19 November 2016
Titin Jayalangkara*
Titin Jayalangkara*
Militerisme tidak hilang di Indonesia, malahan kembali unjuk gigi dengan lebih percaya diri!
Paska reformasi Mei
1998, militer Indonesia berupaya kembali menginvasi ruang-ruang sosial.
Ditandai banyaknya bekas petinggi militer yang ikut bertarung dalam
pemilihan umum atau pilkadal, dengan berjualan nasionalisme melalui
jargon “asing” versus “pribumi”. Militer juga giat membubarkan
kegiatan-kegiatan publik seperti diskusi, pemutaran film di beberapa
kota, menangkapi orang-orang bertato di Makassar, dan merepresi
perpustakaan jalanan di Bandung.
Pembentukan klub sepakbola tentara, Persatuan
Sepakbola Tentara Nasional Indonesia (PS TNI), merupakan satu contoh
lucu bagaimana militer telah masuk lebih jauh dalam ruang-ruang sosial
masyarakat sipil. Beberapa bulan lalu suporter PS TNI, yang tidak lain
adalah militer aktif, bentrok dengan pendukung Gresik United dalam laga Indonesia Soccer Championship A 2016,
karena menganggap spanduk bertuliskan “Stop Arogansi Cops” serta yel
yel “aparat keparat” dari suporter sebagai tindakan penghinaan dan
rasis. Pihak militer Indonesia seperti lupa ingatan, bahwa pembantaian dan pelecehan orang-orang Papua yang mereka lakukanlah yang merupakan tindakan rasisme keji.
Di sektor pertanian, militer tak ketinggalan dengan
turut serta melakukan penyuluhan kepada petani-petani di desa. Babinsa
diturunkan ke sawah mengawasi petani. Tahun 2015 lalu, Panglima TNI
Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa tidak mungkin ketahanan nasional bisa
tercapai tanpa ketahanan atau swasembada pangan. Pernyataan ini
menegaskan bahwa urusan pangan dalam negeri adalah juga urusan TNI. Bagi
militer dan Jokowi, swasembada pangan harus dicapai meskipun harus
dengan menekan petani untuk menggenjot produksi.
Sementara di bidang pendidikan, wacana kurikulum bela
negara dan hegemoni militerisme membayangi dunia pendidikan Indonesia.
Bahkan di beberapa kampus, kuliah-kuliah umum diselenggarakan dengan
mendapuk petinggi militer sebagai pembicara utama. Sebelumnya,
Universitas Hasanuddin di Makassar pula telah bekerja sama dengan TNI
menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata.
Situas-situasi tersebut menggambarkan bahwa militer
Indonesia pelan tapi pasti merambah kembali ranah sosial, mengembalikan
“fungsi sosial” sebagaimana yang pernah dikendalikannya melalui Dwi
Fungsi ABRI di masa Orde Baru.
Musuh yang Diciptakan
Gatot Nurmantyo lewat pemberitaan di Kompas
(26/08/2016) mengatakan bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi
perang tanpa bentuk. Salah satu di antaranya adalah perang melawan
narkoba, katanya. Pernyataan Gatot tersebut diikuti dengan seruan untuk
“mewaspadai tiap ancaman yang akan menghancurkan kesatuan negara”.
Jika diperhatikan secara seksama, ini seperti
pernyataan siaga perang. Hanya saja, perang melawan musuh yang mana,
Gatot sendiri menggambarkannya tidak jelas. Militer malah nampak hendak
terlibat dalam urusan penegakan hukum lebih jauh, seperti penyitaan
barang bukti, penindakan kerusuhan sipil, yang secara normatif bukan
fungsinya. Dengan mengobarkan perang terhadap musuh yang tidak jelas,
militer bisa seenaknya menghantam rata siapa saja yang dianggapnya
musuh, yakni apapun yang mengancam NKRI dan Pancasila.
Logika yang
hendak dibangun adalah bila narkoba dianggap bisa membahayakan negara,
militer merasa berhak ikut campur memberantas narkoba. Begitu pun
terhadap terorisme atau bahkan sebuah pemikiran, bila hal-hal tersebut
mengancam NKRI dan Pancasila, militer ingin mengambil peran lebih jauh.
Dengan kata lain, Gatot sebenarnya sedang menegaskan
kembalinya militer ke dalam ranah-ranah sipil. Perang yang dinyatakan
sebenarnya adalah perang melawan rakyat, khususnya kaum pekerja, dengan
cara menciptakan musuh untuk mendapatkan legitimasi.
Beberapa bulan lalu, publik di Indonesia dihebohkan
berita kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia. Wacana ini
dikembangkan sedemikian rupa hingga berubah menjadi teror, terutama bagi
masyarakat yang tidak mengetahui sejarah, korban pembantaian peristiwa
65, hingga gerakan-gerakan progresif.
Dan dengan segala prosesnya, “PKI
sebagai musuh” berhasil memenangkan pengaruh militer ke dalam beberapa
situasi sosial. Gelombang pembubaran diskusi dan pemutaran film “Pulau
Buru Tanah Air Beta”, penanganan diskriminatif terhadap protes sosial,
pelarangan buku-buku bertema komunis, hingga penangkapan terhadap
seorang aktivis di Maluku Utara hanya karena memakai baju berakronim PKI
(pencinta kopi Indonesia), menggambarkan bagaimana musuh-musuh yang
dibentuk tersebut berhasil menjalankan fungsinya mendapat legitimasi
dari masyarakat.
Musuh-musuh tersebut dibentuk dalam sebuah kerangka
konspirasi. Untuk tetap menguatkan pengaruh, musuh-musuh tersebut
dipelihara dalam sebuah budaya ketakutan. Dengan begitu, aktifnya
militer dalam kehidupan sosial masyarakat nampak wajar dan diperlukan.
Militerisasi Sipil
Sebagai antisipasi terhadap ancaman musuh, dibuatlah
program-program yang berbau militeristik. Program Bela Negara misalnya,
yang diresmikan Presiden Jokowi akhir 2014 lalu, bahkan telah
disosialisasikan dan dijalankkan hingga ke kampus-kampus. Ini kemudian
diikuti aturan-aturan terkait semisal larangan aktifitas malam dan
demonstrasi bagi mahasiswa. Ormas-ormas sipil juga direkrut dan disokong
sebagai pemukul yang bergerak tanpa seragam. Untuk memamerkan kekuatan
ini, digelar Apel Bela Negara di Jakarta, sebagai bentuk perang psikologis.
Dalam bentuk harian, hak-hak normatif masyarakat
sipil seperti berkumpul, berdiskusi, menyuarakan kritik sosial dan
membaca buku dengan sistematis dipangkas. Melalui represi fisik maupun
non-fisik, aparat negara mengatur apa yang boleh dibaca, jam berapa kita
bebas berkumpul dan berdiskusi, pakaian apa saja yang bisa dipakai,
film apa yang bisa kita tonton dan hal apa saja yang bisa kita sampaikan
di muka umum. Bahkan dalam beberapa peristiwa, alasan-alasan moral
seringkali dipakai untuk membelenggu kebebasan sosial, misalnya
pembubaran aktifitas dan agenda LGBT sebagai ekspresi penyeragaman
orientasi seksual.
Otoritarian Negara dan Kapitalisme yang Totaliter
Bangkitnya militerisme dan makin kuatnya keterlibatan
tentara dalam kehidupan sosial menunjukkan gejala otoritarianisme yang
menguat. Sebagai perangkat kekerasan negara, militer berfungsi untuk
memastikan kekuasaan negara, dengan mengikut ke dalam kepentingannya.
Tujuannya untuk tetap menjaga rakyat tetap tunduk pada sentralisme
kekuasaan. Gejala-gejala ini semakin menunjukkan karakter dasar negara:
menindas dan otoritarian. Ruang-ruang sosial sebagai wadah aktifitas dan
solidaritas, hubungan sosial dan kemasyarakatan diisi dan dikacaukan
oleh kekuatan represif.
Meskipun konsolidasi modal sudah menghapuskan batas-batas negara,
demi memastikan kelancaran perpindahan modal dari satu wilayah ke
wilayah lain, namun peranan dan keterlibatan aparatus negara justru
lebih kencang menekan ke bawah. Semakin banyak perjuangan dan gerakan
rakyat yang dihantam oleh popor senapan, dan kebebasan sipil yang
dikekang oleh sepatu lars. Hal tersebut merupakan respon negara dan
kapitalis terhadap gerakan dan perjuangan rakyat.
Bila negara semakin totaliter, kapitalisme makin otoritarian, bukankah ini tanda-tanda fasisme?
Penulis adalah anggota Perhimpunan Merdeka.
*) Artikel ini telah dipublikasikan di Koran Bersyarekat #3
http://anarkis.org/bangkitnya-militerisme-gaya-baru/ ·
0 komentar:
Posting Komentar