20 September 2017 | Hendaru Tri Hanggoro
PKI dan TNI pernah saling membantu. Krisis politik 1959
pangkal ketegangan dan huru-hara 1965 merusak hubungan mereka selamanya.
Ali Sastroamidjojo, AH.
Nasution, Idham Chalid dan DN. Aidit di Istana Presiden di Jakarta, 1963.
SEBUAH bungalow berdiri anggun. Ia dikelilingi taman
bunga. Letaknya persis di pinggir jalan raya, di sudut tikungan jalan menuju
Ciloto sebelum jembatan memasuki kota Cipanas. Di tempat inilah PKI menggelar
Konferensi Nasional (Konfernas) tahun 1952, kali pertama sejak Aidit
mengambil-alih kepemimpinan partai.
Pukul tujuh malam, Konfernas untuk SC se-Jawa Tengah
resmi dibuka. Pidato pembukaan dan pengarahan disampaikan DN Aidit, sekjen CC
PKI. Dia mengemukakan perlunya konsolidasi dan langkah-langkah operasional di
bidang organisasi, ideologi, dan perluasan gerakan massa. Keesokan harinya,
dilakukan pembahasan laporan semua SC mengenai daerah masing-masing dan usul
pemecahannya.
Salah satu yang dibahas adalah gerilyawan Merapi Merbabu
Complex (MMC), sisa-sisa dari kekuatan bersenjata kiri. CC menginginkan agar para
gerilyawan MMC bergabung dengan kesatuan-kesatuan TNI. Alasannya, dalam keadaan
partai legal, tak mungkin membiarkan gerilyawan semacam MMC tetap eksis.
“Saya sebenarnya tidak begitu pas (sreg) dengan pendapat tersebut. Tapi pada tingkat kemampuan saya waktu itu, saya tidak punya argumentasi teoritik yang cukup kuat dan mendalam untuk memberikan alternatif dan pendapat lain ke CC,” ujar Siswojo dalam memoarnya Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri.
Tiga Bentuk
Perjuangan
Di bawah Aidit, PKI lebih percaya pada perjuangan melalui
jalur parlemen dan penguatan massa ketimbang meneruskan perjuangan bersenjata.
Anggota laskar bisa memilih lebur ke partai atau masuk TNI. Dan bila mereka
memilih masuk TNI, pemimpin komunis meminta mereka harus tetap menjalin kontak
dengan PKI.
PKI menilai hubungan dengan TNI sangat penting. Anggota
TNI bagian dari kekuatan revolusi. Mereka berasal dari rakyat dan menjadi
anak-anak rakyat. Mereka punya daya hantam melawan imperialisme dan
kapitalisme. Anggota TNI juga bagian dari kelas tertindas serupa buruh dan
tani. Mereka perlu pendidikan politik tentang kesadaran kelas. Maka, PKI
mendorong tentara melek politik dan berperan di dalamnya agar mereka tak
menjelma jadi “budak-budak imperialis, alat penjaga kekayaan imperialis, tukang
pukul, dan algojo daripada rakyat,” tulis Aidit dalam “Tentara dan Politik”,
termuat di Bintang Merah, Januari 1951.
Gagasan Aidit perihal TNI berlanjut masuk ke sidang pleno
CC PKI pada 1954. Sidang ini menghasilkan rumusan Metode Kombinasi Tiga Bentuk
Perjuangan (MKTBP), yang menempatkan tentara setara dengan buruh dan tani.
Tak semua kader PKI menerima MKTBP. Siswoyo menilai
tentara adalah alat borjuasi. Menyejajarkan tentara dengan buruh dan tani sama
saja dengan mengaburkan konsep kelas. Tapi Aidit mengemukakan fakta banyak
anggota partai mendekam di TNI. Jika partai mengabaikan fakta ini, berarti
partai meninggalkan pula sebagian kekuatan revolusionernya. Gagasan Aidit
menang. Ia resmi masuk sebagai salah satu program partai melalui Kongres tahun
1959 –teori yang kemudian terbukti keliru.
Menurut Rex Mortimer, TNI terutama Angkatan Darat tak
bisa membiarkan dirinya larut ke dalam karakteristik rapi kategori kelas atau
front persatuan nasional yang diusung PKI. “Kepemimpinan Angkatan Darat di
Indonesia bukan hanya mengambil posisi politik yang independen dari pemerintah,
namun sejauh bersinggungan dengan PKI, pandangan mereka cukup reaksioner,”
tulis Mortimer dalam Indonesian Communism Under Soekarno.
Angkatan Darat (AD) mulai memainkan peranan penting dalam
politik nasional setelah pengesahan hukum darurat perang (SOB) pada Maret 1957.
Kegaduhan politik yang berlarut-larut di Konstituante membuka jalan bagi AD
untuk memperkokoh posisinya. Dengan dorongan AD, Presiden Sukarno mengeluarkan
Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD
1945. Permintaan PKI untuk mengadakan pemilu ulang buyar. Dengan terpaksa PKI
mendukung Dekrit Presiden.
Dengan dalih SOB pula, AD berusaha membatasi kegiatan
politik. Termasuk pelaksanaan Kongres PKI di Jakarta. Berkat campur tangan
Sukarno, Kongres PKI pun berlangsung.
Dalam laporannya kepada Kongres, Aidit menyentil tentara.
Menurutnya, kekuasaan militer memiliki segi positif, terutama di daerah-daerah
bergolak. Namun ada sisi negatifnya seperti pengekangan hak-hak demokrasi atau
campur tangan sejumlah perwira dalam perekonomian hingga politik.
“Pada waktu-waktu yang diperlukan PKI dan rakyat bisa memberikan kekuasaan sampai batas-batas tertentu kepada Angkatan Perang yang patriotik, selama kekuasaan ini tidak disalahgunakan,” ujar Aidit.
Angkatan Kelima
Untuk membendung pengaruh TNI, Aidit memanfaatkan
posisinya sebagai menteri koordinator dan wakil ketua MPRS. Dia mengkampanyekan
Manifesto Politik, Undang-Undang Dasar 1945, Sosialime, Ekonomi, dan Demokrasi
Terpimpin (Manipol-USDEK) ala Sukarno dan mendukung habis-habisan
“Nasakomisasi” seluruh elemen masyarakat, termasuk TNI.
Sukarno senang dengan sikap Aidit. Maka dia menjadi lebih
dekat ke PKI. Bahkan Sukarno mewajibkan seluruh elemen masyarakat mengenyahkan
komunisme-fobia. Tak mau berkonfrontasi dengan Sukarno, TNI terpaksa turut
mengkampanyekan Manipol dan seolah berupaya mewujudkan Nasakom
(Nasionalis-Agama-Komunis) dalam hidup keseharian di Angkatan Bersenjata.
Indikasi ini terlihat dari undangan mereka kepada Aidit untuk berceramah di
hadapan perwira dari empat Angkatan Bersenjata: Kepolisian, Udara (AURI),
Darat, dan Laut (ALRI).
Sepanjang 1962-1964, Aidit menjelaskan bagaimana
seharusnya hubungan PKI dan Angkatan Bersenjata. Menurutnya, PKI dan Angkatan
Bersenjata tak perlu bermusuhan.
“Yang menghendaki permusuhan PKI dan ABRI adalah orang-orang yang otak dan hatinya telah berdaki-berkarat tak dapat menyesuaikan diri dengan Manipol-USDEK,” kata Aidit kepada perwira dan siswa Sekolah Staf Angkatan Udara (Seskoau) pada 17 Maret 1964, dikutip Harian Rakyat, 23 Maret 1964.
Kepada para kader PKI, Aidit meminta menjauhkan sikap
antimiliter. PKI perlu orang-orang dari militer. Mereka sadar partai dengan
mudah dikalahkan andaikata terjadi adu kekuatan. Maka, Aidit membentuk Biro
Chusus (BC) yang langsung di bawah arahannya.
“Untuk menumbuhkan dukungan di kalangan militer,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal.
Pada 14 Januari 1965, dalam sebuah pertemuan dengan
Sukarno dan pemimpin Nasakom, Aidit mengusulkan agar pemerintah mempersenjatai
massa buruh dan tani. Alasannya, demi menghadapi serangan pasukan Inggris dalam
masalah konfrontasi dengan Malaysia. Karuan pemimpin AD dan ALRI menentang
keras. Kepolisian memilih berhati-hati. AURI mendukung.
Usul itu kemudian berkembang jadi isu Angkatan Kelima.
Pemimpin AD dan ALRI bertekad menggagalkannya tapi kemudian terganggu oleh
konflik internal ALRI. Ketegangan akhirnya mengerucut PKI lawan AD.
Huru-hara 1965 menjadi puncak ketegangan PKI dan TNI-AD.
Dalam pandangan AD, PKI adalah dalang. Sebaliknya, PKI menilai oknum jenderal
di AD sebagai penyebabnya. Kekuasaan Sukarno melemah, sedangkan AD menguat.
Sehingga mudah bagi mereka untuk menyingkirkan PKI selama-lamanya dalam ranah
kekuasaan di Indonesia.
Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar