Dylan Aprialdo Rachman | Kompas.com - 02/08/2018, 17:45 WIB
Sekitar 30 orang relawan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan perwakilan korban kejahatan HAM berat masa lalu menggelar aksi #JanganORBALagi di depan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Jakarta, Kamis (2/8/2018) sore.
JAKARTA, KOMPAS.com - Sekitar 30 orang relawan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan perwakilan korban kejahatan HAM berat masa lalu menggelar aksi #JanganORBALagi di depan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Jakarta, Kamis (2/8/2018).
Relawan Kontras, Rozy, mempertanyakan upaya pemerintah yang berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional ( DKN) untuk menuntaskan kejahatan HAM masa lalu. Rozy menilai, pembentukan DKN tak akan menuntaskan masalah dan memenuhi harapan pihak korban. "Itu bukan jawaban kasus pelanggaran HAM masa lalu. Itu tidak cukup menyembuhkan hati orangtua dan anak-anak korban yang dibunuh, disiksa oleh aparat waktu itu. Kami memperjuangkan hak-hak korban," kata Rozy dalam orasinya.
Rozy berharap pemerintah harusnya melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Salah satunya dengan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur hukum.
Di sisi lain, perwakilan korban Tragedi 1965, Bedjo Untung, tak sepakat dengan rencana pembentukan DKN. Bagi dia, keberadaan DKN tak menuntaskan secara utuh kasus kejahatan HAM berat masa lalu "Itu buang-buang waktu. Kami menolak.
DKN tidak menyelesaikan masalah," kata Bedjo Untung. Ia menilai seharusnya pemerintah bersikap proporsional antara pembentukan DKN dan penegakan hukum kejahatan HAM berat masa lalu. Hal itu guna menjamin perlindungan serta kepastian hukum para pihak korban.
"Rekonsiliasi, yes. Tapi rekonsiliasi tidak bisa dilaksanakan tanpa keadilan. Keadilan harus diungkap dengan kebenaran. Mari kita duduk bersama," kata dia.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mempersilakan aksi itu dilakukan di depan kantornya. Namun, ia meminta peserta aksi tak sekadar mengkritik tanpa memberikan solusi. Wiranto mengaku sudah pernah bertemu dengan pihak-pihak korban kejahatan HAM berat masa lalu. Dari pertemuan itu, ia menilai penuntasan kejahatan HAM masa lalu cukup rumit.
"Kasus yang terjadi sebelum Undang-Undang HAM disahkan perlakuannya berbeda dengan yang terjadi setelah undang-undang tersebut disahkan. Setelah adanya laporan dari masyarakat melalui Komnas HAM, proses harus dilakukan melalui persidangan DPR," kata Wiranto.
"Setelah ditetapkan adanya pelanggaran HAM berat, Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc, lalu serahkan ke Jaksa Agung pada tahap akhir. Kalau setelah UU, dari Komnas HAM bisa langsung ke Jaksa Agung," ujar mantan Panglima ABRI ini.
Wiranto menegaskan, pemerintah pada dasarnya selalu berupaya menuntaskan hal seperti ini bersama Komnas HAM.
Penulis : Dylan Aprialdo Rachman
Editor : Bayu Galih
Sumber: Kompas.Com
0 komentar:
Posting Komentar