Bapak saya adalah seorang guru sejarah. Tapi pengetahuan saya soal peristiwa 1965 rasanya sungguh minim. Ya, sungguh minim.
Hanya tujuh tahun saya merasakan hidup di bawah pemerintahan Orde Baru. Tapi tujuh tahun itu sepertinya punya efek yang tak lekang.
Hingga kini, saya masih ingat bahwa pernah ada suatu masa ketika saya ikut menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI di cakruk[1]desa.
Ada petugas yang datang dengan mobil membawa sebentang layar putih dan perangkat pemutar film. Kala itu, televisi masih merupakan barang langka di desa asal saya -sebuah desa kecil di pinggiran Yogyakarta- dan layar tancap dengan film apapun terasa sebagai hiburan malam. Warga pun berduyun-duyun datang membawa alas duduk masing-masing. Duduk lama menonton. Saya tentu saja ikut, mengekor bapak, ibu, dan kakak.
Saya tak ingat detail adegan filmnya. Yang terekam dalam ingatan justru suasana mencekam dalam film itu: ada pembunuhan, bahkan anak kecil terbunuh (ataukah dibunuh?), ada perayaan atas pembunuhan, ada mayat-mayat yang dibuang begitu saja ke dalam lubang. Sesudahnya, ada semacam kengerian yang tidak benar-benar saya pahami, namun meninggalkan jejak dalam batin saya. Sisanya berlalu begitu saja.
Saya ingat pernah bertanya kepada Bapak, mengapa mereka yang mati dibunuh pada 30 September 1965 itu disebut “Pahlawan Revolusi” padahal mereka tidak melakukan apa-apa, cuma diam di rumah, dibunuh, lalu jadi pahlawan (padahal bukan mereka kan yang melakukan revolusi?). Saya lupa jawaban Bapak (atau apakah Bapak bahkan pernah menjawab).
Demikian, saya tumbuh dan melewatkan masa SD tanpa pernah tertarik pada sejarah Indonesia. Tanyakan bagaimana konsep Indonesia atau ke-Indonesia-an muncul, saya tidak tahu. Tanyakan siapa itu manusia Indonesia, saya hanya akan bisa menjawab penuh ragu. Saya tidak mampu menyusun kronologi berbagai “peristiwa besar dalam sejarah Indonesia” . Bahkan yang diajarkan dalam pelajaran sejarah formal. Apalagi mengerti apa itu PKI, apa itu komunis, dan mengapa para jenderal itu dibunuh. Pun tidak pernah hafal siapa saja yang dibunuh (kecuali Pierre Tendean yang meskipun bukan jenderal, namanya terdengar sangat keren). Bagi saya, sejarah tak ubahnya hal usang, sesuatu yang terjebak di masa kini dan bisanya cuma memuja mengagung-agungkan masa lalu.
Saya lulus SD dan berhasil mengurangi angka buta huruf dalam statistik Indonesia. Tapi bisa dipastikan bahwa saya akan resmi menempuh jalan menjadi warga buta sejarah, kalau tidak diselamatkan oleh hobi di masa pemberontakan saya, usia remaja.
Berkhayal dan Membaca
Pada dasarnya, saya suka berkhayal. Guna mendukung hobi tersebut, saya membaca. Berkhayal adalah kegiatan yang butuh kekayaan rujukan, dan membaca adalah salah satu cara memperkaya katalog imajinasi saya.
Bagi saya, berkhayal dan membaca tak ubahnya tamasya. Sejak SD, segera setelah saya akrab dengan aksara, saya melahap tulisan apapun yang bisa saya baca, termasuk buku-buku yang menurut kakak saya “belum waktunya kamu baca”.
Hobi ini kian menjadi-jadi di masa SMP, ketika saya mengenal rental buku dan perpustakaan lebih besar di sekolah saya yang di kota. Peringatan dari kedua kakak, yang selisih usianya 7 dan 12 tahun dari saya dan punya koleksi buku lumayan banyak, pun terus berdengung, “Buku itu belum waktunya kamu baca.”
Batin saya waktu itu, “Ah, apa boleh buat. Berkhayal telanjur jadi hobi, dan membaca buku baru sangat menantang daya khayal. Membaca harus lanjut. Baca apapun.”
Suatu hari, setelah mengobrak-abrik koleksi buku kakak, saya berjumpa dengan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer (Pram). Saya membacanya. Dengan tertatih-tatih tentu saja, mengingat betapa minim pengetahuan sejarah dan lambannya kecepatan belajar saya.
Dari buku itu, saya membaca kisah seorang manusia dalam kelindan peristiwa bangsanya. Saya, untuk kali pertama, membaca sejarah yang begitu personal. Dan menarik, karena ia penuh pergulatan, tidak melulu hitam putih.
Maka, dimulailah perjalanan itu. Dari buku-buku Pram yang saya baca saya menjadi tertarik pada sosok penulisnya. Saya mulai bertanya-tanya, “Mengapa penulis ini jarang disebut dalam pelajaran Bahasa Indonesia di kelas?”
Beruntunglah generasi saya yang kala itu sudah mengenal internet. Warnet di persimpangan dekat SMP pun mendapat kunjungan berkala. Saya berkenalan dengan Pram lewat penelusuran di internet. Dari Pram, penelusuran meluas ke peristiwa 1965 yang menyeret Pram dari penjara ke penjara hingga ke pembuangannya di Pulau Buru.
Pada saat bersamaan, saya juga tengah asyik dengan Ronggeng Dukuh Paruk[2]karya Ahmad Tohari. Ternyata novel ini juga memuat pusaran peristiwa di sekitar tahun yang sama dengan saat Pram diseret dari penjara ke penjara: 1965.
Saya berkhayal akan ketidakadilan yang dialami Pram dan Srintil: dipaksa menanggung hukuman tanpa menjalani pengadilan. Saya bayangkan, yang dialami Pram dan Srintil ini sama saja dengan saat uang saku saya dihentikan dan saya dipecat sebagai anak begitu saja bahkan tanpa bapak ibu memanggil saya untuk melakukan evaluasi. Itu jahat.
Di titik inilah saya menengok kembali buku-buku sejarah. Mencari “Pram dan Srintil lainnya” tidak bisa dilakukan dengan semata berkhayal.
Mendeteksi Hoax dan Mengambil Sikap
Pencarian akan “Pram dan Srintil lainnya” mengantar saya berkenalan dengan Franz Magnis-Suseno, Baskara T. Wardaya, Benedict Anderson, Bradley Simpson, Saskia E. Wieringa lewat tulisan-tulisannya. Ketika bergabung dengan kelompok pencinta alam di SMA, saya pun bertemu dengan pribadi-pribadi kritis yang menyodori saya buku Soe Hok Gie dan film 40 Years of Silence seraya mengajak saya berdiskusi.
Pelan-pelan saya melek, bangun dari nina bobo. Ada yang absen dari pelajaran sejarah di dalam kelas. Dan yang absen itu adalah hal-hal yang penting dan mendasar. Kalau saja waktu itu istilah hoax sudah populer, mungkin saya akan menyatakan bahwa saya telah mendeteksi hoax dalam pelajaran sejarah.[3]
Begitulah. Hak saya untuk mendapatkan informasi yang benar telah dirampas. Saya merasa jadi korban.
Tepatnya, korban penggelapan sejarah bangsa sendiri. Saya adalah anak yang menghabiskan 12 tahun pertama hidupnya dengan ajaran untuk membenci komunisme dan PKI tanpa benar-benar tahu apa itu komunis (dan komunisme) dan mengapa ia harus sedemikian dibenci. Penjelasan yang saya dapat di ruang-ruang kelas selalu tak lebih dari sekedar mantra siap saji a la Orde Baru: bahwa komunis itu pemberontak keji haus darah. Persis inilah kesuksesan Orde Baru: menumbuhkan ketakutan masyarakat terhadap PKI dan segala yang berbau komunis, seolah-olah komunisme dalam dirinya adalah jahat. Padahal, apa itu komunis? Apa itu Marxisme? Apa itu Leninisme? Samakah komunis dengan Marxisme dan Leninisme?
Alih-alih mempelajari dan berupaya memahami, kita justru digiring untuk membenci sesuatu yang tidak kita mengerti. Alih-alih menerangi peristiwa 1965 dengan akal sehat, kita sibuk membangun sentimen atasnya. Padahal peristiwa ini memiliki konteks, meninggalkan jejak data dan cerita dalam ruang dan waktu.
Sadar atau tidak, peristiwa 1965 mengubah wajah Indonesia. Ada pemisahan antara warga yang “bersih lingkungan” dan warga yang “tidak bersih lingkungan”. Keutuhan kita (kalau memang Indonesia sempat menyatu utuh) telah koyak sejak saat itu.
Soal ini meresahkan saya, dan sedikit banyak mendorong saya membuang nasihat semacam “sing wis ya wis” (Bahasa Jawa, artinya “yang lalu biarlah berlalu”), seolah-olah segala selesai ketika kita membiarkan yang lalu hanyut begitu saja dan kita melangkah maju.
Tidak. Justru yang lalu harus didedah dan diperiksa, bukan ditutup dan dibiarkan busuk.
Hari-hari belakangan ini, kita beramai-ramai membicarakan hoax (kabar bohong); bagaimana mendeteksi hoax danapa-apa yang bisa kita lakukan untuk menangkalnya. Dari Orde Baru dan fenomena hoax, saya belajar bahwa memaksakan kebenaran seringkali lebih mudah daripada berdisiplin mencari kebenaran.
Sampai di sini, saya ingin kita berangkat menelusuri peristiwa 1965 dengan menunda penghakiman tentang siapa yang mutlak salah dan siapa yang mutlak benar. Bukankah yang dicari dan ingin diketahui adalah apa yang sebenarnya terjadi? Kalau belum apa-apa sudah harus menentukan mana yang baik mana yang jahat, rasanya nanti yang didapat bukan informasi tentang apa yang benar-benar terjadi, tapi melulu pembelaan agar tidak dinilai jahat, agar tetap dinilai baik. Saya berharap kita punya cukup keberanian, kesabaran, dan ketahanan menanggung pencarian kebenaran jangka panjang, bukan ingin cepat-cepat mendapat solusi dan merumuskan aksi tanpa mau berproses lebih dalam untuk (bukan hanya mengorek di permukaan, melainkan juga menggali hingga kedalaman) memahami sebagaimana adanya apa terjadi pada 1965 itu.
“Hanya dengan menceritakan semua kebenaran ini, kita bisa benar-benar terbebas dari bayang-bayang trauma masa lalu. Saya sangat mengharapkan agar cerita tentang mereka yang dituduh bersalah oleh negara tanpa sebuah proses peradilan diluruskan. Kami berhak mendapatkan kebenaran tentang sejarah masa lalu yang dialami bangsa ini, dan jaminan dari negara bahwa hal seperti ini [ketidakadilan] tidak akan terjadi lagi dalam bentuk apapun. Ini seperti mengeluarkan nanah dari sebuah luka yang telah lama kita simpan. Pasti menyakitkan. Tetapi juga menyembuhkan dan melegakan.”
Akhirnya, saya berharap kita semua berani mengambil sikap. Menghadapi masa kelam dalam sejarah sendiri butuh upaya bersama. Jangan sampai kita sendirilah yang menyurukkan peristiwa 1965 ke sudut-sudut gelap, dengan diam, dengan memelihara ketakutan, dengan menolak membaca dan belajar, dengan tidak peduli. Seperti halnya kini kita bergandengan tangan menangkal penyebaran hoax, kita pun perlu bergandengan untuk Ingat ’65. Mengapa?
Sebab saya curiga, sesungguhnya kita semua terluka oleh peristiwa ini.
[2] Versi trilogi (Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala) yang sudah disatukan, diterbitkan oleh Gramedia, 2003.
[3] Saya sempat curiga. Jangan-jangan, kurikulum pelajaran sejarah memang sengaja dibuat sedemikian rupa agar murid-murid merasa bosan, menilainya sebagai tidak relevan untuk masa depan, dan dengan demikian bersegera membuangnya manakala lulus dari SMA.
0 komentar:
Posting Komentar