Apuet Machfud | Mar 8, 2019
Aku sedang memainkan peran untuk naskahku sendiri.
Pada awalnya, Aku hanya seorang seniman otodidak. Aku
belajar hanya dari melihat dan memperhatikan gerak serta membaca buku-buku seni
budaya dan menulis puisi.
Orang yang paling berpengaruh dalam karyaku adalah mentor
pertamaku, Kak Oik (begitu aku memanggilnya). Ia seorang individualis, penari
sekaligus pemain teater. Kak Oik-lah yang pertama kali mengenalkanku pada
Lembaga Kebudayaan Rakyat atau lebih dikenal dengan Lekra.
Saat itu, Lekra adalah sebuah tanda tanya besar buatku.
Apa itu Lekra?
Sejauh ini, aku berkesenian hanya untuk diriku sendiri.
Hingga mentorku, Kak Oik, mengenalkanku pada sastrawan Putu Oka Sukanta.
Putu Oka yang pernah menjadi anggota Lekra dan dipenjara
rezim Orde Baru tanpa pengadilan ini, telah menulis banyak kisah mengenai
tragedi pembantaian 1965.
Karya-karya Putu Oka berupa cerita pendek, seperti Rindu
Terluka, Lobakan, dan sebagainya. Salah satu fokus dalam karyanya adalah
tentang perempuan dan masyarakat Bali.
Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain: I Belog
(cerita anak-anak, 1981), Selat Bali (kumpulan puisi, 1982), Salam/Greetings
(kumpulan puisi, 1986), Tas/Die Tasche (kumpulan cerpen, 1986), Luh Galuh
(Kumpulan Cerpen, 1987), Buruan (novel), dan sebagainya.
Meski umurnya sudah tak muda lagi, 80 tahun, ia masih
tetap produktif menulis. Ia selalu membuat aku kagum. Kadang aku
bertanya-tanya, bagaimana ia mempertahankan ketajaman berpikir dan di saat yang
sama memelihara semangat berkreatifitasnya? Ia juga masih rajin mengamati
perkembangan kesusastraan dewasa ini. Aku penasaran mengapa ia demikian.
Karena itu, pada pertengahan 2016, aku memutuskan untuk
berkunjung ke rumah Putu Oka di Rawamangun, Jakarta. Aku bermaksud untuk
melihat bagaimana Putu Oka menulis.
Sesampainya di sana, tepat sekali, Putu Oka memang sedang
menulis. Mulanya, ia merahasiakan tulisannya. Tapi pada akhirnya, aku tahu ia
sedang menulis tentang Cahaya Mata Sang Pewaris yang rencananya akan
diterbitkan pada tahun berikutnya, 2017.
Membaca karyanya, lambat laun, pengetahuaku tentang Lekra
bertambah. Pun juga tentang karya-karya Putu Oka. Aku mengadaptasi pemikiran
Putu Oka, yang kemudian menuntunku untuk menemukan caraku dalam berkesenian.
Aku merasa selaras dengannya karena menurutku berkesenian juga tidak bisa
dilepaskan dari sisi kesejarahan.
Setelah mempelajari Lekra dan Putu Oka, aku menyadari
bahwa hubungan seniman sangatlah setara dan humanis. Baik seniman junior maupun
yang senior. Tidak ada yang memberikan indoktrinasi maupun instruksi.
Putu oka juga yang menegaskan padaku tentang Lekra dan
PKI. Ia menegaskan
“Ia bukan PKI, Ia adalah Lekra. Lekra itu sebuah paguyuban seninam-seniman yang punya cita-cita ingin mengembangkan tradisi rakyat dan anti feodalisme. Kenapa? Karena tanah ini dikuasai oleh feodal,” katanya.
Dari situlah, aku mulai terinspirasi menulis puisi. Tentu
saja yang masih ada kaitannya dengan sejarah kelam bangsa ini.
Ini beberapa sajak puisi yang aku buat tentang 65:
Ia dicabik oleh parang hingga robek punggungnya
matahari ta’ marah, ia diam saja menjadi penonton
Lelaki dalam ruangan itu digagahi kawanan loreng yang
ingin terlihat menakutkan serupa harimau
dalam pandangan yang semakin redup lelaki itu tergeletak
menyaksikan hal tersebut.
Matahari masih diam namun sepertinya langit sudah ganti
baju
Lelaki itu terbangun di sebuah ruang kosong
Tergeletak bersamanya kawan-kawan tertumpuk kaku
dihadapan.
Pulau itu menjemputnya pergi, tanpa suara, tanpa hak,
tanpa wanitanya; lelaki itu sendirian.
Jakarta, 2018
Karya puisiku ini merupakan gabungan seni instalasi dan
seni performance art. Instalasi disajikan dengan kain putih menjuntai
lurus dengan dibalut lakban.
Lewat seni instalasi ini, aku ingin menyampaikan
pesan bahwa teror dan maut selalu menunggu kala itu (1965), kain putih (kafan)
mewakili kesucian kematian, dan lakban putih adalah malaikat, yang setiap saat
dapat menutup segala hal.
Seni performance art yang kutampilkan adalah
eksplorasi tubuh yang dililit oleh sebuah benang merah dan putih ke sekujur
tubuh sebagai metafora altruisme yang menjadi obyek yang menderita dan
melakukan interaksi terhadap obyek dan subyek.
Selanjutnya aku tekuni saat ini adalah berjibaku dengan
berkesenian, yaitu menyadarkan bahwa pentingnya seni sastra dan seni
pertunjukan, yang selama ini sudah terjalin oleh seniman-seniman yang secara jelas
sudah tahu dan paham apa dan bagaimana perjuangan seni Lekra kala itu.
Aku terus berkarya sembari terus mengingat semangat Putu
Oka.
Jakarta, 30 Januari 2019
Source: Ingat 65
0 komentar:
Posting Komentar