Ruth Indiah Rahayu*
Baik kita belajar praktis di dalam romantik kita.
Bilamana tulisan dan ceritaku pagi ini tak panjang-panjang, itu
bukan tanda bahwa sayangku padamu tidak panjang, tapi urusanku di luar
kepanjangan kasih sayang, banyak pula yang panjang-panjang. Sementara dalam
perkelahian ideologi dan pertempuran darah macam begini, kita pisahkan dulu
kedua ruangan ini, dan masing-masing tak usah dibikin ucapan yang
panjang-panjang
(S. Rukiah, Kejatuhan dan Hati)
BETAPA
kita ingin mengumpulkan narasi revolusi kemerdekaan (pra dan pasca-kemerdekaan)
dari sudut padang perempuan yang mengalami atau berada dalam aktivitas
revolusi. Sebab narasi perempuan dalam revolusi kemerdekaan belum diungkap
secara kaya.
Pun historiografi (nasional) Indonesia ketika menceritakan “pemuda
revolusi” tak menceritakan aktivitas perempuan di dalamnya.
Sebenarnya, narasi perempuan dalam revolusi kemerdekaan dapat kita
peroleh dari karya sastra atau tulisan perempuan pelaku revolusi. Salah satu
narasi itu ditulis oleh S. Rukiah yang dikenal sebagai sastrawan perempuan
sebelum terjadi Tragedi 1965.
Siapa Rukiah? Kiranya pembaca IndoPROGRESS tidak asing dengan nama ini.
Meski tak ada salahnya disinggung sedikit tentang dirinya. Rukiah pernah
menjadi anggota LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sayap sastra pada 1959, dan
bersuamikan Sidik Kertapati –pejuang kemerdekaan Indonesia yang bergabung
dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31. Sedikit
tentang Sidik, pada 16 Agustus 1945 bersama dengan D.N. Aidit, Armunanto, A.M.
Hanafi, dan pemuda revolusioner lainnya mempersiapkan kekuatan rakyat untuk
mengamankan Proklamasi yang dibacakan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
Kiranya Rukiah yang berasal dari Purwakarta bertemu dengan Sidik, mungkin dalam
perang gerilya mempertahankan kemerdekaan melawan kembalinya Belanda antara 1945-1949,
ketika Sidik bergerilya di Jawa Barat.
Pada masa perang gerilya itu, Rukiah telah bekerja sebagai guru
sekaligus pengarang di sekitar Purwakarta (Jawa Barat) saja. Suasana perang
gerilya itulah yang dinarasikan Rukiah yang berbobot karya sastra. Karyanya
menceritakan tokoh protagonis perempuan yang seperti merepresentasikan
gagasan-gagasannya tentang “perempuan zaman baru” (zaman emansipasi).
I
Hampir semua ide cerita dalam karya Rukiah mengungkapkan
peperangan batin perempuan di masa revolusi kemerdekaan. Mungkin itu peperangan
batin pengarangnya. Mungkin pula perempuan secara umum. Barangkali, karena masa
produktivitasnya di tengah revolusi kemerdekaan, maka Rukiah lebih banyak
menyeritakan kondisi peperangan batin yang dialami perempuan: antara memilih status quo (ikut Belanda) dan revolusi
(ikut revolusi bersama pemuda). Perang batin itu berada dalam dunia batin
personal (mikro) yang mempunyai korelasi sebab-akibat dengan urusan
ideologi-politik (makro).
Pandangan dunia makro dengan sangat halus namun tandas telah
berhasil dipertalikan oleh Rukiah ke dalam dunia mikro –rasio, perasaan,
kesadaran— personal melalui tokoh-tokoh protagonis perempuan. Dengan begitu
kita dapat merasakan hasrat yang tersembunyi dalam dunia mikro dan kepentingan
yang manifes pada dunia makro perempuan menghadapi perubahan di tengah perang
gerilya kemerdekaan.
Hasrat dan kepentingan perempuan itu diungkap oleh Rukiah dengan
menggunakan bahasa yang gamblang, ekspresif, dan terkadang liris ke dalam skema
konflik batin perempuan. Sebagai pembaca, kesatuan rasio dan perasaan kita
diaduk-aduk dalam gairah revolusioner yang menyala, yang merah dan menggelora.
Itulah yang menurut saya kekhasan karya Rukiah yang tak dapat diulang oleh
siapa pun.
Ketika mengungkap peperangan batin para perempuan itu, Rukiah
tidak menempatkan peperangan itu di atas lanskap problem ketidakadilan
berdasarkan gender. Persisnya, dia tidak memaknakan peperangan batin perempuan
oleh penyebab utamanya berasal dari struktur patriarki —dimana perempuan
tersubordinasi ke dalam kuasa laki-laki. Rukiah bahkan menunjukkan kekuatan
perempuan yang realis, yaitu yang rasional dalam menentukan pilihan untuk
dirinya sendiri, dan kesanggupannya memikul konsekuensi-konsekuensi atas
pilihannya.
Maka, bagi pembaca yang gemar narasi air mata, Anda tidak akan
menemukan para perempuan yang ditokohkan Rukiah menjadi korban penipuan cinta
laki-laki. Sebab, laki-laki yang ditokoh pun termasuk laki-laki “zaman baru”
yang menghirup udara “modern”, udara emansipasi. Emansipasi yang disuarakan
Rukiah, bukan hanya emansipasi relasi perempuan dan struktur sosialnya, bukan
pula hanya emansipasi negara Indonesia dari kolonialisme, melainkan juga suatu
harapan akan emansipasi kelas sosial.
II
Saya meminjam pisau analisa Michelle Barret[1] –seorang feminis sosialis– ketika
menulis ulasan A Room of One’s Own karya Virginia Woolf. Ada tiga
pisau analisa yang disampaikan Barret untuk karya Woolf, yaitu mengenai (1)
karya Woolf sebagai produksi budaya (sastra) seorang perempuan yang masih
tersisih dalam dunia sastra abad 20, (2) pembaca perempuan atas karya Woolf
sebagai penerima produksi budaya, dan (3) tentang representasi perempuan yang
diciptakan Woolf ke dalam diri tokoh protagonisnya. Menurut pandangan saya,
tiga pisau analisa itu dapat kita gunakan untuk membaca lebih sistematis atas
karya-karya Rukiah.
Pertama, sulit untuk ditolak bahwa Rukiah
telah berhasil menerobos tembok produksi budaya di bidang sastra pada
pertengahan abad 20 di Indonesia yang baru merdeka –dimana sudut pandang
pengarang laki-laki sangat memberi corak tertentu terhadap produksi sastra pada
masa itu. Dalam era pasca-Poejangga Baroe (disebut pula Angkatan 45) kiranya
cukup banyak pengarang laki-laki menciptakan perempuan sebagai tokoh protagonis
yang merepresentasikan kemajuan, yaitu kemajuan yang dibimbing oleh
rasionalitas dan bukan oleh paham lama yang memuja irasionalitas,
konservatisme, dll.
Contoh Pramoedya Ananta Toer telah memproduksi karya berjudul Larasati dalam latar revolusi. Larasati
digambarkan sebagai perempuan yang memiliki sikap teguh di tengah perang untuk
tetap berpihak pada republik, dan secara simbolis telah memberikan selendang
merah kepada para pemuda yang sedang berperang. Barangkali karena Pram seorang
pengarang laki-laki, maka ia kurang mampu mengungkap ke dalam dunia mikro
Larasati, yaitu peperangan batinnya, atau dunia uncouncious motives tentang revolusi.
Hal ini berbeda dengan Rukiah, karena ia sendiri seorang
perempuan, maka ketika ia menciptakan tokoh protagonis perempuan di dalam karyanya,
maka ia mampu menyelam ke dasar uncouncious motives perempuan tentang aneka hasrat yang
disembunyikan maupun tersembunyi. Kita dapat membaca pada seluruh karya Rukiah,
baik prosa maupun puisi, ungkapan peperangan batin perempuan itu sangat kuat
dan mengaduk-aduk rasio dan perasaan pembaca. Pun Rukiah sangat efisien dalam
memilih diksi, menggunakan bahasa, tidak bertele-tele dan terasa lugas.
Kekuatan gaya sastranya itu membuat Rukiah sebagai seorang
pengarang perempuan yang bisa mendobrak majalah sastra bergengsi Poedjangga Baroe dan bekerja di
sana bersama pengarang laki-laki lainnya (1948). Selain itu untuk pertama
kalinya bagi seorang perempuan menerima hadiah BMKM (Badan Musyawarah
Kebudayaan Nasional) pada 1952 untuk karya prosa Kejatuhan dan Hati. Itu
artinya, rasa sastra Rukiah –sastra perempuan sebagaimana karya Woolf—telah
berhasil menerobos dunia sastra yang didominasi laki-laki.
Kedua, sayang kita masih belum tahu tentang fakta
siapa pembaca karya-karya Rukiah pada masa itu, sebab setelah Tragedi 1965,
Rukiah dan karya-karyanya dibantai oleh rezim Orde Baru. Pembaca di masa Orde
Baru tak lagi mengenal Rukiah, melainkan lebih mengenal Ike Soepomo, Maria A.
Sardjono, dll, yang menarasikan perempuan seperti burung dalam sangkar dan
penuh isak tangis.
Maka sangat sulit bagi saya untuk menilai sejauhmana karya-karya
Rukiah telah memberikan pengaruh, yaitu mengubah cara pandang pembaca perempuan
pada masa itu. Sebagai contoh, karya-karya Woolf telah berhasil menyedot
pembaca perempuan, dan memberikan pengaruh luar biasa, yaitu mampu membangun
pertanyaan ke dalam diri perempuan itu tentang apa menjadi perempuan dan apa itu kebebasan?
Namun, saya mencoba mengatasi ketiadaan fakta tentang pembaca
perempuan atas karya Rukiah dengan metode refleksivitas, yaitu saya menjadi pembaca masa
sekarang untuk merasakan dan menilai peperangan batin perempuan di masa lalu.
Pertanyaannya sederhana: sejauhmana peperangan batin dalam gejolak
revolusioner yang dinarasikan Rukiah itu terpantul ke dalam hasrat, rasio dan
perasaan saya?
Seberapa jauh saya terpengaruh oleh gagasan emansipasi “zaman
baru” yang direpresentasikan tokoh protagonis dalam narasi revolusi Rukiah?
Ini jawaban saya sebagai pembaca masa kini: bahwa kekuatan Rukiah
ternyata tidak sekadar mengaduk perasaan/emosi pembaca sehingga pembaca keluar
air mata. Rukiah bukan penulis yang membuat pembaca menjadi cengeng, meski
topik yang ia ceritakan tentang cinta. Tetapi sekaligus tidak membuat pembaca
menjadi terbakar oleh retorika ideologi, sehingga cinta antarpersonal
tersubordinasi ke dalamnya.
Ini yang menarik bahwa Rukiah bermaksud untuk menyeimbangkan rasio
dan perasaan dalam relasi yang dialektis. Pandangan yang umum beranggapan bahwa
perempuan hanya mempunyai emosi dan rasionya kurang, tetapi Rukiah mampu
menunjukkan sebaliknya. Memang rasio dan emosi berlangsung dalam pertentangan
yang terus menerus, hingga para perempuan itu pada akhirnya harus mengambil
keputusan: berdasarkan perasaan atau rasio! Dengan kata lain, di satu pihak
hasrat perempuan terpenjara oleh “aturan-aturan sosial yang dibuat manusia”,
dan di lain pihak perempuan mempunyai hasrat untuk merdeka dari penjara
normatif itu.
Perang antara rasio dan perasaan seperti itu masih dialami oleh
para perempuan abad milenium saat ini, tentu dengan latar yang berbeda, yaitu
latar revolusi digital. Di tengah revolusi digital ini pintu kebebasan
perempuan terbuka lebar, pilihan untuk menentukan nasib diri sendiri pun
tersedia banyak, tetapi kebebasan itu bersifat virtual. Sementara, yang nyata,
perempuan di Indonesia pada saat ini cenderung terpenjara kembali ke dalam
norma yang ultra-konservatif, yang mengharuskan perempuan tidak mempunyai
kebebasan memilih dalam berpakaian, menentukan usia perkawinan, menentukan
suami, menentukan hak reproduksi dan poligami (poligini).
Setelah saya membaca karya-karya Rukiah itu, sebagai pembaca kelas
borjuasi kecil –seperti halnya Rukiah, gagasan Rukiah yang diekspresikan
melalui perang batin perempuan itu membuat saya tiba-tiba ingin berjarak dengan
tindakan praktis sehari-hari, lalu mencari keheningan untuk reflexive dan mendengarkan perang batin antara
rasio dan perasaan! Kiranya ekspresi Rukiah yang jujur dalam karya-karyanya itu
sanggup menelanjangi ketakutan dan ketidakberanian diri sendiri melawan
bangkitnya norma konservatif yang memenjara kembali perempuan.
Ketiga, tentang representasi perempuan
sebagai tokoh protagonis. Dalam situasi revolusi, Rukiah menggambarkan
peperangan batin perempuan: Apakah pergi berperang dengan tentara kanan atau
laskar pemuda kiri? (dalam Kejatuhan dan Hati). Di rumah saja mengurus anak atau
mencari suami yang “hilang” dalam revolusi? (“Istri Prajurit” dalam Tandus).
Menikah dengan laki-laki kaya untuk menyenangkan ibu atau mencari
cinta bagi diri sendiri? (dalam Kejatuhan dan Hati) Memilih cinta laki-laki yang
beroganisasi politik dan terjun ke dalam revolusi atau cinta laki-laki peragu
yang terlalu banyak membaca buku dan berpikir? (“Antara Dua Gambaran” dalam Tandus). Hidup mengalir biasa dalam
kemiskinan atau ikut gaduh dalam ketidakmenentuan revolusi? (“Mak Esah” dalam Tandus).
Semua itu adalah pilihan-pilihan yang mengepung para perempuan,
baik perempuan terpelajar maupun yang buta huruf dan miskin. Di antara
pilihan-pilihan itu Rukiah berupaya memenangkan “suara hati perempuan”, yang
berdiri sebagai “pihak ketiga” atau mensintesiskan kontradiksi antara rasio dan
perasaan.
Dalam Kejatuhan dan Hati, sebagai contoh, cara pandang dunia
Ibu yang diajarkan kepada tiga anak perempuannya adalah: carilah suami kaya
agar dapat membalas budi ibu yang telah membesarkan mereka! Cara pandang dunia
Ibu semacam ini sungguh berdiri di luar konstestasi ideologi sosialisme, kapitalisme/kolonialisme/imperialisme,
nasionalisme, Islamisme, atau lainnya.
Cara pandang Ibu itu membimbing dan sekaligus menciptakan
peperangan batin anak-anak perempuan dalam menentukan masa depannya sendiri.
Cara pandang Ibu itu melampaui ideologi revolusi yang saat itu sedang membara.
Cara pandang Ibu itu bahkan melampaui cara pandang suaminya untuk membebaskan
pilihan hidup anak-anak perempuannya. Apakah dalam hal ini Rukiah sedang
melayangkan kritik kepada cara pandang yang memuja kebendaan, sehingga tolok
ukur terhadap cinta pun berdasarkan kepemilikan atas harta kekayaan? Saya
berpendapat bahwa Rukiah sedang melayangkan kritik kepada cara pandang
kebendaan melalui tokoh Ibu (representasi “adat dan paham lama” atau
konservatisme), dan cara pandang ini lantas mendapat kritik (perlawanan) dari
Susi (anak Ibu) sebagai representasi cara pandang baru yang membebaskan pilihan
perempuan, dan yang kemudian diteguhkan oleh Lukman kekasih Susi (representasi
dari cara pandang sosialisme).
Di tengah perang batin Susi berada antara pandangan dunia Ibu dan
Lukman, Rukiah meneguhkan pilihan suara hati Susi, yaitu membuang yang tidak
logis dari pandangan Ibu dan Lukman, dan menerima yang logis dari keduanya.
Dengan kata lain, melalui representasi Susi, Rukiah menyodorkan pandangannya
mengenai posisi realis seorang perempuan borjuasi kecil di
tengah revolusi. Pada masa itu yang telah mampu memikirkan dan memutuskan atas
pilihan-pilihan adalah perempuan borjuasi kecil (yang terpelajar) seperti Susi,
sementara perempuan rakyat pekerja miskin seperti Mak Esah (“Mak Esah” dalam Tandus) telah terstruktur dalam posisi
kelas yang tidak bisa memilih, kecuali mati!
Kiranya revolusi kemerdekaan pada masa itu belum mampu membebaskan
perempuan seperti Mak Esah yang miskin, melainkan baru mampu membebaskan
perempuan seperti Susi yang berasal dari keluarga borjuasi kecil.
III
Menurut klasifikasi perkembangan genre sastra di Indonesia, Rukiah
menurut saya dapat ditempatkan ke dalam genre sastra revolusi (populer disebut Angkatan 45)
yang mempunyai ciri realis (dalam memotret kondisi sosial), humanis (dalam
mengobsesikan kebebasan manusia) dan ekspresif (dalam arti estetika dan gaya
bahasa). Ia realis dalam menarasikan gejolak personal dan revolusi, yaitu
sebagaimana adanya.
Tetapi ia kritis dan tidak dogmatis dalam memeluk ideologi yang ia
sebuat “merah”. Ia mengritik para penganut ideologi yang mekanik, yang seperti
robot, dan alhasil kehilangan aspek manusianya. Dalam hal ini Rukiah memberi
tempat pada kehendak bebas manusia untuk memperjuangkan emansipasi masyarakat
dan negara sebagaimana manusia (bukan robot ideologi).
Singkatnya, karya Rukiah itu saya sebut realis-humanis dalam genre
sastra revolusi (kemerdekaan nasional).
***
___________
[1] Michele Barret, “Introduction”, dalam Woolf, V, A
Room of One’s Own and Three Guiness,
(Harmondsworth: Penguin, 1983)
Pertama dimuat di IndoProgress
0 komentar:
Posting Komentar