Release:
Hal: Pengaduan atas
Dugaan Maladministrasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum,
dan Keamanan serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Dalam
Penanganan Kasus HAM Berat Masa Lalu
Kepada Yang Terhormat,
Ketua Ombudsman Republik Indonesia
Bapak Amzulian Rifai
Di tempat
Dengan hormat,
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial,
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Setara Institute, serta
individu pegiat HAM dan demokrasi, bersama dengan korban pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) dengan ini melaporkan Kementerian Koordinator Bidang Politik,
Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) kepada Ombudsman Republik Indonesia atas dugaan telah terjadi
tindakan Maladministrasi oleh kedua lembaga negara tersebut dalam penanganan
perkara pelanggaran HAM berat masa lalu.
Bahwa dugaan tindakan Maladministrasi tersebut berkenaan dengan kesepakatan
sepihak Kemenko Polhukam dan Komnas HAM untuk menempuh Rekonsiliasi atau
non-judisial sebagai pilihan politik pemerintah dalam penyelesaian perkara
pelanggaran HAM berat.
Langkah tersebut akan dilakukan dengan alasan Jaksa Agung tidak bisa
bekerja sama dalam menindaklanjuti hasil Penyelidikan Komnas HAM, seperti
disampaikan Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat (30/1/2017) sebagaimana dilansir
dari laman
Langkah tersebut juga secara gencar diungkapkan oleh Menkopolhukam Wiranto
(30/1/2017) bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat akan dilakukan melalui
jalur rekonsiliasi dengan alasan kasus-kasus pelanggaran HAM telah lama
terjadi, sebagaimana ia sampaikan dalam laman http://kbr.id/berita/nasional/012017/penyelesaian_7_kasus_pelanggaran_ham__wiranto__nonyudisial/88431.html
Bahwa dugaan tindakan Maladministrasi tersebut
merujuk pada: Pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman:“Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum,
melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang
menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban
hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara
Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil
bagi masyarakat dan orang perseorangan”.
Berdasarkan peraturan perundangan-undangan tersebut, kami menduga telah
terjadi Maladministrasi dalam bentuk:
1.
Dugaan
perbuatan melawan hukum dalam bentuk lahirnya kebijakan yang bertentangan
dengan hukum;
2.
Dugaan
perbuatan yang melampaui wewenang dan menggunakan wewenang untuk tujuan lain;
serta
3.
Dugaan
pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaran pelayanan publik hingga
menimbulkan kerugian.
Hal–hal tersebut sebagaimana kami uraikan sebagai
berikut:
I. Rencana Rekonsiliasi oleh Kemenko Polhukam dan
Komnas HAM Bertentangan dengan Kewajiban Hukum Negara dalam Penyelesaian
Perkara Pelanggaran HAM Berat
1.
Bahwa Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat Tahun 2002 menyatakan“Negara
Indonesia adalah negara hukum.” Pasal 28I ayat (4) juga menegaskan
bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Begitu
pula Pasal 28I ayat (5) yang menegaskan cita-cita bangsa Indonesia yakni “Untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis.”
2.
Bahwa Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.”
3.
Bahwa
mekanisme hukum penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat diatur dalam
Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan Pasal
18 ayat (1) UU tersebut, Komnas HAM bertugas melakukan penyelidikan perkara
pelanggaran HAM berat untuk menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga
merupakan pelanggaran HAM berat.
4.
Bahwa Komnas
HAM telah melakukan penyelidikan pro justisia untuk 8 (delapan) perkara
pelanggaran HAM berat, yakni Peristiwa Trisakti, Semanggi I 1998 dan II 1999;
Peristiwa Mei 1998; Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998;
Peristiwa Talangsari Lampung 1989; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2002 Papua
(non-retroaktif); Peristiwa Simpang KKA 1999 dan Jambo Keupok 2003 Aceh
(non-retroaktif).
5.
Bahwa hasil
Penyelidikan tersebut seharusnya ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung dengan
melakukan Penyidikan dan Penuntutan (Pasal 21 dan 23 UU No. 26 Tahun 2000).
Faktanya, sejak tahun 2002 Jaksa Agung menolak menindaklanjuti hasil
Penyelidikan Komnas HAM ke tahap Penyidikan dan Penuntutan melalui Pengadilan
HAM dengan sejumlah alasan yang tidak konsisten seperti ketidaklengkapan syarat
formil dan materil atau alasan politis seperti belum adanya rekomendasi DPR dan
Keputusan Presiden (Keppres) Pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc (Pasal
43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000).
6.
Bahwa
meskipun telah ada rekomendasi DPR RI dalam kasus Penghilangan Orang Secara
Paksa Periode 1997-1998 Jaksa Agung tetap tidak melakukan Penyidikan dan
Presiden tidak mengeluarkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM. Pada kasus
Wasior-Wamena yang terjadi tahun 2002 (non-retroaktif) dan tidak membutuhkan
rekomendasi DPR maupun Keppres, Jaksa Agung juga tetap menolak melakukan
Penyidikan.
7.
Bahwa
meskipun telah ada rekomendasi DPR RI kepada dan Presiden RI (tahun 2009) untuk
penyelesaian Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa agar Presiden mengeluarkan
Keppres Pengadilan HAM ad Hoc, melakukan pencarian korban yang
masih hilang, melakukan tindakan pemulihan dan meratifikasi Konvensi
Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa tidak juga dijalankan
Presiden.
8.
Bahwa
berdasarkan uraian di atas, mandeknya penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa
Lalu tidak berkenaan dengan alasan legal formal semata tetapi lebih karena
hambatan politik, yakni ketiadaan kemauan politik pemerintah menyelesaikan
masalah ini sesuai dengan aturan hukum dan prinsip-prinsip hak korban
(Kebenaran; Keadilan; Pemulihan dan Jaminan Ketidakberulangan) sebagaimana
diatur dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy
and Reparation dan Declaration of Basic Principles of Justice
for Victims of Crime and Abuse of Power (Deklarasi Prinsip-prinsip
Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan), Resolusi
Majelis Umum PBB 40/34, 29 November 1985.
9.
Bahwa
berdasarkan uraian di atas, mandeknya penyelesaian pelanggaran HAM berat lebih
karena tidak bekerja institusi hukum dan politik, dalam hal ini Jaksa Agung,
DPR dan Presiden, bukan semata disebabkan kasus sudah lama terjadi sebagaimana
pernyataan Komnas HAM dan Kemenko Polhukam.
10.
Bahwa
sebagai negara hukum, pemerintah seharusnya memastikan, mendorong dan menjamin
penegakan hukum serta kebijakan politik yang dapat menyelesaian perkara
pelanggaran HAM secara berkeadilan, bukan sebaliknya justru Kemenko Polhukam
dan Komnas HAM mengambil kebijakan yang yang dapat menutup hak-hak para korban.
11.
Bahwa
berdasarkan uraian di atas, sikap Komnas HAM dan Kemenko Polhukam memutuskan
secara sepihak menempuh cara Rekonsiliasi telah bertentangan dengan kewajiban
penegakan hukum, jaminan kepastian hukum, dan keadilan bagi korban dan keluarga
korban pelanggaran HAM berat.
II. Tindakan Kemenko Polhukam dan Komnas HAM
Melampaui Wewenangnya dan Menggunakan Wewenang untuk Tujuan Lain
1.
Bahwa
kewenangan Kemenko Polhukam diatur dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2015
tentang Organisasi Kementerian Negara dan Peraturan Presiden No. 43 Tahun 2015
tentang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
2.
Bahwa
berdasarkan kedua peraturan perundang-undangan dalam poin 12, Kemenko Polhukam
memiliki kewenangan bersifat koordinasi, dan oleh karenanya tidak dapat
merumuskan kebijakan terkait penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia.
3.
Bahwa
Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM Berat diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000,
dimana Undang-Undang tersebut tidak mengatur kewenangan Kemenko Polhukam dalam
penyelesaian Pelanggaran HAM berat.
4.
Bahwa UU No.
26 Tahun 2000 hanya mengatur tugas Komnas HAM sebagai Penyelidik untuk untuk
menemukan peristiwa yang diduga pelanggaran HAM berat (Pasal 18 ayat (1) UU a
quo), Jaksa Agung sebagai Penyidik dan Penuntut (Pasal 21 dan 23), DPR RI
memberikan usulan atau rekomendasi kepada Presiden dan kemudian Presiden
mengeluarkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc (Pasal
43 ayat (2)).
5.
Bahwa
sebagai penyelidik, segala praktik politik—dengan alasan apapun: kurang alat
bukti dan sebagainya—adalah diluar kewenangan hukum Komnas HAM dan mengingkari
dasar hukum kewenangan kerja lembaga tersebut dalam perkara-perkara pelanggaran
HAM yang berat.
6.
Bahwa
berdasarkan hal tersebut Kemenko Polhukam dan Komnas HAM tidak berwenang
memutuskan secara sepihak pendekatan Rekonsiliasi dalam penyelesaian perkara
pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki secara hukum melalui Penyelidikan
Pro-Justisia.
7.
Bahwa Jenderal
TNI (Purn.) Wiranto adalah salah satu aktor yang diduga bertanggung jawab atas
peristiwa pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Nama Wiranto disebutkan di
dalam laporan Komnas HAM sendiri: seperti peristiwa penyerangan 27 Juli,
Tragedi Trisakti, Semanggi I-II, Mei 1998, Penculikan dan penghilangan aktivis
1997/1998, dan Biak Berdarah. Tidak kalah penting adalah ketika namanya
disebut-sebut di dalam laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandat Serious Crimes
Unit, yang menyatakan bahwa “Wiranto gagal untuk
mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan
tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku.” Pernyataan
lantang ini pula yang akhirnya menyulitkan Wiranto bergerak masuk dalam
yurisdiksi internasional, salah satunya adalah Amerika Serikat (US Visa Watch
List) di tahun 2003. Selain itu pada masa Presiden KH. Abdurrahman Wahid atau
Gus Dur, Wiranto juga dipecat dari jabatan Menko Polhukam, karena dugaan
keterlibatan Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.
8.
Bahwa
berdasarkan sejumlah laporan di atas, patut diduga kebijakan politik yang
dipimpin oleh Kemenko Polhukam dalam hal ini merupakan agenda cuci tangan,
melanggengkan impunitas dan menghindari pertanggungjawaban hukum atas peristiwa
pelanggaran HAM masa lalu.
9.
Bahwa
berdasarkan uraian di atas maka patut diduga kebijakan pendekatan Rekonsiliasi
yang digagas oleh Kemenko Polhukam adalah bentuk penggunaan kewenangan yang
digunakan untuk kepentingan atau tujuan lain. Dalam hal ini kebijakan yang
diambil oleh Kemenko Polhukam tidak sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik (AUPB) dalam UU Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014. Terutama
asas “tidak menyalahgunakan kewenangan” untuk kepentingan pribadi atau
kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan
tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan
kewenangan.
10.
Bahwa dalam
berdasarkan uraian diatas secara hukum dan politik posisi Menko Polhukam tidak
cakap untuk mengambil kebijakan terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat
III. Pendekatan Rekonsiliasi Sepihak Oleh
Menkopolhukam dan Komnas HAM Menimbulkan Kerugian
1.
Bahwa
kebijakan rekonsiliasi sepihak dengan konsep yang tidak jelas memunculkan
banyak pertanyaan apa yang akan direkonsiliasikan, siapa yang dimaafkan dan
memaafkan apabila tidak ada mekanisme hukum pengungkapan kebenaran yang bekerja
terlebih dahulu.
2.
Model
Rekonsiliasi yang tidak jelas dan tidak didasarkan pada pemenuhan hak korban
akan keadilan, kebenaran dan pemulihan akan merugikan korban dan keluarga
korban yang telah berjuang selama 13 tahun terahir. Upaya mendapatkan hak para
korban atas kepastian hukum serta mengetahui kebenaran yang telah dilakukan
justru berpotensi ditutup dengan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap
impunitas dengan cara-cara pendekatan Rekonsiliasi yang tidak jelas alas hukum,
arah dan cara bekerjanya.
IV. Rekomendasi kepada Ombudsman
Bahwa berdasarkan hal tersebut, sesuai dengan tugas dan kewenangan
Ombudsman, kami mendorong Ombudsman untuk segera:
Pertama, menindaklanjuti laporan ini dengan dengan
memberikan rekomendasi evaluatif terhadap Kemenko Polhukam dan Komnas HAM
terhadap pendekatan Rekonsiliasi sepihak yang berpotensi bertentangan secara
hukum, melampaui wewenang dan merugikan korban dan keluarga korban.
Kedua, merekomendasikan kedua lembaga tersebut untuk mematuhi seluruh
mekanisme hukum dalam penyelesaian pelanggaran HAM Berat, mendorong lahirnya
keputusan atau kebijakan politik yang akuntabel, transparan dan pro terhadap
keadilan, pengungkapan kebenaran dan pemulihan bagi korban.
Ketiga, menghitung biaya yang dikeluarkan untuk rangkaian tindakan yang
diduga Maladministrasi a quo dengan asumsi telah terjadi
pemborosan atau penggunaan uang negara secara tidak layak.
Keempat, mengumumkan hasil temuan, kesimpulan dan
rekomendasi Ombudsman kepada publik.
Jakarta, 2 Februari 2017
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS),
Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK),
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Imparsial,
Setara Institute,
Koalisi Seni Indonesia,
iLab.
0 komentar:
Posting Komentar