Bondan Maulana Wahono | 15:42 WIB - Rabu, 27 September 2017
Keterangan Gambar : Paduan Suara Dialita saat tampil di Pusat Kebudayaan
Belanda, Erasmus Huis, Jakarta, 2016.
Sejak terbentuk pada Desember 2011, Dialita tak henti menampilkan lagu-lagu
yang lama 'terkubur' sebagai upaya merawat ingatan dan menggerus trauma.
Siang 16 September 2017, lebih dari selusin perempuan berhimpun di kediaman
Tuti Martoyo. Mereka di sana demi melatih suara. Usia sebagian besar peserta
olah vokal itu lebih dari setengah abad.
Di meja 'ruang latihan' tersaji pisang rebus dan rupa-rupa gorengan.
Penganan itu lazim terbit dalam pertemuan rutin seperti arisan atau rapat
tetangga. Tapi, jamu dalam botol bekas sirup berukuran setengah liter agaknya
bukan suguhan galib.
Apalagi kalau bahan utamanya bawang putih tunggal.
"Saya bikin sendiri," ujar Tuti mengenai minuman pengencer darah
dimaksud. Perempuan 68 tahun itu pernah tergabung di Paduan Suara Gembira
pimpinan Subronto K. Atmodjo.
Pada 1950-1960an, Subronto populer di jagat musik Indonesia. Tapi, dia
dicampakkan ke Pulau Buru setelah pulang dari studi di Akademi Musik Hanns
Eisler, Jerman Timur.
"Biasanya saya juga jual ke orang," kata Tuti lagi mengenai
produk bercampur madu dan cuka apel tersebut.
Di tangannya kertas berisi notasi angka sebuah lagu berjudul
"Relakan" karya Zubaidah Nungtjik A.R. yang berbirama tiga per empat.
Tuti mengambil jeda berlatih sejenak untuk bercerita kepada saya tentang gita
yang liriknya ditulis Sudiami Kancil.
"Ini lagu dibuat karena waktu itu mereka enggak tahu akan dibawa ke
mana atau akan diapakan," ujarnya.
"Relakan" tercipta di dalam Penjara Perempuan Bukit Duri pada
masa peristiwa kemanusiaan pasca-September 1965. Syairnya sungguh menyuratkan
awan gelap ketidakpastian dimaksud:
Diiringi senyum dan lambaian tangan/kawan kulangkahkan kakiku, kakiku/dan
kutinggalkan deretan terali besi/Sekian lama kita bersama/suka duka kita
alami/Kini slamat tinggal kawan/entah kemana daku pergi, kemana/relakan
relakan.
Dari seberang Tuti, Utji Kowati Fauzia berseru: "Pokoknya harus hafal
dulu." Perempuan 65 tahun itu ketua para penyanyi yang tengah berkumpul.
Sambil menyimak interupsi Utji, mata para peserta latihan mematuk kertas
notasi. Bibir mereka tak henti bergerak, dengan atau tanpa suara.
Siang itu, mereka berulang-ulang menyanyikan "Relakan", yang
merupakan hasil aransemen ulang Martin Lapanguli--pria lulusan Sekolah Musik
Yogyakarta yang diasingkan ke Pulau Buru.
Soalnya jelas: ada bagian dinamik nada lumayan menantang, yakni kata kembar
"relakan...relakan". Kesukaran sebegitu akhirnya bikin Tuti mengaso.
Suasana latihan Dialita, Sabtu (16/9).© Bismo Agung Sukarno /Beritagar.id
Menurut Utji, beberapa hari usai latihan, lagu "Relakan" sempat
bikin Utati Koesalah--salah satu perintis paduan suara itu--senantiasa menangis
kala mendendangkannya.
Penyebab lelehan air mata teraba ketika saya menemuinya di rumahnya di
kawasan Depok. "Lagu itu untuk rombongan pertama itu," kata Utati, 73
tahun, pada 20 September.
Rombongan dimaksud mengacu kepada para tahanan politik Bukit Duri yang
dipindahkan ke Kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah.
Utati istri mendiang penerjemah sejumlah novel Rusia cum penulis,
Koesalah Soebagyo Toer, yang juga eks tahanan politik. Dia menghuni Penjara
Perempuan Bukit Duri pada 1967-1978.
Tentara meringkus Utati saat dia berusia 23 tahun. Ada yang asal sebut
namanya dan menunjukkan rumahnya kepada otoritas.
Saat ditangkap, perempuan kelahiran Purworejo pada 1944 itu anggota Pemuda
Rakjat (PR), organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia bergiat di
sanggar kesenian PR karena ingin belajar menari.
Layaknya banyak tahanan politik 1965 lain, Utati tak pernah diadili.
"Padahal saya enggak ngerti apa-apa. Politiknya juga enggak
ngerti," ujar perempuan yang pernah berperan sebagai Dewi Mustakaweni
dalam sebuah pentas tari PR.
Utati tak sendiri menceritakan masa lalunya kepada Beritagar.id.
Bersamanya di Depok pagi itu, Mudjiati, 69 tahun.
Meski lebih muda dari Utati, Mudjiati masuk Penjara Bukit Duri lebih dulu.
Usianya masih 17 tahun. Almanak menebalkan angka 1966. Dia mendekam di sana
hingga 1971. Pada sekitar Juli 1971, dia dibuang ke Plantungan hingga akhir
1979.
"Saya gelombang kedua" yang dikucilkan ke Plantungan, kata
Mudjiati. "Di sana kami dipanggil dengan nomor (tahanan)," ujarnya
seraya menambahkan angka yang tersemat padanya adalah 358.
Menurut Utati dan Mudjiati, rombongan pertama tak mendapatkan pemberian
tahu mengenai tujuan berikut setelah dipindahkan dari Bukit Duri.
Karena itu, penulis lirik, Sudiami, memajang kata-kata "entah kemana
daku pergi" pada lagu "Relakan".
Sementara, ketika gelombang kedua pemindahan terjadi, Komandan Plantungan
datang ke Bukit Duri dan menjanjikan keadaan lebih baik di daerah sejuk tepi
sungai itu.
Zubaidah sang pencipta "Relakan" tergolong rombongan pertama
bersama Sudiami dan "berangkat sekitar April 1971," kata Utati.
Utati tak banyak mengetahui riwayat hidupnya. Dia cuma mafhum Zubaidah
kerap bernyanyi sendiri di sel usai malam turun. "Dia suka seriosa,"
ujarnya.
Selain menyanyi, Zubaidah piawai memainkan angklung, alat musik yang
ditemukan secara tak sengaja di gudang narapidana Bukit Duri. (Saat itu,
Penjara Bukit Duri menampung tahanan politik dan narapidana).
Suasana latihan Dialita pada Sabtu (16/9).© Bismo Agung Sukarno
/Beritagar.id
Jika mendapat waktu pas, Zubaidah menularkan keahlian berangklung itu
kepada sejumlah rekan tahanan. Tapi, karena petugas mengharamkan kegiatan di
sel, latihan berlangsung di kantor penjara.
Zubaidah jamak menyemai bibit lagu ciptaannya pada siluet kersen,
satu-satunya pohon di halaman dalam Penjara Bukit Duri. Lewat senandung, calon
lagu tak ragu menjadi.
Dengan cara itulah "Tetap Senyum Menjelang Fajar" menemukan
bentuknya. Lagu itu pun menyebar dari sel ke sel karena acap kali dinyanyikan
kepada perempuan tahanan yang tengah berulang tahun.
"Liriknya dibuat oleh Masye Siwi," ujar Utati. "Kalau kita
ingat tanggalnya (ulang tahun rekan tahanan), kami datang ke selnya
pagi-pagi," katanya.
Dalam hemat Utati, menyanyikan lagu ulang tahun biasa sungguh tidak selaras
dengan kondisi di penjara.
Bukan bunga indah mewangi/atau dupa harum setanggi/tapi salam penuh
kasih/kuantar padamu kini, begitu petikan "Tetap Senyum Menjelang
Fajar". Utati bertutur, banyak sesama tahanan politik di Bukit Duri masih
ingat lagu itu karena termasuk tembang pertama yang 'mewarnai' kehidupan keras
dan menjemukan di Bukit Duri.
Di Bukit Duri pula lagu 'ulang tahun' kedua, "Salam Harapan",
dilahirkan. Nama Murtiningsih dan Zubaidah punya andil.
Sebelum Dialita, nama paduan suara ini, terbentuk pada 4 Desember 2011, dua
lagu itu, plus "Awan Putih" karya Bachtiar Siagian--peraih gelar
Sutradara Terbaik Pekan Apresiasi Film Nasional 1960--sering dinyanyikan dalam
beragam kesempatan.
Masa yang mengubah jalan hidup
Namun, bukan hal mudah bagi individu seperti Utji, Utati, dan Mudjiati
untuk menampilkan kediriannya secara utuh ke muka khalayak luas sebelum Dialita
resmi berdiri.
Pokok perkaranya jelas. Rezim Suharto menyatakan PKI bertanggung jawab atas
gerakan 30 September; bahwa partai tersebut memimpin atau mengorganisasikan
gerakan dimaksud.
Di kemudian hari, cap hitam tak sungkan diterakan kepada siapa pun yang
masa lalunya bersenggolan dengan PKI atau pelbagai onderbouw-nya.
Utji Kowati Fauzia ketika menerima Beritagar.id di rumahnya di Pamulang,
Selasa (19/9).© Bismo Agung Sukarno /Beritagar.id
Utji, yang namanya sering ditulis sebagai Uchi, mengalami stigmatisasi itu.
Menurutnya, baru pada Minggu (17/9) orang-orang dekatnya dari Kroya sudi
mengunjungi rumahnya di Pamulang.
"Banyak sekali, mungkin sampai sekitar 30 orang," katanya
menaksir jumlah tamu. "Buat saya itu sesuatu yang baru dan membuat
adem".
Dia lalu menyinggung kebiasaan dopokan ala banyumasan--secara
lentur berarti mengobrol. Tradisi itu menurutnya sanggup membuka setapak
rekonsiliasi di kalangan awam.
Saat kemelut 1965 merambat ke lingkungan sekitar tempat tinggalnya, Utji
masih berumur 13 tahun. Waktu itu dia tak lagi tinggal di desa tumpah darahnya
di Kroya, tapi rumah dinas sang ayah, D.A. Santoso.
PKI unggul di Cilacap pada 1955. Sebagai tokoh partai, Santoso terpilih
menjadi bupati Cilacap dan menjabat pada 1958-1965.
Setelah ayah dan ibunya ditangkap, Utji dan dua adiknya terlantar. Mereka
terpaksa berdiam di rumah neneknya yang sudah dirusak massa di Kroya.
Tak satu pun tetangga mendekat, kata Utji. Tapi masih ada beberapa mau
membantu menutup bagian rumah bobrok dengan bilik. "Mereka juga diam-diam
selalu kasih kami makanan," ujarnya.
Insiden demi insiden yang datang sekonyong-konyong berujung pada hari
paling murung, yakni Natal 1965.
"Bukan hanya tidak ada bapak dan ibu, tapi juga tidak ada pohon
terang, tidak ada makanan. Lingkungan sekitar sudah banyak pembunuhan. Beberapa
tetangga dikabarkan hilang dan tidak pulang," kata Utji.
Jauh sebelum orang tuanya dibebaskan--ibu pada 1972, ayah pada 1980--Utji
pernah bertemu dengan keduanya di Semarang.
Mereka kemudian berbicara di sebuah ruang di markas Kodam selama dua jam.
Pada perjumpaan itu, ayah Utji--berkemeja drill warna khaki dan berpeci
hitam--berpesan tentang para perusak dan penyerang: "Kamu tidak boleh
dendam. Mereka tidak tahu, mereka hanya disuruh."
Selisih Utji dan Mudjiati empat tahun ketika jalan hidup keduanya berubah
secara mencolok. Hanya, berbeda dari Utji, militer menangkap ayah Mudjiati,
sekaligus dirinya.
"Bapak lebih dulu diambil," ujar perempuan kelahiran Panembahan
Wetan, Yogyakarta, itu.
Mudjiati ditahan karena menjadi anggota Pemuda Rakjat, seperti Utati.
"Padahal saya di sana belajar menyanyi," katanya.
Dia masih ingat ketika pihak berwenang menggiringnya ke tempat pemeriksaan
di Jatibaru, Jakarta Pusat, sebelum dilempar ke "Kodim 'Air Mancur' di
belakang BI (Bank Indonesia)".
Mudjiati saat ditemui Beritagar.id di kediaman Utati, Rabu (20/9).©
Muhammad Imaduddin /Beritagar.id
Daftar pertanyaan yang diajukan kepadanya tak berbeda dari lis pertanyaan
untuk para perempuan lain yang dibekuk, meskipun mereka diangkut dari daerah
jauh.
"(Soal) Lubang Buaya, nari genjer-genjer sambil telanjang,
nyilet-nyilet," ujar Mudjiati. "Karena tidak melakukan, meski
dipukuli saya tetap bilang 'enggak' waktu ditanya begitu".
Dari ruang yang mengurungnya hingga Mei 1966, Mudjiati sanggup mengintip
lalu-lalang para pengunjuk rasa yang menghiasi tahun itu.
Bahkan, pada hari Arif Rahman Hakim tewas tersambar peluru di Lapangan
Banteng pada Februari 1966, dia pun bisa mendengar salak senjata.
"Jakarta dulu masih enak buat jalan. Senayan masih berkabut,"
kata Mudjiati menyelingkan. Telah menjadi warga Ibu Kota sejak 1954, dia
tinggal dengan ayah dan ibu tiri di daerah yang sekarang menjadi Gelora Bung
Karno.
"Karena digusur untuk Asean Games, kami pindah ke Bendungan Udik (kini
muka Parkir Timur Senayan)," ujarnya.
Selain dijemput paksa, "yang paling berat dari semuanya adalah kami
tidak bisa menikmati masa tumbuh kembang sebagai remaja," timpal Utati
saat berkomentar tentang kehidupan sebagai tahanan politik.
Karenanya, demi melupakan penderitaan di penjara dan kamp pengasingan,
mereka mencoba segala bentuk penghiburan yang memungkinkan seperti menyanyi,
menari, memasak, atau bahkan mengerjai rekan tahanan.
"Ada satu anak dari daerah. Mungkin sekitar 14 tahun. Dia sebenarnya
tidak diangkut (ke tahanan). Tapi, karena lihat orang-orang dinaikkan ke truk,
dia teriak 'Aku melu!'" demikian Mudjiati menceritakan keluguan seorang
tahanan.
Kepolosan itu tidak bertahan sehari-dua, tapi bertahun-tahun.
Pernah sekali waktu ketika Mudjiati dan beberapa rekan seusia bicara santai
ihwal pacaran. Si gadis polos menyela dengan bertanya apa arti pacaran.
Mudjiati pun menjawab sekenanya, "pacaran itu sawi digodok campur sambal
terus dimakan".
Kejadian serupa tetap mendapat celah ketika mereka sudah berada di
Plantungan. Latar belakang kisah: petugas mengajak para tahanan di kamp yang
bangunannya pernah menjadi penampungan penderita lepra untuk berpelesir ke
Curug Sewu, Kendal.
"Nah, waktu dia lihat ada orang berjalan pasang-pasangan, dia
nyeletuk, 'Mbak, itu coba lihat. Ngapain jalan mepet-mepet pada gendengan
begitu?'" kata Mudjiati.
Selain menampung remaja, penjara pun berisi anak-anak: baik terangkut
bersama ibu, atau lahir di tempat lokasi. Utati mengatakan, Salawati Daud ikut
membantu persalinan pada masa-masa awal pemenjaraan di Bukit Duri.
Salawati perempuan pertama menjabat sebagai wali kota di Indonesia. Ia juga
mengangkat senjata melawan tentara NICA pada masa revolusi fisik.
Keterlibatannya di Gerwani membuatnya dipenjara. "Tapi, semua petugas di
Bukit Duri hormat sama dia," ujar Utati tentang mantan kepala daerah
Makassar itu.
Musik dan upaya menggerus trauma
Utati berpose untuk Beritagar.id di rumahnya di Depok, Rabu (20/9).©
Muhammad Imaduddin /Beritagar.id
Hobi menyanyi membantu Utati menabung harapan di penjara. Menurutnya,
hingga kini jika tertekan, "bisa tiba-tiba terngiang-ngiang nyanyian
sewaktu masih di dalam penjara".
Mudjiati berkisah bahwa Utati dan dua temannya dikenal suka menyanyi.
"Nyanyi segala macam. Kalau malam minggu, kalau dipandang penjaganya tidak
galak, kepala blok akan menemani petugas untuk main apa pun supaya enggak
keliling," katanya. "Lalu kami nyanyi-nyanyi, dagelan, main
drama".
"Nyanyi enggak pernah, saya," timpal Mudjiati. "Dia
(Mudjiati) main drama," balas Utati.
Kegemaran menyanyi itu kemudian memungkinkan kepala Utati menjadi 'bank
nada' bagi lagu-lagu dalam penjara. Kondisi itu sangat membantunya dan
rekan-rekannya di Dialita untuk meniupkan ruh pada notasi dan lirik pelbagai
lagu penjara dan masa sebelum 1965.
"Kalau enggak ada Mbak Utati, enggak akan ada Dialita," kata
Mudjiati, yang mengaku cuma terlibat dalam rekonstruksi lagu "Ujian"
karya Siti Jus Djubariah. Lagu ini pun baru bisa utuh setelah dua tahun
bongkar-pasang.
Saat ditanya mengenai bagaimana lagu-lagu lawas direkonstruksi, Utati
mengaku ingatannya bermula dari nada.
Lantas, pada tahap selanjutnya, dia akan menguji kecocokan lirik-lirik lagu
kepada teman-teman lain, yang tak semuanya tinggal di Jakarta.
"Misalnya, "Lagu Untuk Anakku" itu saya cocokkan lagi ke Ibu
Heryani waktu dia ke Jakarta," ujar Utati menyebut nama penulis syair lagi
dimaksud.
Pertemuan dengan Utji pada awal 2000-an mempertegas upaya Utati mengabadikan
lagu yang selama puluhan tahun hanya menggelayuti pikirannya ke dalam bentuk
tertulis.
Kemudian, dalam balutan waktu, lagu-lagu yang menunggu dinyanyikan itu
mulai menemukan para penggugahnya.
Semua berawal dari gagasan untuk membentuk paduan suara ketika mereka ngariung di
rumah Utati. "Waktu itu kalau nyortir barang-barang bekas suka sambil
bersenandung," kata Utji.
Kegiatan menyaring barang terjadi saat para penyintas 1965 generasi kedua
masih beraktivitas membantu generasi pertama "yang sudah mulai sepuh dan
sakit-sakitan" dengan cara menjual barang bekas.
Sayangnya, usaha itu terpukul evaluasi negatif. "Banyak
nomboknya," ujar Utji. Mereka pun berpikir untuk mencari dana lewat
mengamen. Soalnya, Utji yakin keseriusan "mengamen" bakal menyumbangkan
dana lumayan.
Paduan Suara Dialita saat tampil di Wisma Antara pada 2016© Dialita
Satu hari, Tuti Martoyo dan Elly Runtu--yang juga pernah tergabung di
Paduan Suara Gembira--sontak menawarkan nama Dialita, kependekan dari 'di atas
lima puluh tahun', usia rata-rata penggiat.
Pelopornya 11 orang: Utji, Utati, Mudjiati, Tuti, Elly Runtu, Elly Dayino,
Heri Siswanti, Irina Dayasih, Retno Murti, Tunik Kurnia, Megawati Tariganu.
Retno setelah Dialita terbentuk pindah ke kota lain.
"Deklarasi Dialita di Kampung Nambo, 4 Desember 2011," kata Utji.
"Pada ulang tahun Dialita (tahun lalu), kami sudah menghasilan satu album,
35 pentas besar dan kecil, dan sebuah film".
Anggota Dialita kini telah mencapai 20 orang dengan Hartinah, 75 tahun,
sebagai yang tertua dan Yani, 33 tahun, termuda.
Album yang dimaksud Utji adalah "Dunia Milik Kita" garapan Yes No
Wave Music.
Pada 1 Oktober 2016, album berisi 10 lagu itu diluncurkan lewat konser
kecil di Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
"Tiketnya habis terjual," katanya.
Untuk film, Dialita menjadi subjek dokumenter berdurasi 30 menit,
"Bangkit dari Senyap" arahan Shalahuddin Siregar, sutradara
"Negeri di Bawah Kabut". Shalahuddin pernah meraih Special Jury
Prize di Dubai International Film Festival 2011.
Tak cukup di situ, Dialita bakal menjadi subjek dokumenter dari sutradara
sama dalam film berjudul "Song for My Children" yang diharapkan dapat
tayang 2018 lewat Goodpitch2.
Jenama disebut terakhir merujuk kepada organisasi dunia yang memberikan
tempat bagi pembuat film dokumenter untuk mencapai keinginannya.
Shalahuddin mengatakan, dikutip Rappler pada Mei, butuh lebih dari 100 ribu dolar AS
untuk menyelesaikan proyek ini. Setelah membuka acara di Goodpitch2, "Song
for My Children" tinggal mencari 15% dari dana yang diperlukan.
"Hitungan kasar, dari sini sudah menutup 75 persen, tapi tidak
semuanya berbentuk uang. Ada juga yang mau membuatkan situs seharga AS$5,000
dan social media campaigner," kata Shalahuddin.
Meski sekarang sudah lebih dikenal orang, Utji memandang Biennale Jogja
XIII pada 2015 beroleh rongga spesial di hati anggota Dialita.
Acara itu menjadi momen bagi mereka untuk tampil di luar kalangan sendiri.
Itu "awal perjumpaan dengan anak-anak muda. Sesuatu yang benar-benar baru,
bukan hanya bagi mereka, tapi juga bagi kami," ujar Utji. "Di situ
kami merasa berarti, merasa diwongke (dimanusiakan)".
Oleh karena itu, wajar bila Utji, Utati, dan Mudjiati--untuk menyebut
beberapa anggota Dialita--merasa bahwa musik sanggup menggerus trauma di masa
lalu.
"Pengalaman membuktikan bahwa dengan menyanyikan lagu-lagu yang
dibungkam, lagu-lagu dari dalam (penjara), kita bisa memberikan pesan
persahabatan dan perdamaian kepada generasi muda atau siapa pun tanpa
kekerasan," kata Utji.
Sumber: Beritagar.Id
0 komentar:
Posting Komentar