Reporter: Akhmad Muawal Hasan | 22 November, 2017
Noam Chomsky. FOTO/AP
- Total penjualan senjata AS ke Indonesia selama 24 tahun pendudukan Timor Timur bernilai 1 miliar dolar AS
- Noam Chomsky rajin membeberkan keterlibatan Barat, khususnya Amerika Serikat, dalam tragedi kemanusiaan dan huru-hara politik di Indonesia, dari Timor Timur hingga Papua.
“Sejak 1969 tentara Indonesia rutin menembaki demonstrasi damai, membakar pedesaan, dan menyiksa aktivis sipil,” demikian isi surat.
“Meski secara rutin dilarang dari provinsi tersebut, pengamat independen seperti Human Right Watch, Amnesty Internasional dan Tapol telah mendokumentasikan pelanggaran HAM yang parah dan endemik yang dilakukan pemerintah Indonesia di Papua Barat. Unit khusus dan pasukan kontra-terorisme seperti Kopassus dan Detasemen 88—dilatih oleh negara-negara Barat—terlibat dalam pemukulan, pembunuhan ekstra yudisial dan pembunuhan massal.”International Academics for West Papua mengajukan beberapa tuntutan. Antara lain mendorong pemerintah Indonesia untuk mendemiliterisasi Papua Barat—dimulai dengan penarikan pasukan dari wilayah tersebut, membebaskan tahanan politik, dan membuka akses bagi jurnalis internasional maupun pegiat kemanusiaan. Tak lupa, mereka juga mengajak komunitas internasional untuk turut peduli dengan apa yang terjadi di Papua Barat.
Surat diakhiri dengan daftar para penandatangan. Di urutan pertama ada satu nama yang tak asing lagi dalam pusaran isu pelanggaran HAM: Noam Chomsky.
Noam Chomsky berstatus sebagai profesor linguistik di Institute Teknologi Massachusetts (MIT). Namun, selama ini ia juga aktif sebagai kritikus sosial dan politik. Kritikan pria kelahiran Philadelphia, Amerika Serikat, pada 7 Desember 1928 ini tergolong pedas, terutama untuk kebijakan luar negeri pemerintah AS yang berdampak buruk pada negara lain. Cukup pedas sampai-sampai masuk ke daftar musuh Presiden Richard Nixon pada era 1970-an.
Pada Desember 2013, Tabloid Jubi merilis pernyataan kritis Chomsky yang menilai situasi di Papua Barat sebagai sebuah skandal besar. Aktor utama di balik ketidakstabilan di tempat tersebut, katanya dalam sebuah video wawancara, adalah pemerintah AS dan Australia yang punya kepentingan terhadap sumber daya alam di Papua. Situasinya serupa dengan yang terjadi di Timor Timur, wilayah yang diperjuangkan kemerdekaannya oleh Chomsky sejak pertama kali terjadi invasi militer Indonesia pada 1975.
Pada 1974, Portugis memulai proses dekolonisasi Timor Timur setelah menguasainya selama berabad-abad. Sempat terjadi perang sipil skala kecil sebelum pejuang kemerdekaan Fretilin menguasai ibu kota Dili, dan menetapkan kemerdekaan pada 28 November 1975. Pemerintah Indonesia menyatakan klaim kemerdekaan itu adalah permintaan Barat. Maka lahir invasi militer pada dua bulan berikutnya, dan tahun 1976 Timor Timur resmi menjadi provinsi baru di Indonesia.
Aneksasi berlangsung hingga 1999, dan sepanjang periode tersebut muncul beragam bentuk pelanggaran hak asasi manusia kepada warga Timor Timur. Menurut hasil investigasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), selama 24 tahun pemerintah Indonesia melakukan penyiksaan sistematis, perbudakan seksual, eksekusi di luar hukum, pembantaian, dan bencana kelaparan yang disengaja kepada rakyat Timor Timur.
Jumlah korban tewas sulit diperkirakan secara tepat. Commission for Reception, Truth and Reconciliation(CAVR) melaporkan korban kematian terkait konflik di Timor Timur setidaknya berjumlah 102.800 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 18.600 orang dibunuh atau hilang, dan sekitar 84.000 orang meninggal karena kelaparan atau sakit parah. Angka-angka tersebut mewakili perkiraan minimum dari CAVR yang temuannya diklaim berbasis ilmiah.
Dalam retrospeksi yang dimuat Le Monde diplomatique bulan Oktober 1999, Chomsky memaparkan dukungan AS dalam invasi militer Indonesia dalam bentuk diplomatik maupun transaksi dagang senjata. Chomsky menilai angka penjualan senjata AS ke Indonesia “mengesankan”. Totalnya hingga 1 miliar dolar AS sejak 1975 hingga 1999. Bantuan militer AS untuk Indonesia di era Bill Clinton (1993-2001) berjumlah sekitar 150 juta dolar AS, dan pada 1997 Pentagon masih melatih pasukan Kopassus.
Sementara dalam retrospeksi yang ditulis Chomsky pada 1994 untuk Guardian dan dipublikasi ulang di laman pribadinya, pada invasi 1975, mayoritas persenjataan tentara Indonesia berasal dari AS. Chomsky menyebut perkiraan hingga 90 persen. Tahun 1977 persediaan senjata menipis, Chomsky sebut sebagai buah dari begitu semangatnya tentara Indonesia untuk misi menganeksasi Timor Timur. Pemerintah AS segera menindaklanjuti dengan menjual lebih banyak senjata. Inggris turut membantu setahun setelahnya, kemudian diikuti dengan Perancis.
Chomsky berusaha mengabarkan tragedi kemanusiaan di Timor Timur sejak periode awal muncul invasi. Pada bulan November 1978 dan Oktober 1979, Chomsky menyampaikan pernyataan kepada Panitia Keempat Majelis Umum PBB tentang tragedi Timor Timur dan kurangnya liputan media internasional di tempat tersebut. Pada 1999, saat referendum akan digelar di Timor Timur, Chomsky menulis tiga alasan mengapa rakyat AS perlu peduli dengan isu ini.
“Pertama, sejak invasi Indonesia pada bulan Desember 1975, Timor Timur telah menjadi saksi kekejaman terburuk di era modern—kekejaman yang semakin meningkat saat ini,” tegas Chomsky melalui kanal Mother Jones.
“Kedua, pemerintah AS telah memainkan peran yang menentukan dalam meningkatkan kekejaman ini dan dapat dengan mudah bertindak untuk mengurangi atau menghentikannya. Tidak perlu mengebom Jakarta atau menjatuhkan sanksi ekonomi. Cukup bagi Washington untuk menarik dukungan dan untuk menginformasikan kepada kliennya di Indonesia bahwa permainan telah berakhir. Ini tetap berlaku karena situasinya kini mencapai titik balik yang penting—inilah alasan ketiga.”Referendum dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 karena Presiden B.J. Habibie menyanggupi permintaan Sekjen PBB Kofi Annan. Hampir 80 persen rakyat Timor Timur ingin merdeka. Chomsky turut merasa lega, namun setelahnya kembali prihatin karena hasil referendum tak bisa diterima dengan legowo oleh TNI, yang membalas kekalahan dengan menyerbu warga Timor Timur, menghancurkan banyak rumah dan bangunan hingga melahirkan gelombang pengungsi ke daerah sekitarnya.
Chomsky mendukung website East Timor Action Network (ETAN). Beberapa tahun sekali, sejak kemerdekaan Timor Timur pada 20 Mei 2002, ia menekankan dukungannya untuk ETAN dan mengajak agar para pembaca turut berkontribusi untuk menjaga ETAN tetap mengudara. Mendukung ETAN, kata Chomsky, turut membantu Timor Timur memelihara kemerdekaannya dan mendukung kemerdekaan bagi komunitas-komunitas yang masih terjajah lainnya.
Chomsky turut bersuara atas tragedi pembantaian tahun 1965-1966 yang menyeret nyawa ratusan ribu anggota Partai Komunis Indonesia dan para tertuduh lainnya. Di tulisannya untuk Jurnal Indonesia volume 66 (Oktober 1998), Chomsky menyebut peristiwa yang menjadi bibit penggulingan Presiden Sukarno itu sebanding dengan kekejaman Joseph Stalin di Rusia, Adolf Hitler di Jerman, atau Mao Zedong di RRC. Dalang di balik ini semua tak lain adalah rezim Soeharto, yang disebut Chomsky berkuasa dengan bantuan Badan Intelijen Pusat AS (CIA).
Soeharto telah jadi favorit pemerintah dan investor Barat sejak 1965. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Gedung Putih telah berulang kali melanggar keputusan Kongres agar tetap bisa memberi bantuan dan pelatihan militer kepada militer Indonesia. Chomsky mencatat bantuan ini datang dari peraturan presiden AS Jimmy Carter pada 1978 maupun Bill Clinton pada 1993 dan 1998. Indonesia yang ramah investasi, kata Chomsky, jadi hadiah terbaik bagi Barat yang haus akan bahan mentah dan hasil tambang yang melimpah di Indonesia—termasuk Papua.
Manuver Barat serupa juga terbaca di Timor Timur. Australia dulunya jadi satu-satunya negara asing yang mengakui Timor Timur sebagai salah satu provinsi Indonesia (dukungan yang senada kemudian datang dari AS, Jepang, Kanada, dan Malaysia). Motivasi utama dari pengakuan resmi ini kemudian terungkap jelas pada tahun 1989 ketika pemerintah Australia dan rezim Soeharto menandatangani kesepakatan untuk mengeksploitasi minyak di wilayah laut antara Timor Timur dan Australia.
Kontrak tersebut benar-benar dijalankan usai Insiden Santa Cruz. Bulan November 1991 militer Indonesia membantai 271 warga sipil pro-demokrasi Timor Timur di kuburan Santa Cruz, Dili. Tercatat 382 orang terluka, dan 250 lainnya hilang. Tragedi ini berhasil direkam oleh dua jurnalis AS Amy Goodman dan Allan Nairn, serta ditangkap melalui video oleh jurnalis Inggris Max Max Stahl.
Reputasi Indonesia di mata warga dunia pun tersungkur. Protes datang bergelombang, dan publik internasional makin tercerahkan atas apa yang sebenarnya terjadi di Timor Timur—salah satunya berkat suara Chomsky.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar