Arif Novianto | February 3, 2017
Peristiwa kejahatan kemanusian paska-operasi militer 1965 sampai sekarang masih belum terselesaikan. Imajinasi akan bahaya laten komunisme yang ditanamkan oleh regim orba masih begitu menguat ditengah era keterbukaan informasi publik seperti sekarang. Sehingga proses pendiskriminasian & stigmatisasi terhadap mereka yang dituduh komunis dan yang masih memiliki hubungan kekerabatan masih tetap berjalan.
Bercak noda sejarah 1965 ini memang masih begitu membekas dan menjadi beban sejarah bagi masa depan Indonesia. Hal tersebut melatarbelakangi dilaksanakannya Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) di Den Haag – Belanda pada 10-13 November 2015. IPT bermaksud mendesak penyelesaian secara hukum dan berkeadilan oleh negara atas kasus-kasus pelanggaran HAM seputar pembantaian 1965 dan dampaknya yang selama ini terabaikan melalui pengadilan formal. Bagaimana masa depan penyelesaian kasus pelanggaran HAM 1965 yang sampai sekarang belum terselesaikan? Apakah Pengadilan Rakyat Internasional ini dapat menjadi jawaban terhadap kasus kejahatan kemanusiaan tersebut?. Pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadi pemantik diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM, pada selasa 17 Oktober 2015.
Baskara T. Wardaya (Dosen Sanata Dharma) dan Roy Murtadho (IPT 1965) mengatakan bahwa peristiwa kejahatan kemanusian ini memang harus dibuka lebar-lebar dan keadilan harus ditegakan. Bagi Baskara T. Wardaya melihat tragedy 1965 sebagai peristiwa politik, tidak boleh hanya berkutat pada satu kejadian di dini hari 01 Oktober 1965 semata (6 Jenderal & 1 Perwira dibunuh), tetapi juga harus dari empat alur yang saling berkelindan.
1. Operasi Militer 01 Oktober 1965, kemudian militer pro-Soeharto menuduh PKI sebagai pelakunya hingga terjadi peristiwa penyiksaan, pemenjaraan massal dan pembantaian terhadap kaum kiri. Setelah sebelumnya militer pro-Soeharto memonopoli arus informasi publik.
2. Kudeta merangkak terhadap Soekarno. Paska operasi militer 01 Oktober 2015 dan penuduhan terhadap PKI, seluruh basis kekuatan rakyat dan pendukung Presiden Soekarno dipreteli. Potensi besar revolusi dihancurkan oleh gerakan kontra-revolusi. Hingga akhirnya penggulingan Soekarno dan diganti oleh Soeharto pada 1967.
3. Hegemonisasi Orde Baru dan Militer. Untuk menginternalisasi kepercayaan pada rakyat dan agar rakyat memproduksi diskursus berdarah yang dibangun rezim Orba bahwa “PKI penghianat dan Militer Pahlawan”, maka proses hegemoni dijalankan. Itu dilakukan melalui berbagai karya sastra (kelompok Manikebu), buku-buku, pembuatan film, novel, prasasti, kurikulum sekolah, penulisan sejarah dan museum.
4. Mengembalikan Indonesia pada cengkeraman sistem kapitalisme neoliberal. Upaya mengembalikan Indonesia pada sistem kapitalisme tersebut dilakukan oleh Soeharto dan Militer dengan terlebih dahulu mengubur kekuatan sosialisme a la Soekarno, itulah yang membuat penghancuran basis gerakan rakyat dilakukan dan kemudian rakyat dibuat menjadi “massa mengambang”. Setelah proses tersebut terjadi penjarahan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia secara massal, hingga Indonesia tidak berdaulat atas SDA-nya.
Baskara melihat bahwa benang merah dari peristiwa oktober 1965 tersebut adalah penjarahan massal terhadap SDA dan pengembalian Indonesia pada sistem ekonomi kapitalistik yang mirip sistem ekonomi kolonial. Artinya tragedi 1965 bukan hanya peristiwa kejahatan kemanusian tetapi juga tragedi kelas sosial, yang mana basis gerakan rakyat (proletar) dihancurkan. Sehingga menurut Baskara gerakan untuk membuka luka sejarah dan mencari keadilan juga harus menyasar benang merah pembalikan sistem ekonomi tersebut.
Sedangkan Roy Murtadho dari IPT 1965 berpandangan bahwa kejahatan kemanusian 1965 akan keliru jika dibaca hanya sekedar peristiwa antar masyarakat di akar rumput saja yang kemudian seolah-olah dianggap wajar kalau terjadi pembunuhan massal. Akan tetapi perlu dibacara secara menyeluruh, seperti bagaimana peran Militer yang secara masiv dan terorganisasi datang ke Kyai-kyai untuk diajak menumpas PKI setelah sebelumnya Militer menuduh PKI sebagai dalang operasi militer 1965. Pertentangan antara PKI dengan Masyumi sebelum 1965 dimanfaatkan oleh Militer untuk meminjam tangan orang lain dalam menghantam PKI.
Sejarah kelam masa lalu yang masih tertutup rapat dan korban-korban yang masih belum menemukan oase keadilan membuat Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) ini digagas. IPT yang digelar oleh kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat internasional ini berupaya memasuki kekosongan yang ditinggalkan oleh negara, tetapi tidak dimaksudkan menggantikan peran negara dalam proses hukum. Melalui IPT makan tekanan moral dan politik terhadap Negara Indonesia untuk mengambil peran aktif dalam upaya membuka sejarah kelam ini dan upaya melakukan rekonsiliasi, pemulihan dan kompensasi serta memorialisasi terhadap para korban.
Sumber: MAP Corner - UGM
0 komentar:
Posting Komentar