26 Juli 2018 | Nuraki Aziz
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Sukarno, diikuti Mayjen Soeharto mengumumkan Surat Perintah Sebelas Maret di Istana Bogor. | BERYL BERNAY/GETTY IMAGES
Melalui sejumlah dokumen temuan seorang sejarawan terungkap bahwa operasi pembantaian orang-orang di berbagai pelosok Indonesia pada periode 1965-1966 dikoordinir langsung oleh Mayor Jenderal Soeharto, yang kemudian menjadi presiden menggantikan Soekarno.
Dokumen-dokumen itu dituangkan menjadi sebuah buku berjudul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder atau 'Tentara dan Genosida di Indonesia: Tata Cara Pembunuhan Massal' oleh Jess Melvin, sejarawan dari Sydney Southeast Asia Centre.
Menurutnya, berdasarkan beragam dokumen tersebut, dapat diketahui bahwa "militer mengaktifkan rantai komando militer yang telah dibentuk sebelum tanggal 1 Oktober (1965) untuk melakukan apa yang digambarkan sebagai operasi pembasmian".
"Keadaan darurat militer diterapkan di Sumatra, di mana komando ini beroperasi. Tanggal 4 Oktober, sekarang kita mengetahui militer melangkah lebih jauh, memerintahkan warga sipil untuk bergabung. Pada tanggal 14 Oktober, dibuat Ruang Yudha untuk mengoordinasikan operasi penumpasan ini."Operasi pembasmian ini diterapkan lewat berbagai rantai komando secara territorial dan struktural seperti Kodam, KOTI, RPKAD dan Kostrad dikoordinir langsung oleh Soeharto di pusat," Jess menegaskan.
Selanjutnya lewat buku setebal 322 halaman yang diterbitkan Routledge pada tahun 2018 tersebut, Jess Melvin menyatakan TNI melakukan operasi terencana untuk membunuh lawan politiknya.
"Temuan pentingnya adalah sekarang kita memiliki pemahaman tentang komunikasi di dalam militer tentang apa yang terjadi, catatan, dan perintah-perintah mereka. Sebelum saya menemukan dokumen-dokumen baru, satu-satunya bukti yang peneliti dapatkan adalah kesaksian korban selamat, pengumuman dari militer"
"Sampai tahun 2010, tidak diketahui bahwa militer pada kenyataannya mengeluarkan perintah tertulis saat pembantaian, atau merekam apa yang terjadi."Sekarang kita mengetahui bahwa, ya militer memang mengirim perintah, menerapkan kampanye, operasi yang sangat agresif, secara sengaja untuk menghabiskan musuh politiknya."
Jess mendapatkan dasar kesimpulannya ini dari temuan sejumlah dokumen di Provinsi Aceh.
"Saya mewawancara orang di Aceh. Korban selamat, saksi mata tetapi juga pelaku kekerasan. Dan kemudian saya mengetahui, terima kasih kepada rekan saya yang mempunyai dokumen KITLV, bahwa militer mengeluarkan berbagai perintah ini."Saya kembali ke Banda Aceh dan ke bagian arsip disana. Saya harus melihat dokumen yang mereka miliki. Saya tidak berharap akan diberikan dokumen, mungkin kalau beruntung, saya akan diberikan satu atau dua."Dan saya tidak mempercayai keberuntungan saya ketika saya diberikan satu kardus penuh dokumen yang menjelaskan secara sangat rinci tentang bagaimana penerapan operasi ini," tambah Jess yang mendapatkan gelar Ph.D nya tentang hal ini pada tahun 2015 di University of Melbourne.
Isi dokumen
Lewat bukunya Jess Melvin menyertakan dua buah dokumen tentang operasi KODAM Aceh. Yang pertama adalah tentang kronologi kejadian dari tanggal 1 sampai 6 Oktober 1965, terkait dengan Gerakan 30 September.
Dimulai dengan perintah dari Menteri/ Panglima Angkatan Darat untuk tetap tenang, menjalankan tugas, disiplin dan menunggu perintah setelah terjadinya kudeta di bawah pimpinan Kolonel Untung.
Dua hari kemudian terjadi demonstrasi tanpa izin yang telah digagalkan, tetapi sempat merusakkan toko. Tanggal 4 Oktober dilakukan rapat di kantor gubernur untuk menentukan sikap, dihadiri berbagai pihak di antaranya pihak pemerintah daerah dan militer.
Sehari berikutnya pada sebuah briefing khusus disebutkan bahwa "perasaan anti-PKI sudah sangat meluas dan dapat dibuktikan dengan adanya pamflet-pamflet, spanduk-spanduk, coretan-coretan dan teriakan-teriakan".
Protes menentang PKI ini terus meningkat pada tanggal 6 Oktober sore dengan demonstrasi oleh PNI dan ormasnya, menuntut pembubaran PKI, setelah pada pagi harinya tujuh parpol menuntut pembubaran PKI dan mengutuk partai itu.
Dukungan KODAM Aceh terhadap operasi penumpasan PKI dan pendukungnya semakin terlihat pada dokumen kedua di buku Jess Melvin.
Angka dalam lingkaran Peta Kematian: 'Lampiran: Peta Intelijen menunjukkan 'pendukung PKI yang tewas'. Berdasarkan peta tersebut lebih 2.000 orang terbunuh dalam operasi di daerah-daerah yang telah disusupi PKI, dimana ditemukan senjata gelap dan tindakan subversif.
Pemaparan Jess Melvin ini dipuji Joshua Oppenheimer, sutradara yang masuk nominasi Piala Oscar atas karyanya, The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014).
Oppenheimer menyebut penelitian Jess Melvin "monumental".
"Dia menganalisa ribuan halaman dokumen rahasia dengan sabar dan kejelasan moral tanpa ragu. Hasilnya mengubah pemahaman kita tentang sejarah, identitas, dan politik Indonesia," sebut Oppenheimer.
Konteks penting
Salah satu pihak yang mempertanyakan pandangan sejarawan dari Australia ini adalah Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo, Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional, khususnya tentang konteks terjadinya peristiwa tersebut.
"Itu kan sebuah peristiwa sejarah untuk menghadapi pada waktu itu untuk menghadapi bahwa pada waktu itu Bung Karno jatuh sakit dan kemungkinan hidupnya tidak akan lama lagi, dan di bawah penanganan tim ahli dokter dari Cina.
Agus Widjojo yang juga ketua pengarah Simposium tragedi 1965 menjelaskan lebih jauh tentang buruknya keadaan kehidupan dan kesombongan PKI.
"PKI adalah partai komunis terbesar yang ada pada negara di luar negara komunis. Dan mereka itu dekat sekali dengan Bung Karno. Pada waktu itu ekonomi juga begitu merosot sampai kebutuhan bahan pokok itu harus dibagi. Nah PKI itu, dia arogan juga.
Agus, yang ayahnya Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo adalah salah satu perwira yang diculik dan dibunuh, mengatakan sebagian unsur TNI sudah terpengaruh PKI atau memang tidak berpikir lebih jauh.
"PKI pun sudah menyusupkan agen-agennya untuk menggalang agar ada elemen-elemen ABRI yang bersimpati kepada PKI. Melihat ada yang berseragam hijau pakai sepatu boot, bisa saja itu adalah unsur ABRI yang sudah digalang untuk berpihak kepada PKI.
"Di antara mereka juga ada elemen-elemen mereka yang digunakan untuk menculik para perwira angkatan darat. Ada juga yang bloon, dia disuruh diperintah tetapi dia nggak tahu untuk siapa perintah itu."
Polisi dan ormas cegah Seminar 1965 di LBH Jakarta
Sejak tanggal 1 Oktober, Soeharto memegang komando KODAM, disamping sudah menguasai KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat), RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) sebelumnya, disamping juga KOTI (Komando Operasi Tertinggi) yang digunakan untuk menerapkan hukum darurat militer di Sumatra.
"Yah sekarang kalau seandainya itu tidak terbalik, maka siapa yang akan membunuh dan siapa yang akan dibunuh, dikoordinasi. Kebencian masyarakat itu sudah begitu meluap. Siapa yang tidak panas hatinya dengan melihat rekan-rekannya itu dibunuh secara keji, dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya. Itu membuat darah mendidih, tahu," Agus menegaskan.
Berbagai temuan ini dipandang mengubah pandangan selama ini yang menyatakan tewasnya ratusan orang tersebut tidak direncanakan.
"Selama ini selalu dikatakan bahwa pembunuhan massal tahun 65-66 itu bersifat spontan. Jadi yang lebih banyak itu adalah konflik yang ada di tengah masyarakat."Temuan di dalam buku ini memperlihatkan bahwa semua itu diawali oleh operasi militer yang jelas perintahnya," kata Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI yang telah membaca bebagai artikel Jess Melvin terkait dengan hal ini.
Penyelidikan atau rekonsiliasi?
Masalah yang terus ada di pemikiran banyak pihak ini memunculkan pertanyaan tentang apa yang sebaiknya dilakukan untuk menyikapinya.
"Kita masuk kepada pertanyaan klasik antara peace versus justice (perdamaian dipertentangkan dengan keadilan). Kalau justice itu akan menguak kembali lubang luka lama, itu buat apa. Itu terjadi tahun '65. Berapa tahun dari sekarang ini. Sudah mati itu semua pelaku. Keadilan adalah rekonsiliasi, truth seeking, healing process(pencarian kebenaran, penyembuhan) untuk kita maju ke depan," kata Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo yang pernah menjadi Kepala Staf Teritorial TNI.
Sejak tahun 1980-an, para pengamat genosida telah menyatakan, di kulitnya, memang terjadi genosida, tetapi masalahnya adalah bagaimana membuktikannya. Asvi mengusulkan pembentukan penyelidikan yang dilakukan para sejarawan.
"Dengan temuan, bukti-bukti baru dari buku ini, sebaiknya pemerintah Indonesia tidak langsung menyangkal tetapi lebih baik menugaskan kepada masyarakat sejahrawan Indonesia untuk menanggapi bahkan kalau perlu melakukan penelitian sendiri mengenai masalah 65," kata Dr Asvi Warman Adam.
Dari tahun 2008 sampai 2012, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan menyeluruh. Tahun 2012, laporan terjadinya kejahatan kemanusian berdasar kebijakan negara dan perlunya peran militer diselidiki, diberikan ke Kejaksaan Agung.
Kemudian pada tanggal 1 Juni 2018 Jaksa Agung yang baru Prasetyo kembali menegaskan penolakannya terhadap laporan investigasi Komnas HAM mengenai kasus 65 ini dengan alasan bahwa laporan Komnas HAM hanya berdasarkan opini dan asumsi.
"Komnas HAM telah memberikan bukti yang mengisyaratkan penyelidikan ini harus dilakukan. Kita berharap pemerintah dapat secara lebih aktif mendorong dan melanjutkan proses investigasi yang telah dilakukan oleh Komnas HAM," tandas sejarawan Jess Melvin.Sumber: BBC Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar