Heyder Affan | 16 November 2017
Para pegiat YPKP 1965 wilayah Pati berdoa di lokasi yang diyakini merupakan kuburan massal di Desa Grogolan, Kabupaten Pati.
Sejumlah lokasi di wilayah Purwodadi, Jawa Tengah, diyakini sebagai tempat kuburan massal, pembuangan mayat, serta lokasi eksekusi orang-orang yang dituduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia, PKI, setelah Oktober 1965.
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan, YPKP 1965-1966 mengatakan menemukan 16 lokasi berbeda di wilayah Purwodadi dan sekitarnya yang menjadi kuburan dari sekitar 5.000 orang-orang yang 'dicap PKI' yang diduga kuat dibunuh oleh kelompok sipil bersenjata atas perintah tentara setelah Oktober 1965.
Keberadaan kuburan massal dan perkiraan jumlah korban tewas itu didasarkan pada keterangan sejumlah saksi mata, hasil pengecekan langsung, serta analisa tim YPKP.
"Perhitungan kami itu didasarkan keterangan saksi-saksi yang mengungkapkan bahwa tiap malam, tapol (tahanan politik) yang diculik itu mencapai 50 orang dari tahanan. Itu (terjadi) tiap hari dalam tiga bulan," ungkap aktivis YPKP 1965-1966, Bedjo Untung, Rabu (15/11).
YPKP juga mengakui temuan kuburan massal di Purwodadi 'mengacu' pada hasil penelitian aktivis HAM, Poncke Princen, pada 1969, yang disebut sebagai laporan pertama yang dirilis secara terbuka kepada khalayak umum tentang adanya dugaan pembunuhan massal pasca 1965 di Purwodadi.
Rabu (14/11) siang, temuan kuburan massal di Purwodadi itu disampaikan YPKP 1965-1966 kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, KOMNAS HAM, di Jakarta. Mereka kemudian meminta Komnas HAM untuk menindaklanjuti temuan tersebut.
Yayasan tersebut berpendapat bahwa walau Komnas HAM telah mengakui keberadaan kuburan massal 1965 di berbagai wilayah Indonesia, temuan ini tidak pernah ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah, sehingga penyelesaian dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa pasca-1965 tidak pernah menemukan titik terang hingga sekarang.
Apalagi, ada penolakan keras dari TNI dan sebagian kelompok Islam dan orang-orang yang menyebut antikomunis yang menganggap peristiwa tersebut 'sudah selesai' dan 'tidak perlu diungkit lagi'.
Berbagai acara yang disiapkan sebagai penyelesaian yang bersifat rekonsiliasi pun, seperti di YLBI Jakarta baru-baru ini, ditolak mentah-mentah oleh mereka.
Lebih lanjut Bedjo Untung mengatakan temuan 16 titik lokasi kuburan massal di Purwodadi merupakan yang 'terbesar' dibanding sekitar 122 titik kuburan massal lainnya yang tersebar antara lain di wilayah lain di Jawa Tengah, Banten, Jatim serta Bali.
"Mereka kemungkinan besar adalah orang-orang yang dicap PKI yang berasal dari Blora dan Kudus. Mereka dikirim ke Purwodadi, mungkin karena tempatnya strategis, banyak hutan dan curam," katanya.
'Setiap malam minggu, 50 orang diambil'
Salah-seorang saksi mata yang dihadirkan YPKP adalah Kandar Sumarno, pria kelahiran 1940 warga warga Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jateng, yang sekaligus penyintas korban kekerasan pasca-Oktober 1965.
"Saya mengetahui dengan kepala mata sendiri, setiap malam minggu, ada pengambilan 50 orang (yang dicap anggota atau simpatisan PKI) untuk dibunuh. Mereka dibawa ke (hutan) Monggot," ungkap Kandar kepada BBC Indonesia.
Hutan Monggot merupakan salah-satu lokasi yang diyakini YPKP sebagai salah-satu dari 16 lokasi kuburan massal di wilayah Purwodadi.
Lainnya adalah, antara lain, sungai Ganjing, sungai Glugu, Waduk Simo, Waduk Langon, Sendang Tapak, Daplang, Tego Wanu, Kedung Jati, Mojo Legi, serta Hutan Sanggarahan.
"Saya melihat langsung ada truk keluar-masuk ke (tempat) tahanan," ungkapnya ketika ditanya apakah dirinya melihat langsung ketika orang-orang itu 'dieksekusi'.
Ketika peristiwa 'para tahanan dijemput dengan menggunakan truk', Kandar mengaku berada di dalam 'ruangan tahanan' di bangunan Kantor Kecamatan Toroh.
Dia ditahan karena menjadi pengurus anak cabang Barisan Tani Indonesia (BTI) setempat -organisasi yang dianggap organisasi massa PKI.
Ketika ditanyakan bagaimana dia bisa memastikan bahwa orang-orang yang 'dijemput' itu dibunuh, Kandar menjelaskan hal itu didasarkan keterangan keluarga orang-orang yang dijemput kemudian 'tidak pernah kembali lagi'.
Bedjo Untung juga mengungkap kesaksian seorang bocah mengaku pernah menyertai kakeknya memandikan puluhan mayat yang 'dieksekusi'.
Apa komentar Ansor?
Gerakan Pemuda (GP) Ansor, yang mengelola Barisan Ansor Serbaguna (Banser), dan berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), merupakan salah-satu ormas yang disebut pernah 'terlibat' dalam beberapa kasus kekerasan pasca Oktober 1965, utamanya di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam perkembangannya, sejumlah pimpinan NU dan kaum muda organisasi ini melakukan upaya rekonsiliasi dengan mantan tapol 1965 dan keluarganya, seperti yang dilakukan organisasi Syarikat Indonesia -organisasi yang didirikan oleh para aktivis muda Nahdlatul Ulama, NU- pada tahun 2000.
Kepada BBC Indonesia, salah-seorang ketua GP Ansor, Nuruzzaman, mengatakan pihaknya sudah lama melakukan yang disebutnya 'rekonsiliasi kultural' dengan orang-orang mantan tapol 1965 dan keluarganya.
"Rekonsiliasi kultural tanpa diformalkan. Buktinya sangat banyak, misalnya pesantren-pesantren, ketika rezim Orde Baru tidak memberi kesempatan kepada anak-anak tapol PKI, pesantren 'kan menerima dengan baik," kata Nuruzzaman.
Menurutnya, kekerasan yang terjadi pasca-Oktober 1965 tidak bisa didudukkan sebagai peristiwa yang 'berdiri sendiri' karena ada sebab lain, misalnya, peristiwa 1948 ketika kyai-kyai NU menjadi korban aksi sepihak yang dilakukan PKI."
"Jadi, respon NU, selain NU 'dikompori' dan difasilitasi, juga ada beban sejarah yang pernah dialami 'pembantaian' PKI terhadap kita," katanya.
Karena itulah, Nuruzzaman mengajak para mantan tapol 1965 untuk melihat ke depan dan tanpa 'mengungkap dan mengungkit' masa lalu. "Ayo kita bersama-sama menatap masa depan, kita lupakan masa lalu," tandasnya.
Sumber: BBC Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar