Pembantaian orang-orang PKI hanyalah sasaran antara. Sasaran utama adalah mengenyahkan basis kekuasaan Soekarno hingga ke akar-akarnya.
INDONESIA menjelang dan setelah Peristiwa 30 September 1965 berbau anyir darah. Nyawa manusia melayang di tangan manusia lain tanpa lewat peradilan, seolah nyawa tidak ada harganya sama sekali; seolah manusia adalah binatang tanpa naluri kasih sayang dan bukan khalifah di Bumi yang dibekali akal-budi. Setelah peristiwa itu pun, pembantaian terus terjadi, terutama terhadap kelompok komunis, tapi kemudian korbannya bisa siapa saja, terutama para pendukung Presiden Soekarno, Soekarnois.
Dalam buku Indonesia: Law, Propaganda, and Terror yang ditulis Julia Soulhwood dan Patrik Flanagan, W.F. Wertheim dalam kata pengantar buku tersebut mengatakan, ada ampat hidjau yang menghancurkan dan terlibat dalam perburuan terhadap orang-orang komunis pada tahun 1965. “Hijau adalah warna Islam, warna baret tentara, warna kesatuan mahasiswa KAMI, dan terakhir tapi yang tidak kalah pentingnya, Duta Besar Kebangsaan Amerika Marshall Green,” tuturnya.
Sejarah mencatat, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Jenderal Soeharto menjadi pemimpinnnya. Ia mengirim pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Soeharto juga yang menggalang kekuatan mahasiswa untuk membuat gerakan menuntut mundur Presiden Soekarno.
Begitu pula ABRI, yang sebagian besar beradadi bawah kendali Jenderal Soeharto, melakukan operasi pemusnahan pendukung Partai Komunis Indonesia(PKI) di Jawa dan Bali. Dalam kaitan dengan operasi ini, ABRI memanfaatkan sikap antipati sebagian umat Islam, terutama kaum santri dan kelompok nasionalis, terhadap PKI dan komunisme untuk terlibat dalam pembunuhan massal yang dilakukan secara terorganisasi dan sistematis. Maka, ratusan ribu orang pun dibunuh oleh saudara sebangsanya sendiri.
Kalangan Islam di Jawa Timur umumnya yang terprovokasi oleh operasi itu umumnya adalah mereka yang tergabung dalam Barisan Ansor Serbaguna (Banser), organisasi sayap Nahdlatul Ulama (NU). Itu sebabnya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang mantan Ketua Umum NU beberapa tahun lampau meminta maaf kepada keluarga korban 1965. Bahkan, Gus Dur dengan tegas melontarkan gagasan untuk mencabut Ketetapan MPR No XXV/1966 yang menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang dan komunisme sebagai paham terlarang di Indonesia.
Namun, menurut adiknya, Salahuddin Wahid, Gus Dur berani bersikap seperti itu karena tidak berada di Indonesia ketika tragedi tersebut terjadi. “Gus Dur meninggalkan Indonesia menuju Kairo pada akhir 1963 dan kembali pada pertengahan 1971. Jadi, Gus Dur tidak mengalami atau merasakan suasana permusuhan dengan PKI dan organisasi di bawahnya. Gus Dur juga punya akses terhadap informasi tentang Gerakan 30 September (G30S) yang bertentangan dengan informasi yang beredar di Indonesia. Amat mungkin Gus Dur pernah berjumpa dan berdialog dengan warga PKI yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan tinggal di sejumlah negara Eropa,” tulis Salahuddin Wahid di Kompas, 2015 lalu .
Yang pasti, ratusan ribu korban pembantaian itu tidak semuanya kader dan simpatisan PKI, tapi banyak dari mereka adalah pendukung Bung Karno dan bahkan orang-orang yang tak tahu sama sekali dengan urusan politik negara. Karena, memang, target tentara pendukung Soeharto bukan hanya kalangan PKI.
Di Kediri, Jawa Timur, umpamanya, kurang-lebih setahun setelah Peristiwa 30 September 1965, RPKAD datang diam-diam dari Jakarta dan bermarkas di sebuah SMA swasta. Target mereka: kader Partai Nasional Indonesia (PNI)/Front Marhaenis.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, rakyat dan kalangan militer memang masih sangat banyak yang mendukung Presiden Soekarno. Juga di Bali dan Sumatera Utara. Itu sebabnya RPKAD diterjunkan ke banyak wilayah di daerah-daerah itu di bawah instruksi Soeharto, terutama setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo dalam sebuah kesempatan semasa hidupnya juga mengaku, ia mendorong orang-orang anti-komunis untuk membantu ABRI, khususnya RPKAD, karena kekurangan personel. “Kami memberi mereka pelatihan dua atau tiga hari, lalu memerintahkan mereka membunuhi orang-orang komunis,” tuturnya.
Dokumen Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA) yang kini telah dibuka menyebutkan, sipil yang dilibatkan Angkatan Darat untuk melakukan dilatih dan kemudian melakukan pembantaian massalantara lain juga berasal dari organisasi Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Soksi) dan Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos). CIA sendiri selama bertahun-tahun telah bekerja samadengan Angkatan Darat Indonesia untuk urusan-urusan politik, yang dikenal dengan program Civic Action.
Majalah Time edisi 17 December 1965 menuliskan, “Komunis, pendukung kiri, dan para keluarganya dibantai. Tentara di pedalaman dilaporkan mengeksekusi ribuan orang komunis…Pembantaian itu begitu dahsyat skalanya sehingga jasad-jasad itu menimbulkan problem sanitasi serius di Jawa Timur dan Sumatera bagian utara.” CIA bahkan menyebut aksi itu sebagai “salah satu pembantaian massal terburuk dalam abad ke-20.”
Pada akhirnya, sejarah juga mengungkap, kader PKI dan simpatisannya hanya dijadikan sasaran antara oleh Jenderal Soeharto untuk merebut kursi kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Apalagi, pemberantasan terhadap PKI dan unsur-unsurnya sesungguhnya telah dituntaskan pada Desember 1965 itu.
Kurang-lebih 18 bulan sejak Peristiwa 30 September 1965, Jenderal Soeharto melakukan terus melakukan “konsolidasi” kekuatannyadan menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa, dan kekuatan Islam. Soeharto menangkapi anggota Kabinet Dwikora yang diduga terlibat PKI. Ada 16 menteri ditangkap meski tak jelas apa peran mereka dalam Peristiwa 30 September 1965. Soeharto juga kemudian mengakhiri konfrontasi Malaysia.
Maka, pada 7 Maret 1967, MPRS menggelar sidang untuk mencabut mandat Presiden Soekarno dan kemudian melantik Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Tidak sampai di situ. Soeharto juga memperlakukan sang Proklamator yang Presiden Pertama Republik Indonesia sebagai pesakitan, seolah Bung Karno bukan siapa-siapa dan tak memiliki kontribusi besar bagi berdirinya negara ini.
Bung Karno dijadikan tahanan rumah, di Wisma Yaso (kini dijadikan Museum Satria Mandala), di Jalan Gatot Soebroto, Jakarta. Tak boleh ada tamu yang mengunjungi, termasuk keluarga dekatnya. Bahkan, Bung Karno dilarang membaca koran, mendengarkan radio, dan menonton televisi.
Sebenarnya, bisa saja Bung Karno melawan. Massa pendukungnya masih sangat banyak, termasuk dari kalangan tentara.Setidaknya ada Angkatan Udara, KKO (sekarang Marinir), Divisi Siliwangi, dan tentara di Kodam Brawijaya yang sebagian besar anggotanya masih sangat setia kepada Bung Karno. Namun, Soekarno memilih mengalah, meski diperlakukan seperti tawanan. Bung Karno tak ingin Indonesia banjir darah lagi karena perang saudara.
Dalam buku karya akademisi Rusia, Kapitsa M.S. dan Maletin N.P., Soekarno: Biografi Politik(1980), dikatakan alasan Bung Karno tak mau melawan kekuatan Soeharto yang merajalela tersebut. Bung Karno, diungkap dalam buku itu, adalah sosokyang sangat cinta persatuan dan tidak mau menggunakan kekuatan kasar untuk mempertahankan kekuasaan.
Boleh jadi juga, Bung Karno tak menggalang kekuatan untuk melawan rezim baru yang merebut kekuasaannya itu karena memegang janji Orde Baru: pemilihan umum akan segera digelar, tahun 1968. Karena, Bung Karno yakin, kalau urusan kekuasaan itu diselesaikan lewat pemilihan umum, dirinya akan mendapat dukungan rakyat. Bung Karno sendiri menyatakan, siap kapan saja melaksanakan pemilu untuk membuktikan siapakah yang benar-benar didukung rakyat Indonesia.
Kenyataannya, pemilihan umum baru dilaksanakan oleh Soeharto sebagai pejabat presiden setelah Bung Karno wafat.Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970 dan pemilihan umum digelar pada 5 Juli 1971.
Menggoyang ke Kanan
Peter Dale Scott dalam buku Konspirasi Soeharto–CIA: Penggulingan Soekarno 1965-1967, menulis pembantaian terhadap anasir-anasir Soekarno merupakan hasil konspirasi CIA-Soeharto dibantu intelijen Inggris, Jepang, dan Jerman.Menurut Scott,Peristiwa 30 September 1965 hanyalah merupakan tahap pertama dari tiga tahap yang dibantu secara rahasia oleh CIA. Tahap kedua adalah tindakan balasan dengan membunuh orang-orang PKI secara massal dan puncaknya adalah pengganyangan soekarnois secara massif dan progresif.
CIA ingin menyingkirkan Soekarno karena bersahabat dekat dengan blok Cina dan Soviet. Sejak 1953, Amerika Serikat berkepentingan mencetuskan krisis di Indonesia, yang diakui sebagai penyebab langsung yang membuat Bung Karno mengakhiri sistem parlementer Indonesia dan menyatakan berlakunya keadaan darurat militer; serta memasukkan “korp perwira” secara resmi dalam kehidupan politik pada 14 Maret 1957.
Buku yang disunting Douglas Kammen dan Katherine McGregor,The Contours of Mass Violence Indonesia: 1965-1968(2012) menjelaskan juga mengapa pembunuhan tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari sebuah agenda politik yang lebih besar. Diungkapkan: bagi Soeharto, peristiwa kekerasan 1965 itu seperti keharusan politik untuk memulai langkah awal menghancurkan kekuasaan Soekarno beserta basis-basis kekuatan sosial pendukungnya. Di atas puing-puing kehancuran inilah langkah strategis selanjutnya dijalankan: merangkul dan mengintegrasikan Indonesia ke dalam ekonomi kapitalisme dunia dengan menempatkan aktor-aktor kekuasaan yang akan memfasilitasinya.
Bradley R. Simpson dalam Economists with Guns: Authoritarian Development and US Indonesian Relations: 1960-1968(2008) mengatakan,ada tiga hal yang menempatkan Soekarno sebagai penghalang kepentingan ekonomi-politik internasional. Pertama: kepemimpinan Soekarno dalam gerakan Nonblok yang akan membangun kekuatan internasional baru berbasis pada negara-negara Asia-Afrika. Melalui penggalangan kekuatan alternatif dunia ketiga yang kemudian dikenal dengan istilah New Emerging Forces (NEFOs), manuver internasional Soekarno ini dianggap sebagai ancaman utama bagi Amerika Serikatdan blok kapitalismenya. Apalagi,Bung Karno juga membentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang.
Kedua: agenda ekonomi terpimpin dan kebijakan subordinasi modal asing dari Soekarno, terutama sejak era demokrasi terpimpin, membuat sulitnya kepentingan ekonomi Amerika Serikat, seperti perusahaan minyak, masuk dan mendapatkan laba besar di Indonesia karena syarat-syarat ketat yang diberlakukan pemerintahan Presiden Soekarno. Ketiga: wacana persatuan yang dibangun Soekarno dengan menyatukan kaum nasionalis, agama, dan komunis bukan semata-mata sebagai gagasan persatuan, tapi dipandang sebagai upaya memisahkan persatuan nasional dari anasir-anasir anti-revolusioner. Melalui persatuan tersebut, jalan politik Bung Karno secara perlahan mengarah ke politik menuju demokratisasi ekonomi-politik, dengan menyatukan kekuatan-kekuatan sosial pendukungnya dalam sebuah blok sejarah tersendiri.
CIA mewujudkan ambisinya dengan menggandeng faksi militer kanan, seperti Soeharto, Walandouw, Suwarto, Sarwo Edhie, Kemal Idris, Ibnu Sutowo, Basuki Rahmat, dan Djuhartono. Juga partai-partai politik berhaluan kanan, yaitu Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia.
Pada Januari 1966, pakar keindonesiaan di Cornell University, Amerika Serikat, memublikasikan “’Laporan Sementara’ tentang Peristiwa September-Oktober 1965 di Indonesia”. Laporan itu menyangsikan pemberitaan yang menyatakan kudeta dilakukan oleh PKI—seperti yang dinyatakan penguasa militer di Indonesia dan dunia Barat.
Dengan menggunakan laporan Cornell itu, W.F. Wertheim menulis di media Belanda, De Groene Amsterdammer, pada 19 Februari 1966, yang diberinya judul “Indonesia Bergeser ke Kanan”. Ia mempertanyakan mengapa dunia Barat tak mengatakan apapun tentang peristiwa pembunuhan massal di Indonesia itu. Apakah diamnya dunia Barat terhadap tragedi hebat di Indonesia sejak 1 Oktober 1965 itu justru karena mereka sendiri yang mengorganisasi semuanya, demikian ditanyakan Wertheim.
Bung Karno sendiri dalam pidato pertanggungjawabannya di MPRS, “Pelengkapan Pidato Nawaksara”, 10 Januari 1967, mengatakan Peristiwa 30 September 1965 oleh “pertemuannya” tiga sebab: keblingernya pimpinan PKI; kelihaian subversi nekolim, dan; memang ada oknum-oknum yang tidak benar. Dengan pernyataan itu, Bung Karno secara tidak langsung tampaknya ingin mengatakan,dalang yang sebenarnya memang ada di luarnegeri.
Kenyataannya, setelah Presiden Soekarno dijatuhkan dan Soeharto berkuasa, Freeport langsung menguasai tambang tembaga (yang ternyata juga dipenuhi emas) di Papua (dulu Irian); International Nickel menguasai nikel di Sulawesi;Alcoa menguasai bauksit. Lalu: Weyerhaeuser, International Paper, Boise Cascade, serta perusahaan-perusahaan Jepang, Korea, dan Filipina bebas menebangi hutan di Sumatera, Papua, dan Kalimantan. Juga masih banyak yang lain.
Namun, investasi-investasi asing itu sampai puluhan tahun, bahkan sampai kini, hanya membuat kaya dan sejahtera sedikit orang. Nasib kaum marhaen belum banyak berubah ke arah yang lebih baik. Malah, tak sedikit dari kaum marhaen yang nasibnya justru semakin terpuruk karena digusur dan dilibas atas nama ideologi pembangunan.
Korban pun terus berjatuhan. Sampai kapan? [Didit Sidarta, Purwadi Sadim]
Sumber: KoranSulindo
0 komentar:
Posting Komentar