Oleh: Iswara N Raditya - 30 Juli 2018
Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, bernama asli Ahmad Aidit dan berasal dari keluarga Muslim taat.
Abdullah Aidit menginap di rumah anak sulungnya, Achmad, di Jalan Pegangsaan Barat Nomor 4, Jakarta pada malam jahanam 30 September 1965. Ia menyaksikan puteranya pergi bersama tiga orang tentara. Achmad yang dimaksud tidak lain adalah Dipa Nusantara (D.N.) Aidit, Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (PKI). Itulah terakhir kalinya Abdullah melihat Achmad.
Lelaki renta itu semakin bertanya-tanya ketika beberapa hari kemudian datang massa yang dengan beringas menyerang kediaman Achmad. “Mereka berteriak-teriak dan melempari rumah kami,” kenang Ilham, anak Achmad, cucu Abdullah, dikutip dari seri buku Tempo Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara (2010: 85).
Abdullah hanya bisa merenung dan cemas, menerka-nerka nasib putra kebanggaannya itu.
Achmad, begitu Abdullah memberikan nama untuk sang putra sulung. Lengkapnya Achmad Aidit, merujuk nama belakangnya sendiri. Nama Aidit kelak juga akan disematkan kepada anak-anaknya yang lain, meskipun bukan marga.
Menurut J.F. Tualaka dalam Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan (2009), keluarga Abdullah amat terpandang di Belitung kendati termasuk pendatang. Leluhurnya berasal dari Agam, Sumatra Barat. Abdullah dikenal sebagai tokoh agama dan panutan masyarakat, juga mantri kehutanan. Ia pendiri organisasi Nurul Islam yang berorientasi kepada Muhammadiyah (hlm. 50).
Walaupun sempat bekerja untuk pemerintah daerah, Abdullah sebenarnya anti-kolonial. Ia memimpin gerakan pemuda di Belitung semasa era pergerakan nasional. Nantinya, setelah Indonesia merdeka, Abdullah terpilih sebagai anggota parlemen mewakili rakyat Belitung.
Ayah Abdullah atau kakek Achmad, bernama Haji Ismail, adalah pengusaha ikan yang sukses sekaligus sosok yang dihormati lantaran sudah menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Murad Aidit, adik kandung Achmad, dalam buku Aidit Sang Legenda(2005), bercerita,
Lelaki renta itu semakin bertanya-tanya ketika beberapa hari kemudian datang massa yang dengan beringas menyerang kediaman Achmad. “Mereka berteriak-teriak dan melempari rumah kami,” kenang Ilham, anak Achmad, cucu Abdullah, dikutip dari seri buku Tempo Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara (2010: 85).
Abdullah hanya bisa merenung dan cemas, menerka-nerka nasib putra kebanggaannya itu.
Keluarga Aidit yang Islami
Tanggal 30 Juli 1923, tepat hari ini 95 tahun lalu, menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Abdullah dan istrinya, Nyi Ayu Mailan. Anak pertama mereka lahir, laki-laki. Betapa senang dan bangganya Abdullah.Achmad, begitu Abdullah memberikan nama untuk sang putra sulung. Lengkapnya Achmad Aidit, merujuk nama belakangnya sendiri. Nama Aidit kelak juga akan disematkan kepada anak-anaknya yang lain, meskipun bukan marga.
Menurut J.F. Tualaka dalam Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan (2009), keluarga Abdullah amat terpandang di Belitung kendati termasuk pendatang. Leluhurnya berasal dari Agam, Sumatra Barat. Abdullah dikenal sebagai tokoh agama dan panutan masyarakat, juga mantri kehutanan. Ia pendiri organisasi Nurul Islam yang berorientasi kepada Muhammadiyah (hlm. 50).
Walaupun sempat bekerja untuk pemerintah daerah, Abdullah sebenarnya anti-kolonial. Ia memimpin gerakan pemuda di Belitung semasa era pergerakan nasional. Nantinya, setelah Indonesia merdeka, Abdullah terpilih sebagai anggota parlemen mewakili rakyat Belitung.
Ayah Abdullah atau kakek Achmad, bernama Haji Ismail, adalah pengusaha ikan yang sukses sekaligus sosok yang dihormati lantaran sudah menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Murad Aidit, adik kandung Achmad, dalam buku Aidit Sang Legenda(2005), bercerita,
“Kakek kami dulu mempunyai pekarangan seluas 2000 meter persegi” (hlm. 54).Sementara dari garis ibu, keluarga Aidit tidak kalah pamornya. Nyi Ayu Mailan, ibunda Achmad, berasal dari keluarga bangsawan. Ayah Mailan yang juga kakek Achmad, Ki Agus Haji Abdul Rahman, adalah seorang tuan tanah, kaya-raya, sudah haji pula.
Melihat latar belakang itu, tidak mengherankan jika Achmad dan adik-adiknya dididik secara islami sejak dini. Saban hari sepulang sekolah, anak-anak ini langsung belajar mengaji, dibimbing Abdurrachim, paman mereka.
“[…] Bang Amat (Achmad) tamat mengaji, khatam Alquran. Kami semua khatam Alquran. Dan kalau perayaan khatam ini, kami bagaikan raja, dihormati dan dikendurikan,” kisah Sobron Aidit, adik tiri Achmad, dalam buku Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan (2003: 47).Di kalangan keluarga dan teman-teman dekatnya, Achmad memang akrab dengan panggilan Amat. Orang-orang sekampung mengenalnya sebagai sosok bocah yang alim, rajin ke masjid, juga pandai mengaji.
Achmad dikenal pula sebagai tukang azan atau muazin. Seperti diungkap Satriono Priyo Utomo dalam Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia (2016: 35), ia sering diminta untuk mengumandangkan azan karena suaranya dianggap keras dan lafalnya jelas.
Hingga akhirnya beranjak remaja, Achmad merantau ke Batavia dan mulai turut dalam arus pergerakan nasional. Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010) menyebut bahwa Achmad pernah menjadi anak emas Mohammad Hatta (hlm. 19).
Pergaulan Achmad semakin luas. Memasuki era pendudukan Jepang yang berlangsung sejak 1942, ia berkenalan dan terlibat intensif dengan tokoh-tokoh nasional macam Sukarno, Wikana, Chaerul Saleh, Sukarni, dan lain-lainnya. Menjelang masa-masa itu, Achmad Aidit memutuskan bersulih nama menjadi Dipa Nusantara (D.N.) Aidit.
Islam, Komunisme, dan Pancasila
Abdullah semula menentang kehendak anak sulungnya yang ingin mengganti nama Achmad dengan Dipa Nusantara. Bukan tentang keluarga atau agama, Abdullah hanya tidak ingin ribet dengan urusan administrasi jika Achmad berganti nama.“Alasan sebenarnya adalah persoalan tertib administrasi, sebab nama Achmad sudah tercetak pada slip gajinya (Abdullah) sebagai pegawai dinas kehutanan. Pasti akan timbul kesulitan kalau tiba-tiba dimunculkan nama lain,” jelas Murad mengenai pergantian nama kakaknya itu (hlm. 19).Kehidupan kolonial memang menggembleng Achmad menjadi sosok yang lebih nasionalis. Atas alasan itulah ia ingin mengganti nama depannya menjadi nama yang menurutnya lebih “Indonesia”.
Perubahan nama dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit diresmikan pada akhir era Belanda di Indonesia sebelum kedatangan Jepang. Perubahan nama itu, pada akhirnya, menegaskan juga perubahan pandangan hidup Aidit tentang dunia, terutama tentang Indonesia. Setelah berganti nama, D.N. Aidit kian mantap melakoni perjuangan politiknya secara lebih revolusioner demi membela kaum buruh-tani yang tertindas, dan nantinya dikenal sebagai salah satu pentolan PKI.
Namun, pengalaman religiusitas di masa kecil itu tidak sepenuhnya hilang dari Aidit. Sebagai orang yang masa kecilnya diisi oleh kentalnya atmosfir keagamaan, membuatnya cukup percaya diri untuk beberapa kali berbicara tentang Islam, khususnya dalam usaha mengikis tuduhan anti-agama yang disematkan kepada PKI.
Pada 1962, untuk menangkal tudingan terkait sikap PKI terhadap Islam dan Pancasila, dikutip dari tulisan Yunantyo Adi berjudul “D.N. Aidit dan Agama” dalam portal elsaonline.com, ia mengatakan:
“Kaum komunis sadar, dengan menerima Pancasila yang sila pertamanya adalah percaya kepada Tuhan YME berarti juga paham tidak boleh sama sekali membuat propaganda anti-agama di Indonesia. Hal ini sungguh kami patuhi dengan sepenuh hati karena kami kaum komunis sama sekali tidak berminat menyibukkan diri dalam propaganda semacam itu.”Dalam wawancara dengan Solichin Salam yang dimuat di Majalah Pembina edisi 12 Agustus 1964, dikutip dari Historia.id, menjawab pertanyaan “apakah benar ajaran Marxisme tidak mengakui adanya Tuhan, serta berpendapat bahwa agama adalah candu bagi rakyat?” Aidit menegaskan:
“Kami berpendapat, agama yang dianut masing-masing orang adalah masalah pribadi. Karena PKI berdasarkan Marxisme, dan karena itu memahami dengan baik akar-akar sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama.”
Urusan politik, bagi Aidit, tidak seharusnya dicampuradukkan dengan masalah agama.
“PKI adalah partai politik. Benar apa yang saudara katakan bahwa banyak anggota PKI memeluk agama. Saya dapat pastikan, di dalam PKI terdapat lebih banyak orang yang menganut agama Islam daripada di dalam suatu partai Islam yang kecil,” ucapnya kepada Solichin Salam.Jauh sebelumnya, pada 28 April 1954, saat masih menjabat sebagai Sekretaris I PKI, Aidit pernah berkomentar keras terhadap partai politik yang mengklaim suatu agama sebagai milik mereka sendiri. Partai politik yang dimaksud adalah Masyumi.
“Nabi Muhammad bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi,” tandas Aidit, dinukil Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral (2013).Permusuhan Masyumi dan PKI memang terang benderang. Kendati dalam kehidupan sehari-hari tokoh-tokohnya bisa dan biasa berinteraksi, di ruang-ruang publik (baik media massa, gedung-gedung parlemen hingga lapangan kampanye) keduanya biasa saling serang dan hantam secara terbuka. Kecurigaan Masyumi terhadap PKI, yang mereka anggap memusuhi agama, tidak pernah disimpan-simpan, melainkan diutarakan dengan terus terang. Begitu juga sebaliknya. PKI pun sering melontarkan kecaman terhadap Masyumi, salah satunya ucapan Aidit di atas.
Sontak kata-kata itu menuai kritik dan kemarahan. Aidit sampai harus memberikan klarifikasi bahkan meminta maaf.
“Apabila di antara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti-agama.”Tragedi Gerakan 30 September 1965 menjungkirbalikkan kehidupan keluarga besar Aidit, termasuk sang ayah, Abdullah. Setelah sedikit tahu apa yang terjadi sehingga Achmad dijemput tentara pada malam jahanam itu, Abdullah paham bahwa itulah awal dari akhir segalanya.
Abdullah akhirnya bisa pulang ke Belitung. Namun, ia sakit-sakitan lalu wafat tiga tahun berselang. Sakitnya Abdullah lantaran memikirkan nasib anak-cucunya yang tercerai-berai, beberapa ditangkap, dipenjara, hingga diasingkan, ada yang terpaksa hidup di luar negeri dan tidak berani kembali. Achmad, putra sulungnya itu, dikabarkan telah mati, konon dieksekusi tentara di Boyolali.
Jasad Abdullah tergolek selama tiga hari, membusuk. Tidak ada yang sudi mengurus jenazahnya. Orang-orang takut terkena getah tragedi berdarah 1965 yang melibatkan PKI, partai besutan anaknya, Achmad Aidit.
"Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti-agama.” (D.N. Aidit)
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar