Oleh: Alexander Haryanto - 28 Juli 2018
Baskara mengatakan sejarah Holocaust tidak diajarkan secara ideal di sekolah.
Sejarawan Baskara T. Wardaya mengatakan, kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di berbagai negara perlu diajarkan di sekolah guna mencegah terjadinya kekerasan di masa mendatang.
“Pendidikan bisa menjadi pintu masuk untuk memberikan pemahaman kepada siswa mengenai berbagai kekerasan di masa lalu,” kata Baskara dalam “Workshop Holocaust dan Kekerasan Massal Lain” di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang diadakan Pusdema atas kerja sama dengan Kotak Hitam dan UNESCO, Sabtu (28/7/2018).
Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang bisa diajarkan di sekolah itu adalah peristiwa pembunuhan secara sistematis terhadap orang Yahudi atau yang dikenal dengan istilah Holocaust pada perang dunia kedua. Pasalnya, menurut Baskara, kekerasan kemanusiaan itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada sentimen yang diciptakan, sehingga menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan.
Ia menjelaskan, peristiwa yang pecah pada tahun 1941 hingga 1945 itu justru merupakan bentuk akumulasi dari sentimen-sentimen terhadap orang Yahudi yang sudah dimulai sejak tahun 1933. Artinya, butuh waktu sekitar delapan tahun sentimen itu benar-benar pecah.
“Peristiwa Holocaust merupakan akumulasi dari sentimen terhadap anti-Yahudi yang dimulai pada 1933, saat itu ada imbauan boikot terhadap produk Yahudi dan orang Yahudi tak boleh jadi pegawai,” kata dia.
Peristiwa tersebut, kata Baskara, terjadi karena Pemimpin Jerman Adolf Hitler ingin membangun sebuah bangsa yang terbaik, yakni Aria di Kota Berlin. Sehingga, siapa pun yang ingin menghambat rencana tersebut akan dihabiskan.
“Yang ingin menghambat akan dihabisi, ada sekitar 6 juta orang Yahudi yang dibunuh, namun secara keseluruhan ada sekitar 17 juta jiwa,” ungkap Direktur Pusat Demokrasi dan HAM (Pusdema) ini.
Menariknya, kata dia, kekuasaan yang didapat Hitler tersebut justru ditempuh melalui sistem Demokrasi yang dipilih rakyat. Namun, ketika Hitler berhasil memegang tampuk kekuasaan, ia justru mengubah menjadi sistem otoriter yang menindas.
Kepemimpinan itu, kata Baskara, justru membuatnya semakin beringas dan tak hanya menyasar orang Yahudi saja, “tetapi juga orang-orang sakit, bangsa Slavia dan lain-lain,” ungkapnya.
Senada dengan Baskara, guru sejarah di sekolah Cilacap bernama Tri Suryo menambahkan, materi ajar di SMA memang tak banyak membahas sejarah Holocoust, sehingga ia menilai penting untuk memasukannya ke dalam materi untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa mendatang.
“Materi mengenai kekerasan ada di kurikulum sekolah, yakni pendidikan karakter. Namun, [materi yang diajarkan] harus materi yang mudah dipahami,” kata dia.
Dalam kesempatan tersebut, Baskara menjelaskan bahwa tragedi Holocoust bukan satu-satunya kasus kejahatan HAM massal yang terjadi pada abad 20. “Ada genoside yang dilakukan Turki terhadap Armenia, kekerasan Jepang terhadap bangsa Asia, konflik India-Pakistan, hingga Irlandia Utara dan Irlandia Selatan,” kata dia.
Selain di negara luar, kejahatan kemanusiaan juga pernah terjadi di berbagai daerah di Indonesia setelah tahun 1945, tepatnya di Aceh, Ambon, Poso dan Kalimantan. Namun peristiwa kekerasan yang terbesar adalah tragedi 1965. Masa awal peralihan antara Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto.
Hanya saja, kata Baskara, sejarah tersebut tidak diajarkan secara ideal di sekolah, “hanya secara normatif saja,” ungkapnya.
Yerry mengatakan, pembunuhan secara massal dan sistematis tersebut menyasar 500 ribu sampai 3 juta jiwa. Meskipun kasus 1965 secara spesifik menyasar kelompok kiri, tetapi tragedi tersebut juga berdampak pada eksistensi etnis Tionghoa, salah satu bentuknya adalah pengubahan nama mereka dan pelarangan kegiatan budaya. “Ini agak mirip Nazi,” kata dia.
Selain itu, ada 10 ribu orang korban yang dibuang ke Pulau Buru dan pencabutan warga negara bagi mereka yang di luar negeri. Padahal, kata Yerry, undang-undang Indonesia sudah jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan merasa aman.
Yerry mengatakan, saat ini orang-orang yang terlibat dalam kasus kejahatan HAM tersebut justru mendapat jabatan di pemerintahan. Sehingga, Yerry berpendapat bahwa hal tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwa “kekerasan boleh terjadi” karena mereka tidak diproses secara hukum atas kesalahan mereka.
Sampai saat ini, kata dia, pengalamannya selama tiga bulan di penjara masih membekas sampai saat ini, karena mengalami trauma. “[Setiap hari] Saya mendengar kekerasan, jeritan dan orang keluar dari ruang interogasi. Itu pengalaman yang membuat saya tidak suka kekerasan,” ungkapnya.
Bahkan, Stevtlana mengaku masih mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan saat ia pindah ke Yogyakarta. “Kami masih merasa takut menggunakan nama asli dan sulit mendapatkan pekerjaan,” kata dia.
Di sisi lain, Sugianto (72) justru dituduh terlibat PKI saat ia masih menjadi TNI AURI. Padahal, ia merasa tidak pernah bergabung dengan partai tersebut. Akibatnya, ia pun ditahan selama 10 tahun, tepatnya dari 1968 hingga 1978. “Ketika saya ditahan, gaji dan seluruh hasil diberhentikan. Setelah bebas bingung, mau usaha enggak punya modal,” kata dia.
Sementara itu, Rangga (42) seniman yang bergiat di Mess 56 ini mengatakan bahwa dirinya adalah generasi ketiga dari korban tragedi 1965. “Kakek saya hilang di tahun 1965,” kata dia.
Saat ini, kata Rangga, dirinya justru menjadikan tema tragedi 1965 sebagai salah satu inspirasi dari karya-karyanya untuk memberikan pemahaman kepada orang-orang bahwa kasus tersebut layak diselesaikan sehingga generasi ke depan tidak lagi mengalami trauma sejarah dan terbebas dari beban masa lalu.
“Pendidikan bisa menjadi pintu masuk untuk memberikan pemahaman kepada siswa mengenai berbagai kekerasan di masa lalu,” kata Baskara dalam “Workshop Holocaust dan Kekerasan Massal Lain” di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang diadakan Pusdema atas kerja sama dengan Kotak Hitam dan UNESCO, Sabtu (28/7/2018).
Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang bisa diajarkan di sekolah itu adalah peristiwa pembunuhan secara sistematis terhadap orang Yahudi atau yang dikenal dengan istilah Holocaust pada perang dunia kedua. Pasalnya, menurut Baskara, kekerasan kemanusiaan itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada sentimen yang diciptakan, sehingga menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan.
Ia menjelaskan, peristiwa yang pecah pada tahun 1941 hingga 1945 itu justru merupakan bentuk akumulasi dari sentimen-sentimen terhadap orang Yahudi yang sudah dimulai sejak tahun 1933. Artinya, butuh waktu sekitar delapan tahun sentimen itu benar-benar pecah.
“Peristiwa Holocaust merupakan akumulasi dari sentimen terhadap anti-Yahudi yang dimulai pada 1933, saat itu ada imbauan boikot terhadap produk Yahudi dan orang Yahudi tak boleh jadi pegawai,” kata dia.
Peristiwa tersebut, kata Baskara, terjadi karena Pemimpin Jerman Adolf Hitler ingin membangun sebuah bangsa yang terbaik, yakni Aria di Kota Berlin. Sehingga, siapa pun yang ingin menghambat rencana tersebut akan dihabiskan.
“Yang ingin menghambat akan dihabisi, ada sekitar 6 juta orang Yahudi yang dibunuh, namun secara keseluruhan ada sekitar 17 juta jiwa,” ungkap Direktur Pusat Demokrasi dan HAM (Pusdema) ini.
Menariknya, kata dia, kekuasaan yang didapat Hitler tersebut justru ditempuh melalui sistem Demokrasi yang dipilih rakyat. Namun, ketika Hitler berhasil memegang tampuk kekuasaan, ia justru mengubah menjadi sistem otoriter yang menindas.
Kepemimpinan itu, kata Baskara, justru membuatnya semakin beringas dan tak hanya menyasar orang Yahudi saja, “tetapi juga orang-orang sakit, bangsa Slavia dan lain-lain,” ungkapnya.
Senada dengan Baskara, guru sejarah di sekolah Cilacap bernama Tri Suryo menambahkan, materi ajar di SMA memang tak banyak membahas sejarah Holocoust, sehingga ia menilai penting untuk memasukannya ke dalam materi untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa mendatang.
“Materi mengenai kekerasan ada di kurikulum sekolah, yakni pendidikan karakter. Namun, [materi yang diajarkan] harus materi yang mudah dipahami,” kata dia.
Dalam kesempatan tersebut, Baskara menjelaskan bahwa tragedi Holocoust bukan satu-satunya kasus kejahatan HAM massal yang terjadi pada abad 20. “Ada genoside yang dilakukan Turki terhadap Armenia, kekerasan Jepang terhadap bangsa Asia, konflik India-Pakistan, hingga Irlandia Utara dan Irlandia Selatan,” kata dia.
Selain di negara luar, kejahatan kemanusiaan juga pernah terjadi di berbagai daerah di Indonesia setelah tahun 1945, tepatnya di Aceh, Ambon, Poso dan Kalimantan. Namun peristiwa kekerasan yang terbesar adalah tragedi 1965. Masa awal peralihan antara Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto.
Hanya saja, kata Baskara, sejarah tersebut tidak diajarkan secara ideal di sekolah, “hanya secara normatif saja,” ungkapnya.
Tragedi 65 Menyasar Pendukung Soekarno
Sejarawan sekaligus dosen Universitas Sanata Dharma, Yerry Wirawan mengatakan, orang-orang yang dimusnahkan dalam tragedi 1965 adalah pendukung Presiden Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta pendukungnya. “Pembunuhan tersebut juga dilakukan secara sistematis oleh negara, militer dan berjalan secara bersamaan,” kata Yerry.Yerry mengatakan, pembunuhan secara massal dan sistematis tersebut menyasar 500 ribu sampai 3 juta jiwa. Meskipun kasus 1965 secara spesifik menyasar kelompok kiri, tetapi tragedi tersebut juga berdampak pada eksistensi etnis Tionghoa, salah satu bentuknya adalah pengubahan nama mereka dan pelarangan kegiatan budaya. “Ini agak mirip Nazi,” kata dia.
Selain itu, ada 10 ribu orang korban yang dibuang ke Pulau Buru dan pencabutan warga negara bagi mereka yang di luar negeri. Padahal, kata Yerry, undang-undang Indonesia sudah jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan merasa aman.
Yerry mengatakan, saat ini orang-orang yang terlibat dalam kasus kejahatan HAM tersebut justru mendapat jabatan di pemerintahan. Sehingga, Yerry berpendapat bahwa hal tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwa “kekerasan boleh terjadi” karena mereka tidak diproses secara hukum atas kesalahan mereka.
Sekilas Pengakuan Penyitas Korban 1965
Stevtlana (62), generasi kedua korban 1965 mengatakan, dirinya masih berusia 9 tahun saat ia dan keluarganya digerebek dan dijemput tentara. “Ibu kemudian dibawa ke kodim dan ditahan di sana,” kata dia.Sampai saat ini, kata dia, pengalamannya selama tiga bulan di penjara masih membekas sampai saat ini, karena mengalami trauma. “[Setiap hari] Saya mendengar kekerasan, jeritan dan orang keluar dari ruang interogasi. Itu pengalaman yang membuat saya tidak suka kekerasan,” ungkapnya.
Bahkan, Stevtlana mengaku masih mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan saat ia pindah ke Yogyakarta. “Kami masih merasa takut menggunakan nama asli dan sulit mendapatkan pekerjaan,” kata dia.
Di sisi lain, Sugianto (72) justru dituduh terlibat PKI saat ia masih menjadi TNI AURI. Padahal, ia merasa tidak pernah bergabung dengan partai tersebut. Akibatnya, ia pun ditahan selama 10 tahun, tepatnya dari 1968 hingga 1978. “Ketika saya ditahan, gaji dan seluruh hasil diberhentikan. Setelah bebas bingung, mau usaha enggak punya modal,” kata dia.
Sementara itu, Rangga (42) seniman yang bergiat di Mess 56 ini mengatakan bahwa dirinya adalah generasi ketiga dari korban tragedi 1965. “Kakek saya hilang di tahun 1965,” kata dia.
Saat ini, kata Rangga, dirinya justru menjadikan tema tragedi 1965 sebagai salah satu inspirasi dari karya-karyanya untuk memberikan pemahaman kepada orang-orang bahwa kasus tersebut layak diselesaikan sehingga generasi ke depan tidak lagi mengalami trauma sejarah dan terbebas dari beban masa lalu.
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar