Kamis 02 Februari 2017 - 17:51
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa
Panggabean/2014)
Bertemu kaum terbuang. Itulah yang
terjadi pada Rosa Panggabean saat pergi ke Negeri Kincir Angin untuk berlatih
fotografi. Ini pengalaman seumur hidup, dan meninggalkan kesan kuat di benak
fotografer perempuan itu.
Bermula dari tugas Ocha, sapaan
Rosa, untuk membuat photo story unik. Tahun itu, 2014, Ocha beruntung
bisa terbang ke Belanda karena menerima Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam
atas salah satu karya fotografinya.
Maka demi memenuhi PR
pelatihannya, Ocha berdiskusi dengan kawannya yang sudah lama tinggal di
Belanda. Hingga akhirnya ia menetapkan pilihan hendak mengangkat cerita tentang
kaum eksil Indonesia yang tinggal di Belanda.
Mereka terusir dari Indonesia,
dari negeri sendiri, ketika pergolakan politik terjadi pada periode 1964-1966.
Kala itu pemerintahan Sukarno beralih ke Soeharto, dan banyak di antara mereka
yang dikirim Sukarno untuk bertugas atau belajar ke luar negeri tiba-tiba
mendapati paspor dan kewarganegaraan mereka telah dicabut tanpa sebab jelas.
Maka, Ocha menemui mereka: eksil
yang hidup dalam pembuangan, tanpa punya kesempatan untuk mencium lagi tanah
kelahirannya.
Dari 9 orang eksil yang ditemui
Ocha, hanya 3 orang yang bersedia untuk dipotret untuk diangkat kisahnya.
Wajar, trauma begitu mendalam tertanam pada diri mereka. Tak semua mau cerita
hidupnya diketahui publik. Bisa jadi kerabat di Indonesia terkena dampak.
Ocha tak bisa lupa ekspresi dan
gestur para eksil itu.
“Begitu emosional. Waktu ngobrol sama mereka, kemarahan (karena dibuang) itu masih ada. Bertahun-tahun (mereka dibuang),” ujar Ocha saat berbincang dengan kumparan di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (22/1).
Berusia senja dan hidup terpisah
jauh dari keluarga, para eksil dilanda kerinduan mendalam terhadap sanak
saudara mereka.
Ocha tergugah. Dia tak bisa
tinggal diam. Dia merasa harus membantu mereka, sekecil apapun. Akhirnya, Ocha
membuat satu buku berisi kisah para eksil.
Seperti isinya, judul buku itu
adalah Exile. Di dalamnya, Ocha menceritakan kisah hidup
tiap eksil yang berhasil ia wawancarai dan potret.
Bagi Ocha, kisah hidup mereka
merupakan bagian dari sejarah yang harus diketahui masyarakat Indonesia.
“Mereka ini orang-orang tua dan pelaku sejarah,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan waktu dan
tenaga, Ocha mempublikasikan bukunya pada tahun 2015 secara indie. Ia
menjualnya di lingkaran pertemanan dan keluarga.
“Terjual 180 buku. Gue produksi 50 buah dulu karena enggak punya uang. Self-publish. Terus gue tawarin ke orang-orang, terus ada yang order lagi, gue produksi lagi. Sampai tiga kali cetak,” kata Ocha.
Selain dikemas dalam buku, kisah
mengenai eksil itu pun dimuat National Geographic dalam situsnya.
Ocha, satu dari sedikit fotografer
perempuan kawakan Indonesia, lantas membagi sejumlah foto Exile kepada
kumparan. Berikut kisah mereka seperti dituturkan langsung oleh Ocha.
Chalik, salah satu eksil di Belanda. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Chalik Hamid. Ia adalah penulis untuk LEKRA
(Lembaga Kebudajaan Rakjat), sebuah organisasi kiri yang fokus pada isu seni
dan budaya. Di zaman kepemimpinan Soekarno, Chalik dikirim ke Albania pada awal
tahun 1965 untuk belajar sinematografi. Perubahan pemerintahan di bawah
kepemimpinan Soeharto kemudian terjadi di tahun tersebut, dan berujung pada
pencabutan paspornya. Ia tidak bisa kembali ke Indonesia, dan memutuskan untuk pindah
ke Belanda di akhir tahun 1989.
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Sarmadji berumur 83 tahun. Pada tahun 1965, ia
dikirimkan ke China untuk belajar. Paspornya dicabut oleh zaman pemerintahan
Soeharto saat itu. Sarmadji tidak bisa kembali ke tanah air Indonesia. Dalam
kesesakan hidupnya, motto ini selalu menguatkan: turn grief into strength (ubah
kepedihan menjadi kekuatan).
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Pak Sarmadji di kediamannya yang tenang di Belanda.
Buku berisi narasi indoktrinasi. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, sebuah buku yang
berisi paham dan pegangan dasar yang pernah dimiliki oleh Bangsa Indonesia guna
mewujudkan Sosialisme Indonesia sebagai cita-cita negara. Buku ini menjadi
salah satu buku 'wajib' untuk memahami dasar negara di zaman Orde Lama.
Kumpulan surat dari masa lalu. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Kumpulan surat yang ditulis dan diterima oleh
Pak Chalik setelah dirinya melarikan diri. Beberapa di antaranya adalah surat
balasan yang diterima oleh Pak Chalik dari kawan-kawan seperjuangan yang
terpisah di berbagai negara bagian lain.
Bukti kesetiaan terhadap Soekarno. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Bukti setia. Foto Soekarno masih kuat
menggantung di dinding kamar eksil. Kesetiaan pada kepemimpinan Soekarno tak
pernah luntur dilumat zaman.
Sumber: Kumparan
0 komentar:
Posting Komentar