22 September 2017
16:48 - Reza Nurrohman
img01220-20130312-1222-59c4dc309002c1496049e862.jpg
"Jawa adalah
kunci!"
Itulah slogan film PKI yang sekaligus
menggambarkan fakta tragis PKI yang lahir dan mati di Jawa. Apabila PKI fokus
pada daerah luar Jawa, tentu sejarah Indonesia akan
lain ceritanya. Begitulah komentar akademisi John Roosa terhadap petualangan
PKI dalam sejarah Indonesia.
Ketika PKI dibubarkan pada tahun 1966 sebagai buntut
tragedi 1965 pengganti Aidit yang ditembak mati tidak patah arang. Pimpinan PKI
yang tersisa seperti Sudisman dan Rewang memutuskan untuk mengubah strateginya.
Selama 1966, Sudisman membuat strategi baru yang didasarkan pada prinsip
perjuangan bersenjata.
Taktik militer gerilya yang
disusun sisa-sisa PKI yang selamat memutuskan melakukan hijrah ke desa-desa
dengan pusat komando Blitar Selatan untuk menjalankan strategi ala Mao dari
Partai Komunis Cina yaitu strategi desa mengepung kota. Sejarah militer
mencatat inilah pertama kalinya perang antigerilya dijalankan TNI dan operasi
militer pertama Presiden Suharto untuk menumpas Komunis Gaya Baru bernama Tri
Sula dengan Pagar Betis.
Menurut versi pemerintah dan militer Indonesia, partai
terlarang PKI baru mulai membentuk basis komunis gaya baru atau kompro (Komite
Proyek Basis) di Blitar Selatan pada Oktober 1967. Gerakan itu adalah upaya
terakhir untuk membangun perlawanan saat hampir semua anggota PKI mendekam di
penjara atau tergeletak tewas dalam kuburan-kuburan massal. Mereka yang selamat
dari represi di Jawa kemudian berkumpul di Blitar Selatan pada 1966-67, karena
daerah itu sangat terpencil dan sulit ditembus oleh militer. Ada beberapa
penduduk setempat yang membantu menyediakan makanan dan tempat berteduh.
Blitar Selatan adalah sebuah kecamatan di wilayah
Kabupaten Blitar, yang lama dikenal sebagai daerah miskin di Jawa Timur.
Sebelum 1965, Blitar Selatan adalah daerah yang terbelakang dan tidak banyak
diperhatikan. Di zaman Belanda pun perkebunan besar tidak menjangkau wilayah
ini, dan sepertinya sengaja dibiarkan terbengkalai. Beberapa pejabat bahkan
menyebutnya sarang perampok yang sulit dan memang tidak perlu dijangkau. Banyak
terjadi misteri pada daerah ini dari mulai pelarian, pemberontakan sampai
kisah-kisah mistis.
Setelah pasukan Belanda pergi dan Indonesia mendapatkan
kemerdekaan penuh, tetap tidak ada kekuatan politik lain yang tekun
bekerja di Blitar Selatan, kecuali organisasi gerakan kiri. Salah satu
organisasi yang terpenting adalah BTI yang mayoritas anggotanya adalah kaum
tani miskin.
Di Blitar Selatan, organisasi itu disambut karena
bertujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani. Bagi orang kebanyakan, PKI
mempunyai daya tarik karena memang tidak ada partai lain yang berhubungan erat
dengan ormas-ormas, seperti Gerwani, BTI, Lekra, dan Pemuda Rakyat, yang
bekerja sampai ke pelosok-pelosok desa.
Berita tentang tragedi 1965 menyebar dengan cepat, tapi
tidak ke Blitar Selatan.
Daerah itu dalam kesehariannya sangat terlambat menerima
berita dari kota lain, apalagi dari Jakarta yang letaknya sangat jauh. Otomatis
pelarian PKI semakin aman berkumpul di daerah ini dan melakukan perlawanan
terakhirnya dengan segenap kekuatan seperti layaknya organisasi militan yang
siap mati.
Saat memutuskan akan menggelar operasi anti-PKI di Blitar
Selatan, Angkatan Darat membawa serta sejumlah milisi sipil dari luar Blitar
karena tak ada rakyat yang mau membantu.
Awalnya, operasi itu terarah khusus pada anggota PKI dan
orang yang diduga berafiliasi dengan partai tersebut. Tapi lama-lama banyak
orang yang tidak punya kaitan apa pun dengan kegiatan politik menjadi sasaran.
Banyak kasus pertengkaran yang kemudian berlanjut menjadi pembantaian ketika
salah satu pihak mendapat legitimasi dengan mencap lawannya sebagai komunis
gaya baru.
Para pemimpin operasi pembersihan ini kadang menetapkan
target jumlah orang yang harus mereka habisi sebagai bukti keberhasilan. Orang
Tionghoa juga menjadi sasaran karena selama ini dianggap menyokong PKI dan
berhubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok.
Komunis gaya baru atau sisa PKI yang bergabung di Blitar
Selatan umumnya adalah aktivis mahasiswa, buruh, petani, pemuda, dan perempuan
yang lolos dari pembantaian 1965 dan masih terus dicari penguasa. Mereka yang
berhasil menghindari penangkapan atau hanya ditahan sebentar mulai lelah main
kucing-kucingan dengan militer.
Di kota-kota mereka harus senantiasa waspada agar tidak
dikenali oleh informan militer, termasuk oleh anggota partai yang berkhianat
karena disiksa dan diancam militer. Ada juga serdadu militer yang khawatir akan
ditangkap, meninggalkan pasukannya, dan lari ke Blitar Selatan.
Penduduk dengan mudah menerima para pelarian dan
berinteraksi karena memang mengenal sebagian sebagai mantan anggota Laskar
Rakyat atau aktivis yang berkunjung ke tempat mereka. Namanya juga orang Jawa
kalau sudah dekat mengingat jasa PKI pada daerah mereka sudah seperti saudara
kandung sendiri.
Taktik perlawanan PKI dengan sistem organisasi yang
tertutup ini dipilih untuk melindungi jaringan komite proyek jika ada salah
satu anggota yang tertangkap. Orang-orang PKI tak kenal siapa komandan dan
bawahan seperti teroris masa kini pakai sistem sel. Sebaliknya, pihak militer
dalam terbitannya mengenai Operasi Trisula selalu menggambarkan bagan
organisasi dengan jelas seolah memang ada susunan yang pasti dan berjalan
efektif.
Keberhasilan PKI bersatu pada dengan rakyat Blitar sampai
menyulitkan militer,keadaan tersebut dapat menimbulkan frustrasi di kalangan
pasukan, sehingga dalam salah satu briefing (pemberian petunjuk singkat),
Pangdam VIII/Brawijaya mengatakan bahwa rakyat di daerah operasi satuan tugas
harus dianggap sebagai lawan.
Dan ditegaskan lagi dalam catatan tambahan rencana operasi, "Yang sebenarnya kita hadapi adalah daya tempur lawan termasuk rakyat seluruh Blitar Selatan yang mutlak membantu gerombolan bersenjata G-30-S/PKI dan bukan detasemen gerilya PKI saja."
Awal kontak senjata atau perang, militer maupun pers
menganggap aksi-aksi ini sebagai tindak kriminal biasa. Tapi ketika aksi itu
semakin meluas dan berkembang menjadi penyergapan dan pelucutan senjata di pos
militer serta pabrik yang dijaga oleh militer, sikap ini pun berubah.
Di pihak detasemen gerilya, aksi-aksi itu meningkatkan
semangat dan juga menambah beberapa pucuk senjata, serta menjadi alasan untuk
melanjutkannya.
Walaupun PKI bermaksud melancarkan perjuangan bersenjata,
kenyataannya mereka hanya menunda kematian atau penangkapan saja.
Sebagian besar pemimpinnya, seperti Oloan Hutapea, tewas
dibunuh sementara lainnya disekap di penjara selama belasan sampai puluhan
tahun.
Mereka yang dianggap 'terlibat'oleh sesama tahanan
disebut 'pasukan gundul'dikerahkan untuk bekerja di proyek-proyek pembangunan
pemerintah dan terus mengikuti indoktrinasi tentang kejahatan dan kekejian PKI.
Di antara 'pasukan gundul' juga terdapat penduduk yang tidak punya kaitan apa
pun dengan gerakan perlawanan. Sebagian dari mereka menerima upah yang sangat
kecil jumlahnya.
Sekarang untuk mengenang perang Blitar antara PKI dan
Militer maka didirikanlah Monumen Trisula sebagai lambang kemenangan atas pihak
yang kalah.
0 komentar:
Posting Komentar