Reporter: Petrik Matanasi | 28 September, 2017
Soepardjo adalah satu-satunya jenderal Angkatan Darat yang aktif dalam G30S.
Brigjen Soepardjo (tengah), dikawal oleh polisi militer keluar dari pengadilan. Ia adalah Komandan TNI Divisi Kalimantan Barat yang memiliki peran penting dalam peristiwa Gerakan 30 September. FOTO/Istimewa
Tak banyak yang dikerjakan Brigadir Jenderal Mustafa Sjarif Soepardjo di perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia. Sebagai Panglima Komando Tempur II dalam Komando Mandala Siaga (Kolaga), ia tidak bisa banyak berbuat karena memang belum ada pasukan untuk disusupkan ke Malaysia dalam kampanye "Ganyang Malaysia" itu.
Sebelum mengisi jabatan itu, Soepardjo pernah belajar setahun di Sekolah Staf Tentara Pakistan di Quetta. Menurut Victor M. Fic dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi (2005), ia adalah “mantan Komandan Resimen Divisi Siliwangi, yang ditempatkan di Jawa Barat […] Pada awal 1965 Soepardjo telah digeser dari pos ini karena aktivitasnya dianggap memberontak dan pro komunis.”
Hari itu, Soepardjo begitu ngebet ingin kembali ke Jakarta. Menurut catatan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008), Soepardjo pulang mendadak setelah mendapat pesan radiogram dari istrinya bahwa anak bungsunya sakit keras dan kritis.
Menurut catatan Hendro Subroto dalam Dewan Revolusi PKI (1997), di bandar udara Pontianak, bertemulah Soepardjo dengan Chalimi Imam Santoso, komandan Batalyon I Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang juga akan ke Jakarta.
Santoso bertanya: “Loh, katanya Pak Pardjo akan kembali ke Bengkayang, mengapa malah di sini?”
Soepardjo hanya menjawab ada panggilan mendadak di Jakarta. Setiba di Jakarta, Soepardjo ikut serta kendaraan yang juga menjemput Mayor CI Santoso. Saat itu sudah memasuki akhir September, tepatnya 28 September 1965.
Setelah di Jakarta, Soepardjo melaporkan diri kepada atasannya di Kolaga, Marsekal Omar Dhani. Menurut John Roosa, Soepardjo melapor bahwa dia akan kembali ke Kalimantan sebelum 1 Oktober 1965. Namun, Omar Dhani minta Soepardjo bertahan di Jakarta hingga 3 Oktober 1965. Selain bertemu Omar Dani, Soepardjo langsung menuju rumah Sjam Kamaruzaman hanya beberapa jam setelah mendarat. Sjam dianggap sebagai orang PKI dan intel tentara.
Soepardjo pun jadi satu-satunya jenderal dari Angkatan Darat yang duduk dalam pimpinan Gerakan 30 September 1965 (G30S) itu. Walau jenderal, bukan dia yang menjadi pemimpin G30S, melainkan seorang Letnan Kolonel yang hanya dipandang sebagai jago tempur tapi secara ilmu kemiliteran di bawah Soepardjo. Letnan Kolonel Untung, si penerima Bintang Sakti atas aksinya di Irian Barat, yang menjadi pemimpin gerakan itu. Begitu pun dalam Dewan Revolusi yang diumumkan pada 1 Oktober 1965, Untung menjadi Ketua Dewan, sementara Soepardjo hanya jadi Wakil Ketua Dewan.
Di dalam gerakan itu, Soepardjo menjadi perwira yang banyak mengamati bagaimana pergerakan pasukan penculik. Karena itulah Soepardjo dapat melihat sejumlah kekurangan dalam gerakan itu. Mulai dari terlihat lelahnya tokoh-tokoh penting gerakan seperti Untung.
“Kawan Untung tiga hari berturut-turut mengikuti rapat-rapat Bung Karno di Senayan dalam tugas pengamanan,” tulis Soepardjo dalam dokumen yang dijuduli Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnya G30S Dipandang Dari Sudut Militernya (1966).
Selain itu, beberapa pasukan mengaku siap bergerak tapi nyatanya tidak. Terkait Hari-H pelaksanaan aksi, Soepardjo menemukan masalah yang tidak diatasi oleh pemimpin gerakan dan jajarannya. Efeknya sangat fatal berupa kemacetan dalam gerakan.
“Semua kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak makan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam,” tulis Soepardjo. Sudah pasti hal itu disebabkan, menurut Soepardjo, “tiada pembagian kerja.”
Soepardjo dikenal sebagai ahli teori militer. Dia bahkan punya firasat G30S bakal gagal, tetapi dia tetap ikut serta dengan segala risikonya. Laki-laki kelahiran Gombong, 23 Maret 1923 ini, menurut catatan Julius Pour dalam Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul (2011), termasuk calon bintara Angkatan Laut Jepang (Kaigun) dalam sekolah pelayaran di Cilacap bersama Pahlawan Nasional Slamet Rijadi dan Menteri Orde Baru Sudomo.
Setelah Indonesia merdeka, Soepardjo ikut Republik dengan jadi tentara yang ikut melawan tentara Belanda. “Ia mencegat kereta api, diam-diam menaikkan tiga ratus prajurit ke gerbong-gerbongnya, dan selanjutnya mengejutkan pasukan Belanda yang jauh lebih besar ketika kereta api itu lewat dekat kubu pertahanan mereka,” tulis John Roosa.
Setelah tentara Belanda angkat kaki, dia terus berkarier di militer. “Sebagai komandan distrik militer di Jawa Barat pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, ia memainkan peranan sangat penting dalam perang pengikisan,” tulis John Roosa.
Disimpulkan sebagai serdadu yang doyan teori, Soepardjo adalah perwira militer berpengalaman. Dan G30S pun jadi pengalaman militer terburuk dalam hidupnya. Gagalnya G30S membuatnya jadi incaran Operasi Kalong.
Meski dalam kejaran aparat, dia masih sempat menulis sebab-sebab kegagalan G30S. Menurut John Roosa, “Dokumen itu dimaksudkan untuk dibaca orang-orang yang mempunyai hubungan dengan G30S agar mereka dapat belajar dari kesalahan yang mereka lakukan.”
Harapan itu mustahil terealisasi. Pertama, karena Letnan Kolonel Untung sudah keburu dieksekusi. Kedua, tokoh-tokoh gerakan lain banyak yang sudah ditahan di tempat berbeda-beda.
Soepardjo baru ditangkap pada 12 Januari 1967 dalam Operasi Kalong di sekitar Jakarta Timur. Buku Soepardjo Direnggut Kalong (1967) yang disusun M. Nurdin A.S. menyebut: "Brigadir Jenderal Soepardjo setelah 15 bulan jadi buronan, akhirnya petualang itu ada awal dan akhirnya, yaitu dengan tertangkapnya dia pada satu Hari Raya Idul Fitri 1386 Hijriah, hari kamis tanggal 12 Januari 1967 jam 05.03 pagi, dekat sumur maut Lubang Buaya."
Lebaran 1967 adalah lebaran terakhir Soepardjo. Dari sisi waktu, penangkapan Soepardjo mirip dengan penangkapan Pangeran Diponegoro: di hari lebaran.
Anggota TNI dengan NRP 11867 ini diadili dua bulan setelah ditangkap. Vonis untuknya adalah: mati. Akhir hidup Soepardjo terekam dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno (1995).
Beberapa orang mengenangnya dengan baik. Oei, misalnya, mengenang Soepardjo sebagai sosok yang ”sangat mengesankan, jantan, benar-benar bermutu jenderal, namun tetap sopan, ramah kepada siapa pun”.
Soepardjo tak mau diperlakukan berbeda dengan tahanan lain meski dia jenderal. Selain itu, Soepardjo suka berbagi makanan dengan tahanan lain. Kenang-kenangan kepada keluarganya hanyalah sepasang sepatu. Begitupun makanan terakhirnya.
Dalam acara makan malam bersama, dia berkata: ”Kalau saya malam nanti menemui ajal saya, ajal Saudara-Saudara tak diketahui kapan. Itu perbedaan saya dengan kalian.”
Tak lupa dia menyanyikan 'Indonesia raya', seperti halnya Amir Sjarifuddin menjelang dieksekusi pada 1948. Bedanya dengan Amir: beberapa jam menjelang eksekusi mati, dari dalam selnya, Soepardjo sempat mengumandangkan azan.
Sebelum mengisi jabatan itu, Soepardjo pernah belajar setahun di Sekolah Staf Tentara Pakistan di Quetta. Menurut Victor M. Fic dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi (2005), ia adalah “mantan Komandan Resimen Divisi Siliwangi, yang ditempatkan di Jawa Barat […] Pada awal 1965 Soepardjo telah digeser dari pos ini karena aktivitasnya dianggap memberontak dan pro komunis.”
Hari itu, Soepardjo begitu ngebet ingin kembali ke Jakarta. Menurut catatan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008), Soepardjo pulang mendadak setelah mendapat pesan radiogram dari istrinya bahwa anak bungsunya sakit keras dan kritis.
Menurut catatan Hendro Subroto dalam Dewan Revolusi PKI (1997), di bandar udara Pontianak, bertemulah Soepardjo dengan Chalimi Imam Santoso, komandan Batalyon I Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang juga akan ke Jakarta.
Santoso bertanya: “Loh, katanya Pak Pardjo akan kembali ke Bengkayang, mengapa malah di sini?”
Soepardjo hanya menjawab ada panggilan mendadak di Jakarta. Setiba di Jakarta, Soepardjo ikut serta kendaraan yang juga menjemput Mayor CI Santoso. Saat itu sudah memasuki akhir September, tepatnya 28 September 1965.
Setelah di Jakarta, Soepardjo melaporkan diri kepada atasannya di Kolaga, Marsekal Omar Dhani. Menurut John Roosa, Soepardjo melapor bahwa dia akan kembali ke Kalimantan sebelum 1 Oktober 1965. Namun, Omar Dhani minta Soepardjo bertahan di Jakarta hingga 3 Oktober 1965. Selain bertemu Omar Dani, Soepardjo langsung menuju rumah Sjam Kamaruzaman hanya beberapa jam setelah mendarat. Sjam dianggap sebagai orang PKI dan intel tentara.
Soepardjo pun jadi satu-satunya jenderal dari Angkatan Darat yang duduk dalam pimpinan Gerakan 30 September 1965 (G30S) itu. Walau jenderal, bukan dia yang menjadi pemimpin G30S, melainkan seorang Letnan Kolonel yang hanya dipandang sebagai jago tempur tapi secara ilmu kemiliteran di bawah Soepardjo. Letnan Kolonel Untung, si penerima Bintang Sakti atas aksinya di Irian Barat, yang menjadi pemimpin gerakan itu. Begitu pun dalam Dewan Revolusi yang diumumkan pada 1 Oktober 1965, Untung menjadi Ketua Dewan, sementara Soepardjo hanya jadi Wakil Ketua Dewan.
Di dalam gerakan itu, Soepardjo menjadi perwira yang banyak mengamati bagaimana pergerakan pasukan penculik. Karena itulah Soepardjo dapat melihat sejumlah kekurangan dalam gerakan itu. Mulai dari terlihat lelahnya tokoh-tokoh penting gerakan seperti Untung.
“Kawan Untung tiga hari berturut-turut mengikuti rapat-rapat Bung Karno di Senayan dalam tugas pengamanan,” tulis Soepardjo dalam dokumen yang dijuduli Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnya G30S Dipandang Dari Sudut Militernya (1966).
Selain itu, beberapa pasukan mengaku siap bergerak tapi nyatanya tidak. Terkait Hari-H pelaksanaan aksi, Soepardjo menemukan masalah yang tidak diatasi oleh pemimpin gerakan dan jajarannya. Efeknya sangat fatal berupa kemacetan dalam gerakan.
“Semua kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak makan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam,” tulis Soepardjo. Sudah pasti hal itu disebabkan, menurut Soepardjo, “tiada pembagian kerja.”
Soepardjo dikenal sebagai ahli teori militer. Dia bahkan punya firasat G30S bakal gagal, tetapi dia tetap ikut serta dengan segala risikonya. Laki-laki kelahiran Gombong, 23 Maret 1923 ini, menurut catatan Julius Pour dalam Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul (2011), termasuk calon bintara Angkatan Laut Jepang (Kaigun) dalam sekolah pelayaran di Cilacap bersama Pahlawan Nasional Slamet Rijadi dan Menteri Orde Baru Sudomo.
Setelah Indonesia merdeka, Soepardjo ikut Republik dengan jadi tentara yang ikut melawan tentara Belanda. “Ia mencegat kereta api, diam-diam menaikkan tiga ratus prajurit ke gerbong-gerbongnya, dan selanjutnya mengejutkan pasukan Belanda yang jauh lebih besar ketika kereta api itu lewat dekat kubu pertahanan mereka,” tulis John Roosa.
Setelah tentara Belanda angkat kaki, dia terus berkarier di militer. “Sebagai komandan distrik militer di Jawa Barat pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, ia memainkan peranan sangat penting dalam perang pengikisan,” tulis John Roosa.
Disimpulkan sebagai serdadu yang doyan teori, Soepardjo adalah perwira militer berpengalaman. Dan G30S pun jadi pengalaman militer terburuk dalam hidupnya. Gagalnya G30S membuatnya jadi incaran Operasi Kalong.
Meski dalam kejaran aparat, dia masih sempat menulis sebab-sebab kegagalan G30S. Menurut John Roosa, “Dokumen itu dimaksudkan untuk dibaca orang-orang yang mempunyai hubungan dengan G30S agar mereka dapat belajar dari kesalahan yang mereka lakukan.”
Harapan itu mustahil terealisasi. Pertama, karena Letnan Kolonel Untung sudah keburu dieksekusi. Kedua, tokoh-tokoh gerakan lain banyak yang sudah ditahan di tempat berbeda-beda.
Soepardjo baru ditangkap pada 12 Januari 1967 dalam Operasi Kalong di sekitar Jakarta Timur. Buku Soepardjo Direnggut Kalong (1967) yang disusun M. Nurdin A.S. menyebut: "Brigadir Jenderal Soepardjo setelah 15 bulan jadi buronan, akhirnya petualang itu ada awal dan akhirnya, yaitu dengan tertangkapnya dia pada satu Hari Raya Idul Fitri 1386 Hijriah, hari kamis tanggal 12 Januari 1967 jam 05.03 pagi, dekat sumur maut Lubang Buaya."
Lebaran 1967 adalah lebaran terakhir Soepardjo. Dari sisi waktu, penangkapan Soepardjo mirip dengan penangkapan Pangeran Diponegoro: di hari lebaran.
Anggota TNI dengan NRP 11867 ini diadili dua bulan setelah ditangkap. Vonis untuknya adalah: mati. Akhir hidup Soepardjo terekam dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno (1995).
Beberapa orang mengenangnya dengan baik. Oei, misalnya, mengenang Soepardjo sebagai sosok yang ”sangat mengesankan, jantan, benar-benar bermutu jenderal, namun tetap sopan, ramah kepada siapa pun”.
Soepardjo tak mau diperlakukan berbeda dengan tahanan lain meski dia jenderal. Selain itu, Soepardjo suka berbagi makanan dengan tahanan lain. Kenang-kenangan kepada keluarganya hanyalah sepasang sepatu. Begitupun makanan terakhirnya.
Dalam acara makan malam bersama, dia berkata: ”Kalau saya malam nanti menemui ajal saya, ajal Saudara-Saudara tak diketahui kapan. Itu perbedaan saya dengan kalian.”
Tak lupa dia menyanyikan 'Indonesia raya', seperti halnya Amir Sjarifuddin menjelang dieksekusi pada 1948. Bedanya dengan Amir: beberapa jam menjelang eksekusi mati, dari dalam selnya, Soepardjo sempat mengumandangkan azan.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar