ilustrasi: Karl Marx [militan.org]
Seiring dengan memanasnya isu kebangkitan PKI di Indonesia, maka perang narasi antara kelompok yang anti terhadap PKI atau komunisme secara umum, dengan kelompok pendukung komunisme semakin meruncing. Kelompok anti komunisme yang umumnya berasal dari kaum beragama dan konservatif memandang komunisme merupakan ideologi berbahaya karena merupakan suatu ideologi anti Tuhan dan anti Agama yang memiliki tujuan untuk menghapuskan agama dari masyarakat. Hanya sebagian kecil dari kelompok anti komunis tersebut yang mengetahui bahwa cita-cita komunisme yang paling tinggi adalah kepemilikan bersama alat produksi oleh masyarakat serta terciptanya masyarakat tanpa kelas dimana tidak ada lagi bentuk penindasan oleh kelas pemodal terhadap kelas pekerja.
Sedangkan kelompok Pro Marxisme berpendapat bahwa Marxisme tidak serta merta anti agama karena mengusung materialism. Materialisme yang diusung Marx diartikan sebagai materialisme yang bersifat ilmiah dan sebagaimana metodologi ilmiah lainnya, sudah sepantasnya agama dipisahkan dari ranah tersebut. Menurut mereka, adalah suatu kewajaran untuk memisahkan agama dan ilmu pengetahuan, karena metode ilmiah yang digunakan dalam analisis teori ekonomi seperti yang dilakukan Marx merupakan ranah keilmuan yang harus memiliki basis argumentasi ilmiah dan terbuka pada kritik, berbeda dengan agama yang berbasis pada kalam illahi yang tidak dapat dikritik.
Lalu apakah alasan tersebut membuat Marxisme menjadi tidak anti agama? pertanyaan ini akan kembali kepada hakikat sekulerisme. Apakah sekulerisme yang dianut Marx dalam analisis materialisme dialetikanya merupakan sesuatu yang anti agama? Seorang yang sekuler bisa saja menerima agama dalam ranah individu yang privat tetapi menafikkan peran agama dalam masyarakat. Maka apakah Marxisme anti agama? Jawabannya bergantung pada sudut pandang apakah hal ini dilihat. Apakah dari sudut pandang individu atau sosial.
Mari kita lihat statement Marx yang lain, yang secara jelas mengomentari agama:
“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people”[1]
Menurut Marx agama dapat melenakan masyarakat dari ketertindasan mereka. Dengan berpegang kepada agama, manusia akan lebih mudah untuk menerima kondisi mereka yang tertindas dan akan sulit untuk mencapai kesadaran kelas dimana ada ketertindasan kelas proletar oleh borjuis. Sedangkan cita-cita Marx sendiri adalah menciptakan masyarakat tanpa kelas. Lalu apakah Marx dapat menerima agama jika keberadaan agama sendiri menghalangi cita-cita tersebut? tentu saja tidak. Jadi, apakah Marx anti agama? Maka jawabannya adalah ya, Marx anti terhadap agama.
Lalu apakah kaum beragama harus menolak Marxisme karena Marx merupakan seorang yang anti agama? Perlu diingat bahwa Marxisme bukanlah agama yang memiliki aqidah dan bersifat fix dan final serta tidak dapat mengalami perkembangan. Selain itu, sebagai suatu gagasan buatan manusia, Marxisme dapat dikritik, dapat berkembang, dapat diterima sebagian, dan ditolak sebagian lainnya. Sepeninggalan Marx, Marxisme terus mengalami perkembangan dan pada perjalannya mengalami perkembangan dan interaksi yang positif dengan kaum beragama, salah satunya adalah bangkitnya teologi pembebasan yang lahir dari gereja-gereja katolik di Amerika Latin.
Dalam teologi pembebasan, keselamatan tidak hanya berupa pencarian keselamatan di Surga, tetapi harus dicapai pula di dunia melalui pencapaian masyarakat yang sejahtera dan setara. Selain itu, pada mahzab Frankfurt, gerakan kiri mulai mengenali bentuk ketertindasan lainnya selain kelas sosial yaitu ketertindasan budaya dan identitas kelompok. Sejak saat itu, hingga kini, gerakan kiri sangat berpihak kepada kaum muslimin karena mengaggap kaum musimin merupakan salah satu dari sekian banyak kelompok yang tertindas tersebut.
Mereka berniat untuk menyadarkan kaum tertindas, termasuk kaum muslimin mengenai kesadaran kelas dan semangat perjuangan revolusioner untuk membela kelas tertindas karena potensi yang dimiliki oleh massa kelompok tertindas tersebut. Massa yang besar dan memiliki kesadaran kelas ini diharapkan dapat bersama-sama melakukan revolusi untuk mencapai masyarakat tanpa kelas.
Menurut Lenin, sebuah masyarakat yang mencapai kesetaraan, kesadaran kelas, dan kesejahteraan komunal tidak akan lagi membutuhkan opium dalam bentuk agama sebagaimana mekanisme pelarian diri dari keteraniayaanya.
“It would be stupid to think that, in a society based on the endless oppression and coarsening of the worker masses, religious prejudices could be dispelled by purely propaganda methods. It would be bourgeois narrow-mindedness to forget that the yoke of religion that weighs upon mankind is merely a product and reflection of the economic yoke within society. No number of pamphlets and no amount of preaching can enlighten the proletariat, if it is not enlightened by its own struggle against the dark forces of capitalism. Unity in this really revolutionary struggle of the oppressed class for the creation of a paradise on earth is more important to us than unity of proletarian opinion on paradise in heaven.”[2]
Lenin menganggap bahwa masyarakat berpaling kepada agama karena ketertindasan ekonomi yang mereka alami. Menurut Lenin, menciptakan surga di dunia, dalam hal ini mencapai masyarakat tanpa kelas yang mendapatkan kesejahteraan dan kesetaraan, lebih penting daripada mengejar surga di akhirat yang semu.
Jadi apakah Marxisme anti terhadap agama? Walaupun Marx sendiri anti terhadap agama, namun dalam perkembangannya, gerakan Marxist ingin merangkul kaum beragama untuk bersama-sama berjuang merebut alat produksi dan menciptakan masyarakat tanpa kelas.
Sumber:
[1] Marx, Karl. 1844. A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right. Deutsch–Französische Jahrbücher Journal
[2] Lenin, V. I. “Socialism and Religion”. Lenin Collected Works, v. 10, p.83-87. Retrieved2014-11-09.
0 komentar:
Posting Komentar