Namun, perlawanan ini berlangsung sebentar saja. Banyak
anggota komunis terluka dan RPKAD langsung memegang kendali.
Inilah perlawanan terorganisir PKI DI Jawa Tengah untuk
terakhir kalinya.
Beberapa minggu setelahnya, memang masih terjadi
pelawanan oleh Pemuda Rakyat, namun ini hanyalah
insiden-insiden yang tak terkait satu sama lain.
Dengan demikian pada 23 Oktober Gestapu di Jawa Tengah
telah habis.
Jalan lapang tersedia bagi RPKAD untuk memulai
“pembersihan” komunis.
Karena Jawa Tengah terlalu luas dan padat bagi RPKAD,
“Kami memutuskan,” kata Komandan RPKAD, Sarwo Edhie, “untuk mendukung warga sipil yang anti-komunis agar ikut membantu. Di Solo kami mengumpulkan para pemuda, dari kelompok nasionalis, organisasi religius (muslim). Kami memberi mereka pelatihan selama dua atau tiga hari, kemudian menugasi mereka untuk membunuh orang-orang komunis.”
Dan mulailah banjir darah pasca G30S.
Suatu tragedi kemanusian yang menjadi makin parah dan
tidak terkendali sekaligus menjadi pelajaran sejarah karena melibatkan warga
sipil dan ormas-ormas yang dipersenjatai.
Editor: Ravianto
0 komentar:
Posting Komentar