Catatan: Tri Guntur Narwaya
Holocaust dan pembantaian massal pada era fasistik rezim Nazi Hitler yang berlangsung tahun 1941 sampai 1945 adalah potret pengalaman paling mengerikan bagi peradaban manusia. yang pernah terjadi di abad 20. Hampir 6 juta lebih orang dimusnahkan dengan begitu kejam dan hampir sekitar puluhan juta manusia lain yang hilang tak ditemukan. Kekejian ini berdampak luar biasa pada wajah keadaban masyarakat Eropa dan dunia pada umumnya.
Ada banyak lapis persoalan yakni menguatnya rasisme, kontestasi ekonomi politik dan ideologi chaufinistik nasionalisme membabibuta yang mendorong sebuah kelompok bangsa bisa menghabisi komunitas lain dengan sekian brutal dan dengan berbagai banalitas kekejamannya. Dalam praktik kekejian, manusia tak lagi dilihat manusia, tetapi hanya sebatas angka2 dan seonggok mahluk anonim yang mudah dihabisi dan dimusnahkan.
Mengapa kengerian Holocaust bisa terjadi? Bagaimana Holocaust sendiri bisa terjadi?
Pertanyaan ini penting direnungkan, mengingat peristiwa serupa ternyata terus masih berlangsung dan bisa saja akan terus berlangsung. Kejadian2 serupa juga setidaknya pernah terjadi diberbagai belahan bumi lainnya, termasuk Indonesia pasca perang dunia kedua hingga hari ini.
Indonesia tak luput pernah mengalami lintasan sejarah serupa. Tragedi besar 1965 - 1966 adalah momen tragedi kemanusian yang pernah menghampiri Indonesia. Dalam berbagai data temuan dan dokumen riset ada sekitar 500.000 sampai hitungan 3 juta manusia terbunuh. Jumlah korban jiwa yang begitu besarnya. Angka ini belum termasuk dampak panjang kekerasan, diskriminasi dan trauma yang dialami oleh banyak korban atau penyintas hingga hari ini.
Sebagai peristiwa, Holocaust tentu saja tidak datang tiba2. Di fase awal Hitler berhasil menang dalam pemilu demokratis di Jerman dan awal2 rezim Nazi berkuasa, benih2 diskriminasi, kebencian dan rasisme sudah mulai berjalan. Pada awalnya ini tidak dianggap penting dan dianggap sebagai kebijakan politik biasa. Kebijakan diskriminasi disertai berbagai langkah persekusi pelan2 terus diterapkan untuk sebagaian warga Yahudi di Jerman dan kelompok2 sosial yang diangap berseberangan. Holocaust menjadi puncak dari rangkaian banalitas kekejian tersebut.
Pasca kekalahan Hitler dan runtuhnya rezim Nazi oleh kekuatan Sekutu berdampak pada beberapa perubahan penting. Langkah politik rekonsiliasi dan penyelesian masa lalu relatif berhasil di Jerman. Negara serius untuk menuntaskan beban masa lalu ini. Sebagian besar korban telah diberi kompensasi dan rehabilitasi. Monumen2 dan memorial peringatan atas kekejian telah dibangun. Masyarakat Jerman telah membuka babak baru dengan kesadaran bahwa peristiwa Holocoust jangan sampai terulang. Rasa penyesalan dan juga rasa malu atas peristiwa itu begitu kuat. Publik sepakat untuk mengutuk tragedi itu dan memberi pesan pada pentingnya membangun keadaban bangsa yang lebih baru dan berkemanusiaan.
Kita sebagai bangsa memliki banyak masalah terutama upaya penyelesaian masa lalu yang belum pernah tuntas. Negara belum punya tekad dan komitmen baik untuk melampaui ptoblem besar ini. Kita juga belum memiliki langkah serius untuk menuju proses rekonsiliasi dan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada banyak langkah dan inisiasi masyarakat untuk upaya itu justru harus berhadapan dengan bernagai tembok resistensi dan persekusi kekerasan sekaligus. Membicarakan masa lalu dianggap aib dan membahayakan.
Jatuhnya jutaan korban atas peristiwa tragedi 1965 - 1966 tentu membawa goresan luka dan ingatan kolektif yang buram bagi masyarakat. Jika ini tak mampu diselesiakan, maka kerab kali justru akan menciptakan lingkaran persoalan kemanusiaan berikutnya. Politik impunitas dan keengganan untuk bertanggungjawab adalah contoh besarnya. Banyak para pelaku yang hari ini masih melenggang bebas dan justru mendapat tempat terhormat dalam struktur politik negara. Tentu ini satu soal bagaimana gambaran potret kemunduran luar biasa dari agenda perjuangan HAM dan penyelesaian kejahatan masa lalu.
Akan lebih berbahaya seandainya masyarajat juga terus berdiam diri dan bungkam atas masalah ini. Berkaca dari proses Holocoust, sesuatunya selalu dimulai dari hal yang biasa dan kerab diacuhkan, yakni kejahatan kecil yang terus dianggap umum dan biasa. Benar kata Viktor Frankl, jika kekejian dianggap biasa dan terus dibiarkan maka ia akan menjadi sesuatu yang normal. Respon 'abnormalitas' atas 'abnormalitas' akan menyokong 'normalitas' yang mengerikan. Hannah Arendt bahkan memberi peringatan bahwa kekejian luar biasa sering dilakukan bukan oleh sosok penjahat yang seram dan menakutkan, ia seringkali dilakukan justru oleh orang2 biasa. Catatan Viktor Frankl dan Hannah Arendt menggelitik kita yang diam2 mungkin menjadi bagian 'orang-orang biasa' yang bisa saja sangat berpotensi masuk menjadi gerombolan para jagal dan algojo bagi nasib kemanusiaan.
Refleksi pentingnya berkaca dari kengerian Holocaust adalah bahwa benih2 kebencian, intoleransi, anti perbedaan, esklusifisme, dan rasisme yang semula terus dibiarkan dan dianggap sesuatu yang lazim dan biasa akan bisa menjadi tonggak2 pancang yang mengerikan untuk membangun 'tembok2 gedung gas beracun pembantaian' dan 'tiang2 gantung penjagalan' bagi nasib kehidupan masyarakat yang lain.
Oleh sebab itu, penyelesaian kejahatan masa lalu menjadi sangat penting dan relevan terus didorong agar kita tidak jatuh pada lubang tragedi yang sama. Rekonsiliasi harus didorong agar kebenaran kita letakkan pada ruang yang tepat. Komitmen ini harus terus kita dorong terutama kepada negara yang berkewajiban untuk menuntaskan beban masa lalu dan memberikan lembar sejarah yang lebih berkeadaban bagi generasi ke depan.
_________________
Sekedar catatan refleksi kecil dari workshop tentang 'Holocaust dan Kekerasan Massal Lain' untuk para guru sejarah, di Kampus Sanata Dharma (28 Juli 2018). Diselenggarakan Pusdema bekerjasama dengan Unesco PBB.
0 komentar:
Posting Komentar