Siaran Pers:
KontraS, Imparsial dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM
Berat Masa Lalu:
Dewan Kerukunan Nasional (DKN) Bukan Jawaban!
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS) beserta sejumlah korban dan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) berat masa lalu mengecam keras upaya-upaya yang dilakukan oleh
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto yang
berusaha menghidupkan lagi diskursus penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat
masa lalu lewat mekanisme Dewan Kerukunan Nasional (DKN).
Pembentukan DKN untuk menyelesaikan permasalahan
pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara musyawarah mufakat dengan alasan
proses penyelesaian di peradilan akan menyebabkan konflik dan tidak sesuai
dengan budaya Indonesia, merupakan strategi Wiranto menghidupkan budaya Orde
Baru yang ‘imun’ alias kebal terhadap pertanggungjawaban hukum atas tindak
kejahatan.
Patut diduga bahwa
Wiranto memiliki agenda terselubung dengan dalil menggunakan kata ‘kerukunan’,
seolah-olah Wiranto ingin menunjukkan dirinya punya niat baik untuk
menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu. Padahal, gagasan pembentukan
DKN terlihat jelas merupakan agenda ‘cuci tangan’ yang melanggengkan impunitas
dan merupakan upaya ‘melarikan diri’ dari pertanggungjawaban hukum atas
peristiwa pelanggaran HAM berat.
Pemerintah bahkan masih terkesan inkonsisten perihal
tujuan dari DKN. Saat pertama kali digagas oleh Wiranto pada tahun 2016, ia
menjelaskan bahwa DKN bertujuan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat
masa lalu lewat mekanisme non-yudisial.
Akan tetapi karena tekanan dari masyarakat, Wiranto
kemudian mengubah tujuan dari DKN bukan lagi berfokus pada penyelesaian kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu melainkan untuk menyelesaikan konflik sosial di
masyarakat.
DKN ini menurutnya juga dapat menggantikan keberadaan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi pada 11 Desember 2006.
Lebih jauh pembentukan DKN banyak mengandung
penyelewengan mulai dari maladministrasi wewenang, tidak dilibatkannya pihak
yang akan mempunyai dampak yang besar atas kebijakan DKN, hingga yang paling fundamental
adalah bahwa wacana DKN bersifat inkonstitusional. Hal-hal tersebut sebagaimana
kami uraikan berikut:
1. Terjadi
maladministrasi wewenang. Merujuk Perpres 7 Tahun 2015 dan Perpres 43 Tahun
2015, kewenangan Menkopolhukam hanya bersifat koordinasi, sehingga inisiatif
dan keputusan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme
DKN oleh Menkopolhukam melampaui wewenang dan cacat administrasi. Tindakan
Maladministrasi tersebut merujuk pada: Pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman:“Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan
hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang
menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban
hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara
Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil
bagi masyarakat dan orang perseorangan”.
2. Mekanisme
DKN yang akan hanya berupa proses musyawarah mufakat tanpa proses hukum, bertentangan
dengan konstitusi seperti yang tertera pada Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar
1945 Amandemen Keempat Tahun 2002 menyatakan“Negara Indonesia adalah negara
hukum.” Pasal 28I ayat (4) juga menegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.” Begitu pula Pasal 28I ayat (5) yang menegaskan cita-cita
bangsa Indonesia yakni “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.” Serta pada Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 memberikan jaminan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.”
3. DKN
bertabrakan dengan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM yang di dalamnya
tidak mengatur sedikit pun mengenai wewenang Kemenkopolhukam dalam
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Dalam UU tersebut, kewenangan untuk
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM adalah mandat Komnas HAM sebagai
penyelidik [Pasal 18 Ayat (1)] dan juga Kejaksaan agung sebagai penyidik dan
penuntut [Pasal 21 dan 23].
4. Sulitnya
penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur yudisial karena tidak
adanya rekomendasi dari DPR seperti yang kerap kali digaungkan oleh Wiranto,
merupakan sebuah pengalihan (misdirection) dan juga sebuah cacat berpikir
(logical fallacy). Hal ini terbukti, pada kasus penghilangan paksa 1997/1998
yang telah mendapatkan rekomendasi politik dari DPR pada tahun 2009, namun
begitu, rekomendasi ini hanya dimaknai sebagai sebuah barang “mubazir” karena
tidak pernah ada tindak lanjut dari pemerintah. Ataupun dalam kasus Wasior yang
terjdi tahun 2001 dan kasus Wamena yang terjadi tahun 2002 tidak membutuhkan
rekomendasi DPR untuk dilakukan penyidikan dan penuntutan oleh Jaksa Agung
melalui Pengadilan HAM.
Dengan demikian, DKN yang diwacanakan oleh Wiranto
memiliki sejumlah cela, tidak kredibel dan melanggar aturan hukum di negeri
ini. Lebih jauh, DKN yang digagas Wiranto makin nyata memperlihatkan adanya
upaya praktik ‘cuci tangan’, mengingat latar belakang figur Wiranto yang
merupakan salah satu aktor yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa
pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
Nama Wiranto disebutkan didalam laporan Komnas HAM
sendiri: seperti peristiwa penyerangan 27 Juli, Tragedi Trisakti, Semanggi
I-II, Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998, dan Biak
Berdarah, juga di dalam laporan khusus yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandate Serious Crimes Unit, yang menyatakan bahwa
Wiranto gagal untuk mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi
dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya
kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku
di dalam institusi TNI.
Beberapa hari yang lalu, (dikutip dari "Wiranto:
Jangan Anggap Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Masa Lalu Dipetieskan"
Kompas.com - 16/07/2018, 18:13 WIB), Wiranto menyatakan bahwa pemerintah terus
berupaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan menolak
anggapan bahwa kasus-kasus tersebut “dibekukan”. Namun, penyelesaian tersebut
ujarnya juga harus mempertimbangkan amanat UUD dan peraturan hukum yang
berlaku.
Pernyataan Wiranto di atas sangatlah menyimpang dengan
gagasannya sendiri soal eksistensi DKN yang justru menabrak amanat UUD dan
peraturan-peraturan hukum yang berlaku di Indonesia, serta berpotensi untuk
menjauhkan korban dari nilai-nilai keadilan yang mencakup pengungkapan
kebenaran (truth revealing), pemulihan hak-hak korban (remedy) dan juga jaminan
ketidakberulangan (guarantee of non-recurrence) yang mana merupakan syarat yang
dipatok oleh standar hukum HAM internasional.
Atas uraian di atas, Kami mendesak:
Pertama, kepada Menkopolhukam agar segera menghentikan
wacana dan diskursus soal pembentukan DKN sebagai sebuah mekanisme non-yudisial
untuk menyelesaikan pelbagai pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia
dengan pertimbangan-pertimbangan di atas.
Kedua, kepada Presiden Joko Widodo untuk menolak dengan
tegas wacana soal DKN dan tidak menyerahkan dan membiarkan kendali penyelesaian
kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kepada Menkopolhukam Wiranto, sebab
Wiranto merupakan figur yang diduga kuat ‘bermasalah’ secara hukum dan HAM,
serta memiliki komitmen yang minim dalam upaya penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ketiga, kepada Presiden Joko Widodo untuk segera
membentuk Komite Kepresidenan – sebagaimana telah disebutkan di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2014-2019 – yang berada langsung di bawah
supervisi Presiden dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Presiden, dibentuk
melalui Peraturan Presiden dan diisi oleh figur-figur yang berintegritas,
berpihak pada keadilan dan memiliki rekam jejak kredibel pada isu hak asasi
manusia. Rumusan yang dihasilkan oleh Komite Kepresidenan harus ditindaklanjuti
oleh Presiden dengan mengintruksikan instansi-instansi terkait dibawahnya untuk
dikerjakan atau direalisasikan.
Keempat, kepada Presiden Joko Widodo untuk
mengintruksikan Kejaksaan Agung agar segera melakukan penyidikan terhadap
sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu pada tahun ini (2018). Jika
dalam tahun ini Jaksa Agung tidak mengindahkan instruksi Presiden, maka sudah
sepatutnya Presiden mengganti Jaksa Agung.
Kelima, kepada Komnas HAM sebagai penyelidik kasus-kasus
pelanggaran HAM berat harus terus memastikan bahwa hasil penyelidikan Komnas
HAM ditindaklanjuti sebagaimana aturan hukum yang ada. Lebih jauh Komnas HAM
harus menjaga independensinya, dan bebas dari kepentingan politik apapun dalam
upaya-upaya penyelesaian masalah ini.
Jakarta, 19 Juli 2018
Yati Andriyani (KontraS), Bhatara Ibnu Reza (Imparsial), Maria Sumarsih (Jaringan Solidaritas
Keluarga Korban), Darwin (Keluarga
Korban Tragedi Mei 1998), Paian Siahaan
(Keluarga Korban Penghilangan Paksa 1997/1998), Wanmayetty (Keluarga Korban Tragedi Tanjung Priok), Bedjo Untung (Keluarga Korban Tragedi
1965)
0 komentar:
Posting Komentar