Hendri F. Isnaeni - 26 Februari
2017
Intel Indonesia dilatih oleh intel Amerika, Inggris, dan
Israel. Targetnya negara-negara komunis.
Pelatih dari Israel (kanan)
dan agen lapangan Satsus Intel di Cipayung, 1971. Foto: dok. Ken Conboy.
PADA awal 1965, Kolonel Nicklany, Asisten Intelijen
di Polisi Militer, mengawasi pembentukan unit intelijen khusus di tubuh Polisi
Militer yang diberi nama Detasemen Pelaksana Intelijen Militer (Den Pintel
Pom). Tujuannya, untuk melacak jejak para anggota PKI. Unit ini dikenal paling
cakap dalam tubuh angkatan bersenjata.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Asisten Intelijen
Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) pada awal 1968, Nicklany
menyampaikan kepada para petinggi Den Pintel Pom perlunya satu unit baru yang
bertugas untuk menangani kontraintelijen asing, yaitu menangkap mata-mata asing
yang beroperasi di Indonesia, terutama dari negara-negara komunis.
Untuk unit tersebut, Komandan Den Pintel Pom, Mayor Nuril
Rachman menyiapkan 60 orang (sepuluh perwira aktif dan 50 sipil) dari Polisi
Militer. Pada 16 November 1968, unit ini diresmikan bernama Satuan Khusus
Pelaksana Intelijen atau Satsus Pintel, yang kemudian dipendekkan menjadi
Satuan Khusus Intelijen atau Satsus Intel. Unit ini bertanggungjawab kepada
Asisten Operasi Polisi Militer, dan setelah tahun 1969, kepada Nicklany sebagai
Deputi II Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Indonesia).
Menurut Nuril, unit ini akan membutuhkan biaya besar dan
banyak peralatan. Nicklany yakin dapat menyediakannya setelah Ed Barbier dari
CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) datang ke Markas Polisi Militer.
Menurut ahli sejarah intelijen di Indonesia, Ken Conboy,
hingga akhir tahun 1968, Amerika memberikan bantuan keuangan secara rahasia
untuk menggaji 60 personel, kendaraan untuk pengintaian, biaya sewa rumah aman
(safe house) di Jalan Jatinegara Timur Jakarta Timur, tape recorder mutakhir
merek Sony TC-800, serta peralatan penyadap telepon.
Hingga tahun 1970, kendaraan pengintaian Satsus Intel
terdiri dari 16 sepeda motor, 3 sedan Mercedes, 2 Toyota Corolla, 3 Volkswagen,
1 Toyota Jeep, dan 1 minibus Datsun; dengan kaca belakang dilapisi penutup,
minibus ini untuk melakukan pemotretan rahasia.
Selain itu, Amerika juga memberikan pelatihan. Pada
September 1969, CIA mengirim instruktur kawakannya, Richard Fortin untuk
memberikan pelatihan teknik pengintaian dasar selama dua minggu. Materinya
mencakup keahlian membuntuti kendaraan dengan diam-diam, melakukan penyamaran,
dan menangani para agen.
MI6 dan Mossad
Menurut Conboy, meskipun Amerika sebagai sponsor utama,
bantuan juga datang dari Inggris. Pada akhir 1969, MI6 (Dinas Intelijen Luar
Negeri Inggris) mengirimkan personelnya guna memberikan pelatihan bagaimana
cara menangani agen. Pada November 1970, seorang warga negara Inggris, Anthony
Tingle, datang untuk memberikan pelatihan selama empat minggu.
“Jika paspornya diabaikan, Tingle sebenarnya seorang brigadir Israel berusia 50 tahun dan bekerja untuk badan intelijen Israel, Mossad,” tulis Conboy.
Kendati Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, namun Nicklany bersikap pragmatis: “Kita akan mendatangkan instruktur Israel ini karena mereka yang terbaik di dunia.”
Tingle disambut baik oleh para peserta pelatihan di
Cipayung, Jakarta Timur. Pusat pelatihan ini sebelumnya adalah tempat berlibur
yang disita dari Ratna Sari Dewi, istri Sukarno. Selain anggota Satsus Intel,
peserta yang menghadiri kelasnya adalah para perwira Angkatan Darat yang akan
menjabat sebagai atase militer di luar negeri.
Tingle mengajarkan tentang nuansa penyamaran identitas,
yaitu perekrutan agen dengan cara berpura-pura; ini spesialis Mossad. Dia
mengajar dengan ketat dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun yang mengandung
lelucon.
“Dia tak pernah tersenyum, tak pernah tertawa, dan tak pernah mau wanita,” kata salah seorang muridnya. “Dan saya belajar lebih banyak darinya dibanding dari instruktur mana pun, baik sebelum atau sesudah itu.”
Pada 1973, Mossad mengirim pelatih keduanya untuk
memberikan pelatihan kontraspionase dan bagaimana menggunakan agen dalam
melakukan kegiatan kontraintelijen. Peserta kelas kedua ini seluruhnya dari
Satsus Intel.
Jenderal TNI Soemitro, Panglima Kopkamtib, membenarkan
bahwa intelijen Indonesia bekerja sama dengan intelijen Inggris dan Israel.
“Yang saya benarkan waktu itu mengadakan hubungan dengan Israel adalah intelijen kita. Itu sehubungan dengan penumpasan PKI. Dalam hal ini Pak Sutopo Yuwono, Pak Kharis Suhud dan Nicklany. Tiga orang ini yang saya izinkan,” kata Soemitro dalam biografinya, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib karya Ramadhan KH.
Waktu itu, Sutopo Yuwono adalah Kepala Bakin sedangkan M.
Kharis Suhud menjabat Wakil Asisten I Angkatan Darat.
“Kami mengadakan hubungan dengan Mossad (Israel) dan MI6 (Inggris). Keduanya sangat peka mengenai masalah komunis,” kata Soemitro.
Satsus Intel menargetkan para diplomat dari negara-negara
komunis: Uni Soviet, Cekoslowakia, Jerman Timur, Vietnam Utara, dan Korea
Utara, bahkan juga negara-negara Timur Tengah.
0 komentar:
Posting Komentar