GARIS, FPI, dan FKPPI mengakui terlibat dalam aksi penyerbuan Gedung YLBHI pada Minggu malam (17/9) hingga Senin dini hari (18/9).
Reporter: Reja Hidayat | 19 September, 2017
Jumat malam (15/9), selepas Isya, Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen mendatangi Markas Besar Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) di Jalan Menteng Raya No 8, Jakarta Pusat. Kehadiran bekas Kepala Staf Kostrad ABRI itu memenuhi undangan pantia Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Komunis. Malam itu dihelat rapat untuk menggagalkan seminar yang dituding sebagai agenda konsolidasi orang-orang komunis di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat.
Tirto diperlihatkan salah satu foto rapat tersebut. Kivlan terlihat mengenakan kemeja batik bermotif kembang. Ia duduk berdampingan dengan beberapa pimpinan organisasi masyarakat dan juga aliansi mahasiswa. Di sebelah kanan Kivlan, duduk Nanang Qosim, Ketua Bidang Dakwah GPII. Di sebelah kiri duduk Rahman Himran, Koordinator Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Komunis. Di belakang mereka, terpampang spanduk bertuliskan "Jangan harap komunis hidup kembali di Indonesia".
"Ini saya, ini bang Kivlan, ini Rahmat," ujar Nanang, kepada Tirto, menunjuk foto dirinya ketika rapat Jumat malam itu digelar. "(Rapat) Jumat malam pada jam 20.00 itu dipublikasikan, kok," kata Nanang lagi.
Ia menjelaskan, pada Jumat malam itu, sehari sebelum diskusi pengungkapan sejarah 1965/1966 dilangsungkan di Gedung YLBHI, para petinggi organisasi termasuk Kivlan membahas rencana penolakan. Ada banyak ormas dan organisasi mahasiswa yang ikut hadir. Di antaranya: Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK), Pemuda Bulan Bintang, dan Gerakan Merah Putih (GMP).
Rapat itu, menurut Nanang, berlangsung selama 1,5 jam dan membahas isi seminar yang akan digelar di Gedung YLBHI. Para peserta rapat menganggap, seminar diindikasikan bakal membuka luka lama sejarah. Mereka bahkan menduga seminar itu diarahkan untuk mencabut Tap MPR No 25 tahun tahun 1966 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia.
"TOR [acara diskusi] itu kami temukan menyudutkan Orde Baru dan TNI,” ujar Nanang. Karena isi materi seminar itu juga, Nanang menilai, YLBHI dituding memfasilitasi Yayasan 65. Bahkan ia menuding, Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) '65, yang sedianya bakal menjadi pembicara dalam seminar, merupakan pelaku.
“Membuka borok lama, menginginkan rekonsiliasi negara dan kompensasi dari negara," kata Nanang menjelaskan isi rapat yang dihadiri Kivlan Zen itu.
Karena kesimpulan itulah, Nanang bersama 39 orang yang menjadi insiator kemudian mengusulkan untuk melakukan penolakan. Seolah ingin mengambil kewenangan Kepolisian, ia kemudian menyebut seminar yang bakal digelar di Gedung YLBHI itu dinilai tak memiliki izin.
"Kita cek juga. Seminar yang dilakukan YLBHI tidak memiliki izin dari Kepolisian. Itu penting karena melakukan kegiatan yang melibatkan orang daerah, melibatkan elemen masyarakat yang tidak tinggal di Jakarta maupun di Jakarta harus memberitahukan kegiatan acara," kata Nanang
Karena dasar itu juga, pada Sabtu, mereka mendatangi kantor YLBHI untuk melakukan demonstrasi.
Belakangan, karena ada aksi demonstrasi, peserta seminar berusia lanjut yang rencananya menghadiri acara itu dievakuasi Kepolisian. Mereka dibawa ke dalam Gedung YLBHI. Namun belakangan, situasi pendemo kian memanas.
Pukul satu siang, massa yang melakukan demonstrasi itu kemudian berusaha merangsek masuk dengan menerobos barisan Polisi. Namun, mereka tak mampu menembus blokade hingga akhirnya membubarkan diri sekitar pukul tiga sore.
Satu jam setelah massa pendemo membubarkan diri, polisi kemudian masuk ke dalam Gedung YLBHI. Mereka meminta kepastian seminar batal dilaksanakan. Polisi sempat berusaha mengambil laptop sebagai alat bukti. Namun, hal itu urung dilakukan karena digagalkan panitia lantaran menganggap tindakan itu tak beralasan.
Pada akhirnya, seminar memang batal dilakukan. Untuk menganti acara itu, pada hari Minggu, setelah terjadi penolakan, panitia menggelar aksi mengkritik tindakan pemerintah dan kepolisian. Aksi bertajuk "AsikAsikAksi: Indonesia Darurat Demokrasi" itu pun digelar di dalam gedung YLBHI. Agendanya lebih ke arah pertunjukan seni, baik musik maupun sastra.
Namun, ketika acara itu selesai, pada pukul 22.00 Minggu malam (17/9), segerombolan massa kemudian mengepung kantor YLBHI. Jumlah massa itu terus bertambah dalam hitungan menit dan datang dari berbagai penjuru.
Salah satu kelompok massa yang ikut melakukan penyerbuan ke Gedung YLBHI adalah Gerakan Reformis Islam (GARIS). Salah satu tokoh dari organisasi massa itu terlihat berada di depan pintu masuk Gedung YLBHI.
Kivlan membenarkan jika GARIS merupakan salah satu Ormas yang hadir dalam rapat di kantor PP GPII. “Banyak yang datang, saya tak enak menyebut dan buat apa,” ujar Kivlan melalui sambungan telepon, Senin kemarin (18/9).
Namun, ada dua kelompok massa yang tidak ikut hadir dalam rapat di kantor GPII dihadiri Kivlan Zen namun muncul dalam aksi penyerbuan Gedung YLBHI. Mereka adalah massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Komunikasi Putra-Puteri TNI/ Polri (FKPPI). Kedua Ormas itu membenarkan jika anggotanya ikut melakukan penyerbuan ke kantor YLBHI pada Minggu malam.
"Kami tulis dua nama, pertama itu Kivlan Zen dan yang kedua adalah Rahmat Himran yang merupakan anggota Presidium 313," Ujar Isnur di Gedung Komnas Perempuan, Jakarta, Senin kemarin.
Ia menjelaskan, dugaan kepada kedua orang itu dikuatkan lantaran keduanya dianggap menyebarkan informasi hoax dan fitnah terkait acara di Gedung YLBHI. Isnur menyarankan agar penegak hukum bisa memeriksa catatan telepon seluler atau media sosial keduanya untuk dilakukan pembuktian.
Kivlan secara tegas membantah dirinya sebagai dalang di balik penyerbuan gedung YLBHI pada Minggu malam.
"Dalang untuk menyerbu itu tidak ada, [yang ada] panitia (rapat) mengundang saya. Boleh tidak jika wartawan juga diundang? Wartawan dapat undangan enggak untuk acara pas demo? Ada? Kalau diundang berarti boleh, dong? Berarti bukan saya dalangnya, dong," kata Kivlan melalui sambungan telepon.
Meski demikian, Kivlan membenarkan jika ia sempat mendatangi rapat penolakan seminar yang dilakukan di kantor Pimpinan Pusat GPII sehari sebelum demonstrasi. Namun, sekali lagi, kedatangannya hanyalah sebagai tamu undangan.
"Saya diundang, [berarti] bukan dalang. Kalau saya dalang, berarti saya undang mereka," ujar Kivlan berulang kali menegaskan.
"Ini saya, ini bang Kivlan, ini Rahmat," ujar Nanang, kepada Tirto, menunjuk foto dirinya ketika rapat Jumat malam itu digelar. "(Rapat) Jumat malam pada jam 20.00 itu dipublikasikan, kok," kata Nanang lagi.
Ia menjelaskan, pada Jumat malam itu, sehari sebelum diskusi pengungkapan sejarah 1965/1966 dilangsungkan di Gedung YLBHI, para petinggi organisasi termasuk Kivlan membahas rencana penolakan. Ada banyak ormas dan organisasi mahasiswa yang ikut hadir. Di antaranya: Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK), Pemuda Bulan Bintang, dan Gerakan Merah Putih (GMP).
Rapat itu, menurut Nanang, berlangsung selama 1,5 jam dan membahas isi seminar yang akan digelar di Gedung YLBHI. Para peserta rapat menganggap, seminar diindikasikan bakal membuka luka lama sejarah. Mereka bahkan menduga seminar itu diarahkan untuk mencabut Tap MPR No 25 tahun tahun 1966 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia.
"TOR [acara diskusi] itu kami temukan menyudutkan Orde Baru dan TNI,” ujar Nanang. Karena isi materi seminar itu juga, Nanang menilai, YLBHI dituding memfasilitasi Yayasan 65. Bahkan ia menuding, Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) '65, yang sedianya bakal menjadi pembicara dalam seminar, merupakan pelaku.
“Membuka borok lama, menginginkan rekonsiliasi negara dan kompensasi dari negara," kata Nanang menjelaskan isi rapat yang dihadiri Kivlan Zen itu.
Karena kesimpulan itulah, Nanang bersama 39 orang yang menjadi insiator kemudian mengusulkan untuk melakukan penolakan. Seolah ingin mengambil kewenangan Kepolisian, ia kemudian menyebut seminar yang bakal digelar di Gedung YLBHI itu dinilai tak memiliki izin.
"Kita cek juga. Seminar yang dilakukan YLBHI tidak memiliki izin dari Kepolisian. Itu penting karena melakukan kegiatan yang melibatkan orang daerah, melibatkan elemen masyarakat yang tidak tinggal di Jakarta maupun di Jakarta harus memberitahukan kegiatan acara," kata Nanang
Karena dasar itu juga, pada Sabtu, mereka mendatangi kantor YLBHI untuk melakukan demonstrasi.
Penyerbuan pada Sabtu dan Minggu
Sebelum mereka mendatangi Gedung YLBHI, sejak pukul enam pagi pada hari Sabtu (16/8), Kepolisian sudah lebih dulu melakukan blokade di jalan menuju pintu masuk Gedung YLBHI. Imbasnya, baik panitia maupun peserta yang akan mengikuti seminar itu tak bisa masuk.Belakangan, karena ada aksi demonstrasi, peserta seminar berusia lanjut yang rencananya menghadiri acara itu dievakuasi Kepolisian. Mereka dibawa ke dalam Gedung YLBHI. Namun belakangan, situasi pendemo kian memanas.
Pukul satu siang, massa yang melakukan demonstrasi itu kemudian berusaha merangsek masuk dengan menerobos barisan Polisi. Namun, mereka tak mampu menembus blokade hingga akhirnya membubarkan diri sekitar pukul tiga sore.
Satu jam setelah massa pendemo membubarkan diri, polisi kemudian masuk ke dalam Gedung YLBHI. Mereka meminta kepastian seminar batal dilaksanakan. Polisi sempat berusaha mengambil laptop sebagai alat bukti. Namun, hal itu urung dilakukan karena digagalkan panitia lantaran menganggap tindakan itu tak beralasan.
Pada akhirnya, seminar memang batal dilakukan. Untuk menganti acara itu, pada hari Minggu, setelah terjadi penolakan, panitia menggelar aksi mengkritik tindakan pemerintah dan kepolisian. Aksi bertajuk "AsikAsikAksi: Indonesia Darurat Demokrasi" itu pun digelar di dalam gedung YLBHI. Agendanya lebih ke arah pertunjukan seni, baik musik maupun sastra.
Namun, ketika acara itu selesai, pada pukul 22.00 Minggu malam (17/9), segerombolan massa kemudian mengepung kantor YLBHI. Jumlah massa itu terus bertambah dalam hitungan menit dan datang dari berbagai penjuru.
Salah satu kelompok massa yang ikut melakukan penyerbuan ke Gedung YLBHI adalah Gerakan Reformis Islam (GARIS). Salah satu tokoh dari organisasi massa itu terlihat berada di depan pintu masuk Gedung YLBHI.
Kivlan membenarkan jika GARIS merupakan salah satu Ormas yang hadir dalam rapat di kantor PP GPII. “Banyak yang datang, saya tak enak menyebut dan buat apa,” ujar Kivlan melalui sambungan telepon, Senin kemarin (18/9).
Namun, ada dua kelompok massa yang tidak ikut hadir dalam rapat di kantor GPII dihadiri Kivlan Zen namun muncul dalam aksi penyerbuan Gedung YLBHI. Mereka adalah massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Komunikasi Putra-Puteri TNI/ Polri (FKPPI). Kedua Ormas itu membenarkan jika anggotanya ikut melakukan penyerbuan ke kantor YLBHI pada Minggu malam.
Tudingan Terhadap Kivlan Zen
Ketua Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Muhammad Isnur, menyebut dua nama yang diduga menjadi dalang penyerbuan dan pengepungan Gedung YLBHI Jakarta. Dia menyebutkan Anggota Presidium 313 sekaligus Koordinator Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Komunis, Rahmat Himran dan Kivlan Zen."Kami tulis dua nama, pertama itu Kivlan Zen dan yang kedua adalah Rahmat Himran yang merupakan anggota Presidium 313," Ujar Isnur di Gedung Komnas Perempuan, Jakarta, Senin kemarin.
Ia menjelaskan, dugaan kepada kedua orang itu dikuatkan lantaran keduanya dianggap menyebarkan informasi hoax dan fitnah terkait acara di Gedung YLBHI. Isnur menyarankan agar penegak hukum bisa memeriksa catatan telepon seluler atau media sosial keduanya untuk dilakukan pembuktian.
Kivlan secara tegas membantah dirinya sebagai dalang di balik penyerbuan gedung YLBHI pada Minggu malam.
"Dalang untuk menyerbu itu tidak ada, [yang ada] panitia (rapat) mengundang saya. Boleh tidak jika wartawan juga diundang? Wartawan dapat undangan enggak untuk acara pas demo? Ada? Kalau diundang berarti boleh, dong? Berarti bukan saya dalangnya, dong," kata Kivlan melalui sambungan telepon.
Meski demikian, Kivlan membenarkan jika ia sempat mendatangi rapat penolakan seminar yang dilakukan di kantor Pimpinan Pusat GPII sehari sebelum demonstrasi. Namun, sekali lagi, kedatangannya hanyalah sebagai tamu undangan.
"Saya diundang, [berarti] bukan dalang. Kalau saya dalang, berarti saya undang mereka," ujar Kivlan berulang kali menegaskan.
(tirto.id - arb/zen)
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar