Reporter: Tempo.co
| Editor: Ninis Chairunnisa
Sabtu, 29 September
2018 14:21 WIB
Adegan film Penghianatan G30S/PKI.
indonesianfilmcenter.com
Jakarta - Buku dengan judul The
Army and The Indonesian Genocide - Mechanics of Mass Murder yang
terbit pada Juli lalu mengungkap temuan baru berkaitan dengan peristiwa G30S 1965 dan pembantaian PKI pada kurun
1965-1966. Salah satu temuannya adalah dokumen internal militer di Aceh yang
mengungkap adanya perintah pemusnahan anggota PKI hingga ke akarnya.
Penulisnya
adalah Jess Melvin, peneliti dari Sydney Southeast Asia Centre. Ia menemukan
banyak dokumen internal militer saat berada di Aceh. Kala itu, Melvin berada di
Aceh untuk bekerja pascaterjadinya Tsunami tahun 2004. Ia pun mendapat banyak
cerita soal kekejaman militer karena saat itu kelompok separatis Aceh masih
ada. “Ketika saya mulai mendengar cerita tentang 1965-66 saya dikejutkan oleh
betapa miripnya pola kekerasan di antara kedua peristiwa itu,” ujarnya kepada
Tempo pada Selasa, 25 September 2018.
Dari
situ Melvin tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai peristiwa Gerakan 30
September yang disebut menelan ribuan korban. Namun ia tak menemukan dokumen
yang menuliskan soal pembunuhan di Aceh. “Sangat sedikit yang diketahui tentang
pembunuhan itu sebagai peristiwa nasional,” kata dia.
Tahun 2008, Melvin memulai penelitiannya dengan
mewawancarai para penyintas dan pelaku kekerasan peristiwa 1965-66 tentang
pengalaman mereka. Ia juga mencoba datang ke bagian Arsip Negara di Banda Aceh.
Melvin sempat pesimistis bisa mendapatkan dokumen yang ia
butuhkan, namun ternyata ia justru mendapat banyak sekali dokumen berkaitan
dengan peristiwa 1965 di Aceh.
“Saya hampir tidak dapat mempercayai nasib baik ketika saya diberi kotak penuh dokumen-dokumen militer internal yang mencatat secara detail bagaimana militer telah memerintahkan dan mengatur pembunuhan,” ujarnya.
Jess Melvin.
indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au
Dua dokumen yang Melvin temukan ia sertakan dalam
bukunya. Salah satunya adalah "peta kematian" yang dibuat militer.
Dalam dokumen itu tercatat ada 1.941 pembunuhan terjadi di Aceh. Namun jumlah
tersebut bisa jadi lebih karena pembantaian masih terjadi setelah fase
tersebut.
Dokumen lainnya mengungkap adanya perintah dari Soeharto
selaku Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) kepada Komandan Militer
Wilayah Aceh Ishak Djuarsa pada pagi hari, 1 Oktober 1965. Dia mengabarkan
telah terjadi kudeta di Jakarta di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung.
Instruksi selanjutnya datang pada tengah malam.
Melalui radio, Komandan Mandala
I (Panglatu) Sumatera Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta mengumumkan bahwa
PKI telah melakukan upaya kudeta. Presiden Soekarno selamat dan situasi di Ibu
Kota telah dikendalikan oleh Soeharto. Dia memerintahkan agar semua perintah
pengganti Jenderal Ahmad Yani itu dipatuhi.
Salah satu dokumen yang ada di buku Jess Melvin tentang
dugaan keterlibatan militer dalam pembunuhan massal pasca G30S 1965.
Mokoginta pun memerintahkan "segenap anggota Angkatan Bersenjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk pencianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja."
Bukti itu yang membuat Melvin berkesimpulan bahwa militer
menggunakan kampanye militer ofensif untuk menumpas rakyat yang dianggap
terlibat gerakan 30 September sejak hari pertama. Militer tetap
memerintahkannya meski mengetahui situasi ibu kota Jakarta dinyatakan sudah
terkendali.
Meski bermaksud mengungkap peristiwa yang selama ini
sensitif dibahas di Indonesia, Jess Melvin mengaku tak mengalami kesulitan
dalam proses pencarian datanya. Ia diperlakukan baik di perpustakaan dan badan
arsip.
“Saya juga disambut di rumah-rumah orang yang selamat dan pelaku,” kata dia.
Jess Melvin memberi argumentasi mengapa serangan terhadap
PKI dimulai di Aceh. Alasan pertama, kata dia, karena militer memiliki kekuatan
yang sangat kuat di Sumatera. Alasan kedua karena kepemimpinan militer di Aceh
sangat terkonsolidasi dan tidak simpatik terhadap PKI. Komandan militer
provinsi, Ishak Djuarsa pun sangat antikomunis. Dia diangkat setelah kampanye
PKI dan PNI yang disengaja telah memaksakan pengunduran diri mantan Gubernur
Aceh, Ali Hasjmy, dan mantan Panglima Militer, M. Jasin, pada tahun 1962. Kedua
orang itu dituduh oleh PKI dan PNI karena terlalu akomodatif terhadap mantan
anggota Darul Islam di provinsi ini.
Pemecatan jasin menciptakan permusuhan antara pimpinan
militer dan PKI di Aceh, meskipun PKI sedang tumbuh dalam ukuran dan
popularitas di provinsi itu pada saat ini.
“Ketika Soeharto mulai bergerak melawan PKI sejak pagi 1 Oktober, baik Mokoginta dan Djuarsa sangat mendukung,” kata dia.
Mereka menggunakan kekuatan darurat militer mereka untuk
memobilisasi struktur pemerintahan militer dan sipil untuk mendukung serangan
Soeharto terhadap PKI. Dalam banyak hal, Aceh menjadi ujian bagi serangan
militer secara nasional.
Atas temuan Melvin ini, peneliti International People
Tribunal 65 (IPT’65) Sri Lestari Wahyuningroem menilai temuan tersebut sangat
bisa dibuktikan. Sebab menurut dia, ada bukti-bukti fisik yang ditemukan dan
menunjukkan rantai komando keterlibatan langsung TNI Angkatan Darat dalam
desain dan eksekusi kejahatan HAM berat terhadap warga sipil.
“Menariknya lagi, dokumen-dokumen ini berisikan informasi yang banyak kesamaannya dengan kesaksian-kesasian baik korban maupun pelaku dari masyarakat sipil,” kata Sri.
Namun ia khawatir adanya potensi penghilangan bukti-bukti
yang membesar. Selama ini, pemerintah selalu menyebut bahwa peristiwa G30S
1965 muncul atas gerakan spontan masyarakat.
“Tak menutup kemungkinan ada pemusnahan dokumen dan arsip seputar peristiwa 1965,” ujarnya.
Karena itu, menurut Sri, pemerintah dan TNI seharusnya wajib membuka
arsip-arsip lama kepada publik jika memang mereka merasa tidak bersalah dalam
pemusnahan anggota PKI.
Sumber: Tempo.Co
0 komentar:
Posting Komentar