Hendi Jo | Selasa 21 November 2017 WIB
Tentang seorang manusia yang memandang kemanusiaan
melebihi semua ideologi.
Foto: Ron Giling/Arsip Nasional Belanda.
Hari ini H.J.C.
Princen berulangtahun. Jika dia masih ada di tengah kita, usia lelaki yang
akrab dipanggil Poncke itu sudah mencapai angka 92. Namun nyatanya Poncke sudah
pergi sejak Februari 2002 dan sekarang jasadnya bersemayam di Taman Pemakaman
Umum Pondok Kelapa, Jakarta Timur, tempat yang dia pilih sendiri untuk
beristirahat panjang.
Poncke sebenarnya sangat bisa
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tahun 1949, Presiden Sukarno telah
menganugerahinya Bintang Gerilya dan itu memberinya hak untuk dimakakamkan di
“tempat yang terhormat” tersebut. Tapi sejak awal, Poncke telah menolaknya.
“Papah pernah bilang ingin dimakamkan sebagai orang biasa saja dan tidak di TMP.Kalibata
yang dia bilang banyak koruptornya,” ungkap Wilanda Princen suatu hari kepada
saya.
Saya percaya Poncke pernah mengatakan
itu. Sebagai pejuang kemanusiaan yang hampir tiap waktu bertempur melawan
kesewenang-wenangan, hal-hal yang terkait dengan heroisme baginya sudah
selesai. Tak ada sikap pamrih seperti dimiliki sebagian besar para politisi
kita hari ini. Karakter dan prinsipnya sangat jelas. “Dia orang yang setia
kepada hatinurani dan rakyat tertindas,” ujar Y.B. Mangunwijaya alias Romo
Mangun dalam Gerilya yang Tak Pernah Selesai.
Romo Mangun tentunya tidak sembarang
meyebut Poncke seperti itu. Tapi saya yakin, dia tidak memiliki kalimat lain
untuk melukiskan seorang lelaki Belanda yang “nekad” berpihak kepada “kaum
ekstrimis” yang dimusuhi negaranya hanya karena soal kemanusiaan. Padahal bila
mau, (seperti puluhan ribu serdadu Belanda lainnya saat itu) bisa saja Poncke
berdalih bahwa dia hanya eksekutor dari para jenderal semata. Tapi toh itu
tidak dilakukannya.
“Aku pernah menjadi bagian suatu negara
yang ditindas oleh para fasis Jerman, apakah aku harus berlaku sama seperti
para penindas itu kala berhadapan dengan orang-orang Indonesia yang ingin
merdeka?” kata Poncke saat saya wawancarai pada 1996.
Desember 1948, Poncke secara resmi
membelot ke kubu Republik. Ia lantas bergabung dengan Batalyon Kala Hitam
Divisi Siliwangi dan ikut melakukan long march dari Yogyakarta ke Jawa
Barat. Bersama sekira seribu prajurit (ditambah para perempuan dan anak-anak),
dia berjalan dari hari ke hari hampir dalam waktu dua bulan lamanya menyusuri
kaki gunung, hutan, sawah dan sungai.
Masih segar dalam ingatan Poncke, saat
mereka tengah berjalan tertatih-tatih dalam suatu barisan panjang, kerap kali
pesawat-pesawat tempur militer Belanda menghujani mereka dengan peluru dan bom.
Dia harus menjadi saksi semua hal buruk yang ditimbulkan oleh saudara-saudara
sebangsanya: orang-orang terluka karena bom, anak-anak stres karena ketakutan
dan para istri yang menangis karena kehilangan suami.
“Omong kosong, kalau itu semua tidak
membuatku semakin terikat dalam satu nasib dan satu penderitaan dengan mereka!”
ujarnya seperti dikutip oleh penulis Joyce van Fenema dalam Kemerdekaan
Memilih. Bisa jadi, pengalaman itu pula yang menjadikan Poncke
selalu memilih posisi bersama rakyat tertindas dan bersebrangan dengan pihak
penguasa. Baginya kemanusiaan melebihi semua ideologi yang dimiliki manusia
termasuk nasionalisme.
Setelah keluar masuk penjara karena
kerap berbeda pendapat dengan pemerintah Sukarno, pada awal 1969, Poncke
lagi-lagi memerahkan kuping penguasa. Kali ini rezim Orde Baru di bawah
Jenderal Soeharto yang menjadi sasarannya. Saat itu, di hadapan pers, Poncke
membongkar pembunuhan ratusan anggota dan simpatisan PKI (Partai Komunis
Indonesia) di Purwodadi.
Rezim Orde Baru murka. Mereka menyebut
berita itu disebarkan oleh seorang “komunis kesiangan”. Bahkan tanpa tedeng
aling-aling, Gubernur Jawa Tengah Moenadi menuduh Poncke sebagai anggota Partai
Komunis Belanda. Sebuah tuduhan yang tentu saja sangat ngawur.
Sudah pasti Poncke tak pernah peduli
dengan semua tuduhan tersebut. Bahkan saat dia dikecam sebagai “sekali
pengkhianat tetap pengkhianat” oleh Ali Said (Ketua Komnas HAM) karena
pembelaanya kepada para aktivis pro kemerdekaan Timor Leste, Poncke tetap setia
dengan jalan oposisi-nya.
Poncke memang manusia yang jarang
dilahirkan oleh zaman. Saya pikir, hingga kini tak banyak orang seperti dia
lagi. Kendati begitu banyak hal yang bisa diteladani darinya, orang-orang hari
ini agaknya tidak akan seberani dia lagi ketika harus memilih jalan. Dirgahayu,
Poncke!
Sumber: Historia.Id
0 komentar:
Posting Komentar