Oleh: Yoseph T Taher
ilustrasi : [googling]
Di seluruh pelosok daerah, pihak militer menangkapi orang-orang yang yang diduga PKI, dan menjadi anggota atau simpatisan organisasi Pemuda Rakyat, Gerwani, SOBSI, BTI, Lekra, dan sebagainya. Rumah Tahanan Militer menjadi penuh sesak, namun penangkapan masih terus berlangsung. Yang dianggap teri dijadikan tahanan rumah atau kota dan diberhentikan dari pekerjaannya.
Istilah populernya saat itu adalah “kanai 100” yaitu karena membayar iuran buruh 100 rupiah. Dari daerah-daerah kabupaten atau kecamatan, penangkapan berjalan terus. Dan para tahanan tersebut, dikatakan, dikirim ke Pekanbaru, ke Rumah Tahanan Militer. Namun kenyataannya tidak pernah sampai, hilang lenyap dalam perjalanan; tak diketahui kabar beritanya.
Sebagai bukti, dapat dijelaskan, dari Kabupaten Bengkalis, 50 orang ditangkap dan dibawa dengan kapal motor menuju Pekanbaru, namun tidak seorang pun yang sampai dan tidak diketahui kabar beritanya;
Dari Bagan Siapi-api, 40 orang ditangkap dan dibawa dengan kapal motor, namun hanya seorang yang sampai dan dimasukkan ke Rumah Tahanan Militer Pekanbaru;
Dari Selatpanjang, 30 orang ditangkap dan dibawa dengan kapal motor, dan tak seorang pun yang sampai;
Dari Rengat, 50 orang yang ditangkap dan dibawa dengan truk, dan tak seorang pun yang sampai ke Pekanbaru;
Dari Tembilahan, 30 orang ditangkap dan dibawa dengan truk, juga tidak ada yang sampai ke Pekanbaru;
Di Pasir Pengaraian, 50 orang langsung dibunuh tanpa melalui proses.
Bagi yang sementara “selamat” dibawa dan dimasukkan ke dalam Rumah Tahanan Militer yang kemudian dipopulerkan menjadi TPU, Tempat Penahanan Umum, tapi masih dibawah kekuasaan militer (CPM); yang berlokasi di pojok Jalan Semar dan Papaya di kota Pekanbaru.
Tempat itu terdiri dari barak-barak, yang bernomor dari nomor 1 sampai 11, dengan ukuran yang berbeda. Dari mulai sel, sampai kepada barak atau kamar-kamar yang bisa dijejali dengan 50 atau 60 orang tahanan yang diperlakukan seperti ikan sardine dalam kaleng. Dan kamar-kamar tahanan itu berada dalam lingkungan tembok semen (concrete) setinggi 6 meter dengan ukuran panjang dan lebar sekitar 50 x 50 meter.
(Bagi teman-teman di Pekanbaru, bisa membandingkan RTM/TPU ini seperti Rumah Penjara di Tangerang, atau kalau yang di Padang kira-kira seperti RTM di Simpang Haru).
Dan sejak 18 Nopember 1965 malam itu, RTM/TPU ini dijejali dengan tahanan yang berjumlah antara 600-700 orang yang ditangkap dari berbagai pelosok di sekitar Pekanbaru, terutama dari Perusahaan Minyak Caltex.
Dan sejak 18 Nopember 1965 malam itu, RTM/TPU ini dijejali dengan tahanan yang berjumlah antara 600-700 orang yang ditangkap dari berbagai pelosok di sekitar Pekanbaru, terutama dari Perusahaan Minyak Caltex.
Dengan keadaan jumlah yang demikian, maka RTM itu menjadi seolah-olah seperti sebuah “pasar” dalam tembok, karena orang-orang yang tidak tahu menahu sebab musababnya ditahan. Menjadi depress, kecewa dan berjalan hilir mudik sepanjang hari dan malam, tak tahu apa yang harus diperbuat. Sementara hari berjalan, banyak yang diambil dari tahanan dan dikeluarkan menjadi “tahanan kota” atau ‘tahanan rumah”, lalu masuklah tangkapan baru dari tempat-tempat lain disekitar kota Pekanbaru.
Akan tetapi, ketika situasi penahanan dianggap mulai tenang, masing-masing berharap untuk bisa dibebaskan karena merasa tidak bersalah dan penahanan yang diluar hukum, terror dalam rumah tahanan pun dimulailah!
Terror itu dimulai dengan penghilangan dan pelenyapan 2 orang tapol pada 15 Pebruari 1966, masing-masing A. Suyitno Hadi yang adalah Ketua CS-PKI Kota Pekanbaru. Dan saudara iparnya M. Yusuf B.A, yang adalah anggota BPH (Badan Pemerintahan Harian) Daerah Riau. Pada hari dan tanggal tersebut, anak pertama dari A. Suyitno Hadi lahir, dan sebagai seorang yang baru menjadi ayah, dia meminta izin kepada Teperda (Team Pemerikasa Daerah) dan Kopkamtib agar diperkenankan menjenguk istri dan bayinya.
Bersama dengan M.Yusuf B.A. yang adalah saudara iparnya (abang dari istri Suyitno). Izin diperoleh dan dengan pengawalan militer, mereka diperkenankan untuk berkunjung menjenguk keluarganya.
Akan tetapi, lagi-lagi, sampai pagi hari-hari menjelma dan berganti; mereka tak kunjung kembali ke tempat tahanan. Semua kepunyaan dalam kamar tahanan TPU masih ada di sana.
Para tahanan mulai tertanya-tanya, kemana mereka, diapakah mereka? Kalau dipindah ke lain tempat tahanan, mengapa segala kepunyaannya dalam kamar tahanan tidak diambil? Yang bisa mencari informasi, kasak-kusuk mencari berita tentang mereka, namun tidak kunjung diketahui kemana mereka hilang!
Namun, dengan berita-berita luar apa yang terjadi diseluruh Indonesia, yang diketahui melalui keluarga tahanan yang datang menjenguk, diyakini bahwa mereka berdua telah hilang lenyap dibunuh oleh para militer dan organisasi massa pembela Soeharto. Dan kehilangan mereka berdua ini membuat para tapol semakin gelisah. Dan masa terus berjalan, tanpa ada perbaikan dan harapan buat para tapol.
Lakon Yang Dialami Tapol
Setiap pagi hari, jika ada yang dipanggil untuk diperiksa, kembalinya pasti merangkak tak dapat berjalan memasuki kamar tahanan karena sekujur tubuh yang babak belur akibat siksaan para algojo Teperda, yang terdiri dari militer serta sipil yang dipekerjakan sebagai informan militer.
Diselingi dengan ‘pemeriksaan siang hari” yang penuh penyiksaan itu, “pengambilan malam hari” yang isilah populernya disebut “dibon untuk interogasi”, namun berakhir dengan hilang lenyap tak kembali; kasus seperti itu terus berlangsung.
Tidak seorang pun yang tahu kemana dan diapakan mereka. Dan kalau mereka dibunuh oleh penguasa yang direstui oleh para jenderal Angkatan Darat, dimanakah kubur mereka? Kepada siapa harus ditanyakan, kepada para Jenderal, kepada Soeharto?
Dari dalam Rumah Tahanan Militer di Pekanbaru yang penuh sesak itu, dalam periode 15 Februari 1966 sampai 16 September 1968, 40 orang tahanan diambil malam (dibon_Red) dan hilang; yang diyakini telah dibunuh. Di antara mereka yang diambil dan dibunuh ini banyak yang sebelumnya menjadi pegawai tinggi pada perusahaan minyak asing Caltex, bahkan seorang yang sedang dikirim oleh Caltex ke Amerika, Kamaluddin Syamsuddin, untuk training menjadi Management Perusahan, dipanggil pulang dan dijebloskan ke dalam tahanan, sebelum kemudian diambil malam dan dibunuh pula!
Seorang tapol yang bernama Kemat, yang ditahan di Teperda (Team Pemeriksa Daerah) untuk diperiksa sebagai “saksi” pimpinan PKI Riau yang dijatuhi hukuman mati, mengatakan bahwa kedua orang Tapol yang diambil malam dari RTM/TPU itu, Kamaluddin Syamsuddin dan Ardan AN, digiring masuk ke Teperda dengan leher, tangan dan kaki dirantai seolah-olah penjahat atau terroris kaliber internasional di Guantanamo.
Paginya, Kemat tidak lagi mendengar atau melihat kedua Tapol yang juga dikenalnya itu!
0 komentar:
Posting Komentar